Petani, Tangguhkah Hadapi MEA?
A
A
A
Luluk Munawaroh
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Tarbiyah,
Aktivis HMI,
UIN Walisongo Semarang
Tak lama lagi Indonesia akan dihadapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Era negara-negara di Asia Tenggara bersatu menjadi kawasan ekonomi terintegrasi. Dan secara otomatis, persaingan antarnegara akan semakin ketat di arena pasar bebas ini.
Dalam konteks ini, negara yang tidak siap menghadapi akan menjadi penonton bahkan akan dijajah oleh negara lain yang sudah siap dan mapan. Bagaimana tidak, negara-negara lain sudah menyusun strategi jitu untuk menghadapi MEA, mereka memfokuskan diri mengurusi sektor yang akan dijadikan andalan dalam persaingan MEA. Misal negara Thailand telah memproklamirkan akan menggenjot sektor pertanian sebagai program unggulan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia, sudah siapkah untuk menghadapi MEA? Bangsa Indonesia harus menyusun target yang jelas sebelum MEA benar-benar diberlakukan. Potensi-potensi terbesar yang dimiliki bangsa ini wajib diberdayakan. Dalam hal ini, seharusnya bangsa Indonesia merapatkan barisan untuk bersama-sama memperkuat sektor pertanian, karena tidak bisa dimungkiri bahwa Indonesia merupakan negeri agraria.
Seluruh negara adikuasa pun tidak bisa menyangkal bahwa bangsa ini memang memiliki potensi besar dalam bidang ini. Namun sayang seribu kali sayang, peran pertanian di Indonesia masih sangat minim dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Buktinya negara asing masih bisa dengan leluasa mengimpor makanan pokok ke negeri agraria ini.
Padahal, Indonesia memiliki lahan pertanian yang sangat luas. Apabila lahan tersebut diolah secara maksimal, Indonesia tidak akan impor, tapi justru ekspor ke negara lain. Namun, pada kenyataannya, hasil pertanian Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Persoalan yang demikian akan semakin genting ketika petani Indonesia dihadapkan dengan MEA.
Dikhawatirkan, pemerintah tidak dapat membendung produk pangan asing yang masuk ke Indonesia. Bisa-bisa produk lokal hasil pertanian bangsa ini tersingkirkan oleh kehadiran barang impor. Apalagi, selama ini keberadaan kaum petani kurang diperhatikan pemerintah.
Pembangunan pertanian terlalu fokus dalam meningkatkan produksi, sedangkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri belum tersentuh sampai ke akarnya. Maka itu, menjelang kehadiran MEA 2015, pemerintah harus berani menetaskan kebijakan-kebijakan yang pro kepada petani. Keberadaan mereka akan semakin terancam ketika pemerintah memberi kebebasan secara ”liar” kepada pihak asing. Wallahu alam bi al-shawab.
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Tarbiyah,
Aktivis HMI,
UIN Walisongo Semarang
Tak lama lagi Indonesia akan dihadapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Era negara-negara di Asia Tenggara bersatu menjadi kawasan ekonomi terintegrasi. Dan secara otomatis, persaingan antarnegara akan semakin ketat di arena pasar bebas ini.
Dalam konteks ini, negara yang tidak siap menghadapi akan menjadi penonton bahkan akan dijajah oleh negara lain yang sudah siap dan mapan. Bagaimana tidak, negara-negara lain sudah menyusun strategi jitu untuk menghadapi MEA, mereka memfokuskan diri mengurusi sektor yang akan dijadikan andalan dalam persaingan MEA. Misal negara Thailand telah memproklamirkan akan menggenjot sektor pertanian sebagai program unggulan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia, sudah siapkah untuk menghadapi MEA? Bangsa Indonesia harus menyusun target yang jelas sebelum MEA benar-benar diberlakukan. Potensi-potensi terbesar yang dimiliki bangsa ini wajib diberdayakan. Dalam hal ini, seharusnya bangsa Indonesia merapatkan barisan untuk bersama-sama memperkuat sektor pertanian, karena tidak bisa dimungkiri bahwa Indonesia merupakan negeri agraria.
Seluruh negara adikuasa pun tidak bisa menyangkal bahwa bangsa ini memang memiliki potensi besar dalam bidang ini. Namun sayang seribu kali sayang, peran pertanian di Indonesia masih sangat minim dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Buktinya negara asing masih bisa dengan leluasa mengimpor makanan pokok ke negeri agraria ini.
Padahal, Indonesia memiliki lahan pertanian yang sangat luas. Apabila lahan tersebut diolah secara maksimal, Indonesia tidak akan impor, tapi justru ekspor ke negara lain. Namun, pada kenyataannya, hasil pertanian Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Persoalan yang demikian akan semakin genting ketika petani Indonesia dihadapkan dengan MEA.
Dikhawatirkan, pemerintah tidak dapat membendung produk pangan asing yang masuk ke Indonesia. Bisa-bisa produk lokal hasil pertanian bangsa ini tersingkirkan oleh kehadiran barang impor. Apalagi, selama ini keberadaan kaum petani kurang diperhatikan pemerintah.
Pembangunan pertanian terlalu fokus dalam meningkatkan produksi, sedangkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri belum tersentuh sampai ke akarnya. Maka itu, menjelang kehadiran MEA 2015, pemerintah harus berani menetaskan kebijakan-kebijakan yang pro kepada petani. Keberadaan mereka akan semakin terancam ketika pemerintah memberi kebebasan secara ”liar” kepada pihak asing. Wallahu alam bi al-shawab.
(bbg)