Golkar di Persimpangan Jalan
A
A
A
Prahara di tubuh Partai Golkar kian memanas. Rivalitas kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie semakin menjauh dari titik temu untuk bersatu.
Salah satu faktor pemicu kian panasnya atmosfer konflik di tubuh Golkar adalah keputusan Kementrian Hukum dan HAM yang mengakui kepengurusan DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono.
Keputusan yang ditandatangani Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada 10 Maret 2015 ini merujuk pada keputusan Mahkamah Partai Golkar yang ditafsiri memenangkan munas versi kubu Agung.
Rujukan hukumnya disandarkan pada Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang Parpol Nomor 2 Tahun 2011 bahwa putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat. Pascapengakuan, Golkar pun seolah berada di persimpangan jalan. Bingung, langkah apa lagi yang mesti ditempuh untuk merekatkan kedua kubu, sekaligus bingung menentukan bandul politiknya pada masa mendatang.
Dilema Kekuasaan
Sebagaimana diketahui, putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) bersifat ambigu. Kesamaan pendapat terjadi di antara Muladi dan HAS Natabaya, yang berbeda dengan pendapat Djasri Marin dan Andi Mattalatta. Muladi dan Natabaya merekomendasikan agar dua kubu menghindari the winner takes all, mere-habilitasi mereka yang dipecat, dan mengajak pihak yang kalah dalam kepengurusan.
Sementara itu, Djasri Marin dan Andi Mattalatta menyampaikan pendapat yang lebih tegas. Keduanya menilai Munas IX Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus Marham sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal Golkar secara aklamasi tak demokratis.
Keduanya juga menilai bahwa pelaksanaan Munas Jakarta sangat terbuka, transparan, dan demokratis meski memiliki banyak kekurangan. Tak bulatnya pandangan MPG inilah yang memicu multiinterpretasi atas putusan yang dikeluarkan.
Ini menjadi celah argumen bagi kubu ARB untuk terus melakukan upaya hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan membawa putusan Kemenkumham ke PTUN DKI Jakarta. Yang menarik dicermati dari kekisruhan internal Golkar ini ada dua hal. Pertama, dilema dalam memilih saluran penyelesaian konflik.
Golkar yang surplus politisi senior tentu menyadari agenda politik mendesak yang akan dihadapi mereka pada 2015 yakni pilkada serentak. Jika konflik tak teratasi segera, ancaman nyata ada di depan mata. Sudah terbayang betapa banyak agenda yang mesti disiapkan struktur Partai Golkar di daerah dalam menyambut ketatnya persaingan pilkada serentak ini.
Jika pun Golkar masih bisa ikut serta dalam perhelatan pilkada, belum menjamin solidnya mesin pemenangan akibat dualisme kepengurusan yang pasti punya imbas hingga ke struktur Golkar di daerah. Dalam jangka panjang ini juga akan berpengaruh pada eksistensi Partai Golkar dalam hubungannya dengan psikopolitis pemilih dan masyarakat.
Seorang elite Partai Golkar kubu ARB mengkhawatirkan, jika konflik terus berlarut-larut, bukan mustahil Golkar di Pemilu 2019 akan menjadi one digit party! Dilema penyelesaian konflik muncul saat pendekatan kultural berupa islah lewat mediasi gagal total. Lantas muncul alternatif penyelesaian seperti diatur UU Partai Politik, ternyata juga tak membuahkan putusan jelas.
Sementara solusi lewat pengadilan atau saluran di luar partai juga mengandung risiko serius yakni pihak yang kalah biasanya menjadi kelompok penyimpang bahkan memungkinkan ada partai baru atau partai tandingan yang menggerus konstituen Golkar. Dilema kedua, yang sesungguhnya lebih besar dan menggoda arah politik Golkar, yakni kekuasaan!
Sebagaimana kita ketahui, sejarah Partai Golkar adalah sejarah kekuasaan. Konflik di tubuh Partai Golkar harus juga dimaknai sebagai per-tarungan antarfaksi yang akan membawa ke mana arah politik Golkar di era Jokowi-JK. Kubu ARB berkepentingan membawa Golkar di gerbong Koalisi Merah Putih (KMP), sedangkan kubu Agung berkeinginan mendulang sumber daya politik dengan merapat ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Tak dimungkiri, situasi dinamis rezim Jokowi-JK yang sedang mencari titik keseimbangan politik juga tampaknya membuka peluang besar akomodasi politik. Langkah pemerintahan Jokowi-JK ini seolah mengonfirmasi tesis Arend Lijhart dalam bukunya, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999), bahwa dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus.
Koalisi membangun pemerintahan merupakan bagian dari konsensus tersebut. Rekam jejak elite kekuasaan kita lebih banyak memilih pola ‘ko-opsi’ dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Anatomi kekuasaan Jokowi- JK pun tampaknya meneruskan tradisi lama yakni mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati.
