Teknik Mediasi Ideal Kasus Pemda DKI VS DPRD
A
A
A
Frans H Winarta
Ketua ICC-Indonesia Bidang Arbitrase dan arbitrer ICC, BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan SCIA
Kisruh perselisihan Pemda DKI Jakarta vs DPRD DKI Jakarta sebenarnya dapat dicarikan jalan keluar, jika mediasi didasarkan pada metode mediasi yang baik dan dibuat aturan bersama antara para pihak yang berselisih dan mediator.
Yang utama dalam proses mediasi adalah para pihak harus mempunyai kemauan untuk menyelesaikan perselisihan karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan rakyat Jakarta. Rakyat memerlukan dana untuk membangun berbagai fasilitas umum, menjalankan roda pemerintahan, dan membiayai serta mengatasi berbagai persoalan pelik di Jakarta seperti kemacetan yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi.
Ada juga berbagai masalah yang harus segera dibereskan seperti banjir yang selalu datang tiap tahun di musim hujan, sampah yang menumpuk, pendidikan yang layak, gedung sekolah dan peralatan yang memadai, MRT, monorel serta pembangunan jalan dan taman. Kemacetan perundingan dalam mediasi ini telah menyebabkan APBD 2015 yang notabene telah mendapatkan persetujuan rapat paripurna DPRD Jakarta tidak dapat digunakan.
Jika saja kedua belah pihak dapat lebih bersikap dewasa dan “nuchter“, kemacetan ini tidak perlu terjadi. Proses mediasi yang diadakan oleh Kemendagri seharusnya dibuat aturan main seperti berapa lama masing-masing pihak diberi kesempatan bicara dan setiap berbicara tidak boleh ada interupsi. Ketika giliran tanyajawab, para pihak tidak boleh berbicara dengan nada tinggi, keras, emosional, menuduh, apalagi menghina, atau merendahkan pihak lain.
Semua jawaban dan pertanyaan baik dari mediator atau dari masingmasing pihak harus dilakukan dengan sopan dan tidak emosional karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan rakyat Jakarta. Para pihak harus menjauhkan diri dari membuat pernyataan melalui media atau diliput media untuk mendinginkan suasana yang sudah panas dan tegang.
Para pihak dan mediator harus sadar benar bahwa hasil akhir dari proses mediasi ini adalah untuk mencari winwin solution dan bukan mencari siapa salah dan benar. Forum mediasi bukanlah pengadilan untuk mencari kebenaran dan keadilan, tetapi mencari solusi bersama agar APBD Jakarta 2015 dapat cair dan diserap secepatnya di Maret ini dan seterusnya selama 2015.
Caucus Perlu Diadakan
Dalam teknik mediasi, dikenal pertemuan caucus dimana para pihak ditemui secara terpisah oleh mediator, dalam hal ini Kemendagri. Dalam pertemuan caucus ini, masing-masing pihak mengemukakan aspirasi dan pendapatnya mengenai APBD versi paripurna dan APBD versi e-budget. Setelah diberi waktu yang cukup, mediator mengambil inisiatif untuk menemukan inti permasalahan dan meneruskan pendapat dan aspirasi satu pihak kepada pihak lain dalam suasana tenang, rasional untuk mencari solusi bersama.
Jika para pihak sudah memahami pendapat dan aspirasi pihak lain, barulah diadakan pertemuan segi tiga dengan memegang teguh aturan main yang telah dibuat dan disetujui bersama.
Mediator betul-betul harus menjaga suasana pertemuan mediasi ini dan diberi hak menegur jika ada pihak yang melanggar aturan main seperti berbicara keras dan emosional. Bila perlu, mediator menskors pertemuan mediasi ke lain waktu jika mediasi berlarut- larut karena tidak dicapai kesepakatan dari daftar isu-isu yang menjadi bahasan bersama. Isu-isu tadi dapat dibicarakan atau dipecahkan bersama dalam suasana yang lebih kondusif di kesempatan lain.
Putusan Bersama Para Pihak
Apa yang sudah disepakati dan dicapai oleh para pihak, serta seluruh proses tanya jawab dan diskusi dalam proses mediasi dicatat oleh transcriber sebagai arsip bersama. Dalam proses mediasi, putusan dibuat oleh para pihak sendiri dan mediator hanyalah berfungsi sebagai “umpire “ atau “wasit” yang menjaga teguh aturan main dan etika proses mediasi itu sendiri.
