Antara Pahlawan dan Pecundang

Kamis, 12 Maret 2015 - 10:29 WIB
Antara Pahlawan dan...
Antara Pahlawan dan Pecundang
A A A
BRIGJEN POL DR BAMBANG USADI MM
Analis Kebijakan Utama (Anjak) Utama Lemdikpol

Sebagian masyarakat dan pemerhati permasalahan Polri-KPK menunjukkan respons yang sudah tidak rasional. Seberapa pun penjelasan yang diberikan Polri tentang keterlibatan komisioner KPK sulit dipercaya sebagai bentuk proses penegakan hukum.

Sebaliknya, komisioner KPK tetap dipercaya tidak bersalah meski fakta yang didukung beberapa alat bukti mengarahkannya sebagai tersangka, atau paling tidak menjadi pembenar dengan mengatakan tidak sebanding kasus yang disangkakan komisioner KPK nonaktif dengan kasus yang sedang ditangani KPK.

Tampaknya pesan Ali bin Abi Thalib yang cukup terkenal, ”Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu” menemukan relevansinya. Sangat jarang yang melihat proses penegakan hukum yang dilakukan Polri terhadap komisioner KPK nonaktif diterima sebagai salah satu mekanisme yang dapat dinilai sebagai bentuk konkret dari mekanisme kontrol terhadap kinerja KPK, termasuk kinerja komisioner KPK.

Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup, demikian juga KPK tanpa kontrol (berarti kekuasaan absolut) akan melahirkan potensi penyimpangan penegakan hukum di KPK. Penguatan KPK seharusnya dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan penguatan secara internal dan penguatan secara eksternal.

Penguatan internal mengharuskan KPK menerima, berlapang dada, dan bahkan membuka diri ketika siapa saja personelnya termasuk komisioner KPK yang diduga bermasalah dengan pidana kemudian diproses secara hukum sehingga menghindarkan segala putusan hukum KPK bisa menjadi bias dan tidak kredibel karena melibatkan personel yang cacat hukum.

Pendekatan penguatan KPK secara eksternal dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas proses penegakan hukum di KPK dalam kasus tindak pidana korupsi. Namun, harus dipastikan penegakan hukum itu dilakukan secara profesional dan proporsional dengan mengedepankan kepastian hukum dan rasa keadilan, asas, kaidah dan hak-hak hukum terperiksa/ tersangka.

Harus disadari bahwa upaya praperadilan terhadap proses penegakan hukum di KPK yang dilayangkan beberapa pihak seyogianya dinilai sebagai bentuk nyata dari mekanisme kontrol untuk memperkuat KPK agar lebih berhati-hati dan profesional dalam menangani perkara hukum.

Di samping itu, penegakan hukum yang dilakukan lembaga eksternal seperti Polri terhadap komisioner KPK harus dinilai sebagai mekanisme kontrol untuk memperkuat internal KPK. KPK harus menunjukkan sisi kenegarawanan dengan berperilaku sebagai lembaga negara yang menjunjung tinggi hukum dan kewibawaan negara salah satunya menghormati putusan praperadilan.

KPK harus tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan seharusnya tidak lagi melakukan pembangkangan terhadap putusan praperadilan, baik dalam bentuk demo pegawai maupun perilaku lain sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Konsekuensi dari putusan praperadilan dengan pembatalan status tersangka pemohon dan penetapan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara pemohon memiliki konsekuensi bahwa KPK harus menghentikan penyidikan dan tidak lagi menangani perkara pemohon.

Tetapi, disebabkan KPK tidak diperkenankan menghentikan penyidikan dan tidak memiliki kewenangan penanganan perkara pemohon, mengharuskan perkara pemohon harus dilimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian untuk dihentikan penyidikannya (dikeluarkan SP3). Penyerahan penanganan perkara pemohon oleh KPK kepada kejaksaan harus disertai penyerahan berkas perkara secara lengkap tidak hanya dalam bentuk surat pengantar.

Di sinilah pentingnya KPK mendefinisikan posisinya sebagai pahlawan sesungguhnya dalam pemberantasan korupsi atau sekadar ”pecundang” yang menampilkan diri bak pahlawan dengan sengaja menggiring opini publik secara tidak proporsional ketika komisioner KPK berhadapan dengan masalah hukum yang diproses Polri atau keharusan KPK melimpahkan perkara pemohon praperadilan.