Jika Golkar akhirnya juga masuk ke dalam skema koalisi partai pendukung pemerintah, ini menyebabkan parpol di luar kekuasaan tak lagi efektif di parlemen. Dengan begitu, pola hubungan promiscuous atau sering gontaganti pasangan di dalam koalisi yang menjadi wajah rezim SBY juga akan menghiasi wajah kekuasaan Jokowi.
Padahal Jokowi yang mengikrarkan diri akan membangun koalisi ramping dan berbasis hubungan tanpa syarat. Meski masuknya Golkar akan menambah dukungan terhadap Jokowi, saat bersamaan juga secara substantif akan mengundang kritisisme publik atas nilai keberbedaan rezim Jokowi dibanding SBY dan Soeharto.
Tradisi Baru, Mungkinkah?
Terlepas dari siapa pun yang memenangi konflik internal di tubuh Golkar, seharusnya menjadikan momentum saat ini untuk memulai tradisi baru sebagai partai modern yakni siap di dalam dan di luar kekuasaan. Golkar sudah terbukti memiliki daya tahan sebagai kolaborator dalam beberapa rezim kekuasaan, tetapi belum teruji berada di luar pemerintahan.
Ada beberapa keuntungan bagi Golkar jika lima tahun ke depan konsisten berada di luar kekuasaan. Pertama, Golkar memiliki kesempatan untuk menata ulang cara pandang, mental, dan mekanisme keorganisasian. Sejak reformasi hingga sekarang, Golkar senantiasa disibukkan dengan perburuan kekuasaan dan abai dengan urusan rumah tangga sendiri, termasuk lemahnya optimalisasi peran partai dari pusat hingga daerah.
Kedua, Golkar bisa memaksimalkan posisi strategisnya sebagai partai pemenang kedua untuk memperkuat peran dan posisi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan. Kelompok di luar pemerintahan selama dua periode SBY nyaris tumpul karena tak mampu menjadi kekuatan pengontrol yang efektif.
Ketiga, keberadaan di luar kekuasaan harusnya menjadi kesempatan Golkar untuk melakukan reposisi, terutama dalam pola hubungannya dengan basis konstituen. Persepsi masyarakat tentang Golkar bisa menjadi lebih positif jika mau bekerja nyata (working in public) selama lima tahun ke depan.
Bukan mustahil, Golkar juga akan meraup insentif elektoral seperti PDIP di Pemilu 2014. Mungkinkah terjadi? Sangat bergantung pada mental dan sikap politisi Golkar.
Gun Gun Heryanto
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Salah satu faktor pemicu kian panasnya atmosfer konflik di tubuh Golkar adalah keputusan Kementrian Hukum dan HAM yang mengakui kepengurusan DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono.
Keputusan yang ditandatangani Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada 10 Maret 2015 ini merujuk pada keputusan Mahkamah Partai Golkar yang ditafsiri memenangkan munas versi kubu Agung.
Rujukan hukumnya disandarkan pada Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang Parpol Nomor 2 Tahun 2011 bahwa putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat. Pascapengakuan, Golkar pun seolah berada di persimpangan jalan. Bingung, langkah apa lagi yang mesti ditempuh untuk merekatkan kedua kubu, sekaligus bingung menentukan bandul politiknya pada masa mendatang.
Dilema Kekuasaan
Sebagaimana diketahui, putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) bersifat ambigu. Kesamaan pendapat terjadi di antara Muladi dan HAS Natabaya, yang berbeda dengan pendapat Djasri Marin dan Andi Mattalatta. Muladi dan Natabaya merekomendasikan agar dua kubu menghindari the winner takes all, mere-habilitasi mereka yang dipecat, dan mengajak pihak yang kalah dalam kepengurusan.
Sementara itu, Djasri Marin dan Andi Mattalatta menyampaikan pendapat yang lebih tegas. Keduanya menilai Munas IX Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus Marham sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal Golkar secara aklamasi tak demokratis.
Keduanya juga menilai bahwa pelaksanaan Munas Jakarta sangat terbuka, transparan, dan demokratis meski memiliki banyak kekurangan. Tak bulatnya pandangan MPG inilah yang memicu multiinterpretasi atas putusan yang dikeluarkan.
Ini menjadi celah argumen bagi kubu ARB untuk terus melakukan upaya hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan membawa putusan Kemenkumham ke PTUN DKI Jakarta. Yang menarik dicermati dari kekisruhan internal Golkar ini ada dua hal. Pertama, dilema dalam memilih saluran penyelesaian konflik.
Golkar yang surplus politisi senior tentu menyadari agenda politik mendesak yang akan dihadapi mereka pada 2015 yakni pilkada serentak. Jika konflik tak teratasi segera, ancaman nyata ada di depan mata. Sudah terbayang betapa banyak agenda yang mesti disiapkan struktur Partai Golkar di daerah dalam menyambut ketatnya persaingan pilkada serentak ini.