Dengan cara mediasi seperti ini, diharapkan tercipta “sense of belonging“ bahwa putusan bersama ini adalah hasil kesepakatan para pihak dan sama sekali bukan putusan mediator yang memfasilitasi acara mediasi ini. Keseluruhan sidang mediasi ini harus dilakukan tertutup, bebas dari publikasi karena tujuannya adalah mencari solusi dari adanya perbedaan jumlah sekitar Rp12,1 triliun antara APBD 2015 hasil paripurna dengan e-budgeting Pemda DKI Jakarta.
Jika para pihak memerlukan konsultasi dan saran-saran dari Kemendagri, mediasi ini berubah menjadi konsiliasi di mana tugas mediator berubah menjadi konsiliator bagi kedua belah pihak. Dalam mediasi atau konsiliasi, persetujuan para pihak menjadi putusan mereka bersama, karena mediator atau konsiliator tidak akan membuat keputusan bagi kedua belah pihak.
Mengingat panasnya suasana saling tuding kedua belah pihak selama persiapan mediasi, selama berlangsungnya mediasi, atau setelah mediasi tercapai, seharusnya disepakati bahwa tidak akan ada liputan media secara terbuka dalam periode tersebut.
Karena dapat menambah situasi menjadi semakin panas dan memancing amarah publik karena kedua belah pihak, yaitu Pemda DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta merupakan dua sorotan utama yang memiliki peran penting yang seharusnya salingmendukung dalam penyel e n g g a r a a n pemerintahan DKI Jakarta. Proses mediasi harus dijalankan dalam ruangan tertutup, rahasia, tanpa ingarbingar liputan media sehingga proses mediasi tersebut dapat berjalan seefektif mungkin tanpa adanya campur tangan pihak lain.
Tontonan keributan yang terjadi dalam penyelenggaraan mediasi atau konsiliasi seharusnya tidak perlu terjadi jika ada kepentingan besar yang sedang diperjuangkan, yaitu kepentingan rakyat Jakarta yang sedang membangun dalam segala bidang.
Perlu diingat, akibat gagalnya mediasi, yang menjadi korban adalah rakyat Jakarta, yang hanya bisa menanti dan mengharapkan pembangunan di semua bidang berjalan dengan lancar demi Jakarta baru yang modern, sejahtera, dan manusiawi.
Ketua ICC-Indonesia Bidang Arbitrase dan arbitrer ICC, BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan SCIA
Kisruh perselisihan Pemda DKI Jakarta vs DPRD DKI Jakarta sebenarnya dapat dicarikan jalan keluar, jika mediasi didasarkan pada metode mediasi yang baik dan dibuat aturan bersama antara para pihak yang berselisih dan mediator.
Yang utama dalam proses mediasi adalah para pihak harus mempunyai kemauan untuk menyelesaikan perselisihan karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan rakyat Jakarta. Rakyat memerlukan dana untuk membangun berbagai fasilitas umum, menjalankan roda pemerintahan, dan membiayai serta mengatasi berbagai persoalan pelik di Jakarta seperti kemacetan yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi.
Ada juga berbagai masalah yang harus segera dibereskan seperti banjir yang selalu datang tiap tahun di musim hujan, sampah yang menumpuk, pendidikan yang layak, gedung sekolah dan peralatan yang memadai, MRT, monorel serta pembangunan jalan dan taman. Kemacetan perundingan dalam mediasi ini telah menyebabkan APBD 2015 yang notabene telah mendapatkan persetujuan rapat paripurna DPRD Jakarta tidak dapat digunakan.
Jika saja kedua belah pihak dapat lebih bersikap dewasa dan “nuchter“, kemacetan ini tidak perlu terjadi. Proses mediasi yang diadakan oleh Kemendagri seharusnya dibuat aturan main seperti berapa lama masing-masing pihak diberi kesempatan bicara dan setiap berbicara tidak boleh ada interupsi. Ketika giliran tanyajawab, para pihak tidak boleh berbicara dengan nada tinggi, keras, emosional, menuduh, apalagi menghina, atau merendahkan pihak lain.
Semua jawaban dan pertanyaan baik dari mediator atau dari masingmasing pihak harus dilakukan dengan sopan dan tidak emosional karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan rakyat Jakarta. Para pihak harus menjauhkan diri dari membuat pernyataan melalui media atau diliput media untuk mendinginkan suasana yang sudah panas dan tegang.