Modal sosial yang cukup dimiliki KPK saat ini memberikan kesempatan kepada KPK untuk menjelaskan kepada publik tentang pendidikan kesadaran taat hukum dan mengikuti prosedur hukum secara benar. Pada saat yang sama, KPK harus menunjukkan sinergi dengan lembaga penegak hukum lain dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Di lain pihak, Polri secara institusional harus mampu menampilkan diri secara elegan dalam menanggapi berbagai isu yang berkembang. Termasuk di dalamnya tentang profesionalitas penegakan hukum terhadap komisioner KPK nonaktif, membangun komunikasi massa yang baik dan profesional, serta menegaskan dan memublikasikan proses penegakan hukum yang sudah dilakukan Polri secara internal terhadap anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.

Polri pada 2012 menjelaskan ke publik bahwa sekitar 200-an personel Polri dipecat dan diproses hukum karena terbukti melakukan tindak pidana, mulai dari kekerasan sampai tindak pidana korupsi. Polri harus cukup ”firm” menjawab semua isu yang berkembang soal penegakan hukum terhadap komisioner KPK nonaktif untuk memastikan publik, akademisi, dan aktivitas antikorupsi mendapatkan penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima.

Keterlibatan Kombes Victor Simanjuntak dalam penangkapan BW semestinya dijawab dengan proporsionalsesuaikewenangan yang diberikan UU No 2 Tahun 2002. Aturan tersebut tidak melarangpolisinonpenyidik( bukan penegak hukum) terlibat dalam penangkapan karena berdasarkan Pasal 16 sebagai penegas Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002, baik sebagaipenegakhukummaupun sebagai aparat keamanan,

polisi sebagai personel Polri diberi wewenang terlibat dalam penangkapan sebagaimana Polri nonpenyidik juga pernah dimintai bantuan untuk mendukung penegakan hukum seperti penggeledahan oleh KPK. Toh pun, penangkapan BW tetap melibatkan penyidik yang sah dan diberi wewenang oleh undang-undang serta ditunjuk dan ditetapkan pimpinan Polri.

Keputusan ada di KPK untuk memastikan diri menjadi pahlawan sesungguhnya dalam penegakan hukum sekaligus sebagai negarawan, atau sebaliknya pada akhirnya akan menjadi pecundang dengan membela mati- matian komisioner KPK nonaktif yang bermasalah dengan hukum dan melakukan pembangkangan dengan menolak putusan praperadilan.

KPK harus memastikan berperan dalam pembangunan kesadaran hukum di Indonesia dengan melakukan tugas penegakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi secara proporsional, profesional, dan menghindarkan potensi keterlibatan campur tangan politik dan vested interest dalam proses penegakan hukum.

Polri dituntut mampu bermain cantik mengelola isu dengan cara ”menumpangi” opini publik yang sedang berkembang dan meluruskan isu yang tak berdasarsecara elegan seiring semangat opini publik yang terbentuk. Penegakan hukum terhadap komisioner KPK oleh Polri harus mampu meyakinkan publik bahwa dampaknya justru memberikan penguatan internal terhadap institusi KPK dalam melakukan penegakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Hal yang harus disyukuri saat ini adalah daya kritis masyarakat menunjukkan telah menuju pada jalur yang benar setelah beberapa kali dalam periode kepemimpinan presiden yang berbeda, komisioner KPK harus berhadapan dengan proses penegakan hukum di Polri. Setidaknya ini dapat diindikasikan dengan dukungan masyarakat (netizen), melalui sosial media seperti Facebook dan Twitter terhadap KPK.

Apabila pada kasus Bibit-Chandra dukungan mencapai 2 juta lebih pengguna Facebook dan Twitter, sampai saat ini dukungan KPK di grup dan halaman (fanpage) Facebook hanyamencapaipalingtinggi sekitar 30.000 lebih pengguna, demikian juga di Twitter justru hashtag #SaveKPK#SavePolri pengikutnya lebih banyak (5.000 lebih follower) dibanding hanya hashtag #SaveKPK yang paling banyak memiliki 3.000 lebih follower.

Namun, perlawanan masif terhadap proses penegakan hukum yang masih cenderung berpihak pada KPK bukan berpihak terhadap kepastian hukum itu sendiri. Perlawanan ini lebih nyaring dilakukan oleh akademisi, aktivis antikorupsi, dan pihakpihak yang berkepentingan lainnya yang secara sosiologis berada di kelompok intelektual.

Ini mengharuskan Polri meresponsnya dengan membangun argumentasi proses penegakan hukum berbasis kepastian hukum yang rasional dan mampu mematahkan argumentasi yang berkembang, serta menjaga dari pernyataan-pernyataan yang berakibat blunder, serta berusaha terus-menerus membangun komunikasi massa yang simpatik dan empatik.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0733 seconds (0.1#10.140)