Jika pun Golkar masih bisa ikut serta dalam perhelatan pilkada, belum menjamin solidnya mesin pemenangan akibat dualisme kepengurusan yang pasti punya imbas hingga ke struktur Golkar di daerah. Dalam jangka panjang ini juga akan berpengaruh pada eksistensi Partai Golkar dalam hubungannya dengan psikopolitis pemilih dan masyarakat.
Seorang elite Partai Golkar kubu ARB mengkhawatirkan, jika konflik terus berlarut-larut, bukan mustahil Golkar di Pemilu 2019 akan menjadi one digit party! Dilema penyelesaian konflik muncul saat pendekatan kultural berupa islah lewat mediasi gagal total. Lantas muncul alternatif penyelesaian seperti diatur UU Partai Politik, ternyata juga tak membuahkan putusan jelas.
Sementara solusi lewat pengadilan atau saluran di luar partai juga mengandung risiko serius yakni pihak yang kalah biasanya menjadi kelompok penyimpang bahkan memungkinkan ada partai baru atau partai tandingan yang menggerus konstituen Golkar. Dilema kedua, yang sesungguhnya lebih besar dan menggoda arah politik Golkar, yakni kekuasaan!
Sebagaimana kita ketahui, sejarah Partai Golkar adalah sejarah kekuasaan. Konflik di tubuh Partai Golkar harus juga dimaknai sebagai per-tarungan antarfaksi yang akan membawa ke mana arah politik Golkar di era Jokowi-JK. Kubu ARB berkepentingan membawa Golkar di gerbong Koalisi Merah Putih (KMP), sedangkan kubu Agung berkeinginan mendulang sumber daya politik dengan merapat ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Tak dimungkiri, situasi dinamis rezim Jokowi-JK yang sedang mencari titik keseimbangan politik juga tampaknya membuka peluang besar akomodasi politik. Langkah pemerintahan Jokowi-JK ini seolah mengonfirmasi tesis Arend Lijhart dalam bukunya, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999), bahwa dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus.
Koalisi membangun pemerintahan merupakan bagian dari konsensus tersebut. Rekam jejak elite kekuasaan kita lebih banyak memilih pola ‘ko-opsi’ dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Anatomi kekuasaan Jokowi- JK pun tampaknya meneruskan tradisi lama yakni mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati.
Jika Golkar akhirnya juga masuk ke dalam skema koalisi partai pendukung pemerintah, ini menyebabkan parpol di luar kekuasaan tak lagi efektif di parlemen. Dengan begitu, pola hubungan promiscuous atau sering gontaganti pasangan di dalam koalisi yang menjadi wajah rezim SBY juga akan menghiasi wajah kekuasaan Jokowi.
Padahal Jokowi yang mengikrarkan diri akan membangun koalisi ramping dan berbasis hubungan tanpa syarat. Meski masuknya Golkar akan menambah dukungan terhadap Jokowi, saat bersamaan juga secara substantif akan mengundang kritisisme publik atas nilai keberbedaan rezim Jokowi dibanding SBY dan Soeharto.
Tradisi Baru, Mungkinkah?
Terlepas dari siapa pun yang memenangi konflik internal di tubuh Golkar, seharusnya menjadikan momentum saat ini untuk memulai tradisi baru sebagai partai modern yakni siap di dalam dan di luar kekuasaan. Golkar sudah terbukti memiliki daya tahan sebagai kolaborator dalam beberapa rezim kekuasaan, tetapi belum teruji berada di luar pemerintahan.
Ada beberapa keuntungan bagi Golkar jika lima tahun ke depan konsisten berada di luar kekuasaan. Pertama, Golkar memiliki kesempatan untuk menata ulang cara pandang, mental, dan mekanisme keorganisasian. Sejak reformasi hingga sekarang, Golkar senantiasa disibukkan dengan perburuan kekuasaan dan abai dengan urusan rumah tangga sendiri, termasuk lemahnya optimalisasi peran partai dari pusat hingga daerah.
Kedua, Golkar bisa memaksimalkan posisi strategisnya sebagai partai pemenang kedua untuk memperkuat peran dan posisi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan. Kelompok di luar pemerintahan selama dua periode SBY nyaris tumpul karena tak mampu menjadi kekuatan pengontrol yang efektif.
Ketiga, keberadaan di luar kekuasaan harusnya menjadi kesempatan Golkar untuk melakukan reposisi, terutama dalam pola hubungannya dengan basis konstituen. Persepsi masyarakat tentang Golkar bisa menjadi lebih positif jika mau bekerja nyata (working in public) selama lima tahun ke depan.
Bukan mustahil, Golkar juga akan meraup insentif elektoral seperti PDIP di Pemilu 2014. Mungkinkah terjadi? Sangat bergantung pada mental dan sikap politisi Golkar.
Gun Gun Heryanto
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
(ftr)