Para pihak dan mediator harus sadar benar bahwa hasil akhir dari proses mediasi ini adalah untuk mencari winwin solution dan bukan mencari siapa salah dan benar. Forum mediasi bukanlah pengadilan untuk mencari kebenaran dan keadilan, tetapi mencari solusi bersama agar APBD Jakarta 2015 dapat cair dan diserap secepatnya di Maret ini dan seterusnya selama 2015.
Caucus Perlu Diadakan
Dalam teknik mediasi, dikenal pertemuan caucus dimana para pihak ditemui secara terpisah oleh mediator, dalam hal ini Kemendagri. Dalam pertemuan caucus ini, masing-masing pihak mengemukakan aspirasi dan pendapatnya mengenai APBD versi paripurna dan APBD versi e-budget. Setelah diberi waktu yang cukup, mediator mengambil inisiatif untuk menemukan inti permasalahan dan meneruskan pendapat dan aspirasi satu pihak kepada pihak lain dalam suasana tenang, rasional untuk mencari solusi bersama.
Jika para pihak sudah memahami pendapat dan aspirasi pihak lain, barulah diadakan pertemuan segi tiga dengan memegang teguh aturan main yang telah dibuat dan disetujui bersama.
Mediator betul-betul harus menjaga suasana pertemuan mediasi ini dan diberi hak menegur jika ada pihak yang melanggar aturan main seperti berbicara keras dan emosional. Bila perlu, mediator menskors pertemuan mediasi ke lain waktu jika mediasi berlarut- larut karena tidak dicapai kesepakatan dari daftar isu-isu yang menjadi bahasan bersama. Isu-isu tadi dapat dibicarakan atau dipecahkan bersama dalam suasana yang lebih kondusif di kesempatan lain.
Putusan Bersama Para Pihak
Apa yang sudah disepakati dan dicapai oleh para pihak, serta seluruh proses tanya jawab dan diskusi dalam proses mediasi dicatat oleh transcriber sebagai arsip bersama. Dalam proses mediasi, putusan dibuat oleh para pihak sendiri dan mediator hanyalah berfungsi sebagai “umpire “ atau “wasit” yang menjaga teguh aturan main dan etika proses mediasi itu sendiri.
Dengan cara mediasi seperti ini, diharapkan tercipta “sense of belonging“ bahwa putusan bersama ini adalah hasil kesepakatan para pihak dan sama sekali bukan putusan mediator yang memfasilitasi acara mediasi ini. Keseluruhan sidang mediasi ini harus dilakukan tertutup, bebas dari publikasi karena tujuannya adalah mencari solusi dari adanya perbedaan jumlah sekitar Rp12,1 triliun antara APBD 2015 hasil paripurna dengan e-budgeting Pemda DKI Jakarta.
Jika para pihak memerlukan konsultasi dan saran-saran dari Kemendagri, mediasi ini berubah menjadi konsiliasi di mana tugas mediator berubah menjadi konsiliator bagi kedua belah pihak. Dalam mediasi atau konsiliasi, persetujuan para pihak menjadi putusan mereka bersama, karena mediator atau konsiliator tidak akan membuat keputusan bagi kedua belah pihak.
Mengingat panasnya suasana saling tuding kedua belah pihak selama persiapan mediasi, selama berlangsungnya mediasi, atau setelah mediasi tercapai, seharusnya disepakati bahwa tidak akan ada liputan media secara terbuka dalam periode tersebut.
Karena dapat menambah situasi menjadi semakin panas dan memancing amarah publik karena kedua belah pihak, yaitu Pemda DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta merupakan dua sorotan utama yang memiliki peran penting yang seharusnya salingmendukung dalam penyel e n g g a r a a n pemerintahan DKI Jakarta. Proses mediasi harus dijalankan dalam ruangan tertutup, rahasia, tanpa ingarbingar liputan media sehingga proses mediasi tersebut dapat berjalan seefektif mungkin tanpa adanya campur tangan pihak lain.
Tontonan keributan yang terjadi dalam penyelenggaraan mediasi atau konsiliasi seharusnya tidak perlu terjadi jika ada kepentingan besar yang sedang diperjuangkan, yaitu kepentingan rakyat Jakarta yang sedang membangun dalam segala bidang.
Perlu diingat, akibat gagalnya mediasi, yang menjadi korban adalah rakyat Jakarta, yang hanya bisa menanti dan mengharapkan pembangunan di semua bidang berjalan dengan lancar demi Jakarta baru yang modern, sejahtera, dan manusiawi.
(ars)