Memuja Pasar
A
A
A
Rentetan kenaikan harga kebutuhan pokok dan penting masyarakat beberapa waktu terakhir kurang menarik perhatian pemerintah dan khalayak.
Kita tidak tahu apa yang membuat isu kenaikan harga berbagai kebutuhan vital masyarakat itu tidak mendapat prioritas. Apakah publik lebih asyik menikmati pertikaian pelik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Wakil Ketua DPRD DKI Abraham ”Lulung” Lunggana dan kawan-kawan soal anggaran siluman atau kasus-kasus hukum lain yang sedang bergulir di KPK maupun Bareskrim Mabes Polri?
Mungkin juga isu penambahan kewenangan dan kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan yang sempat dipertanyakan Wapres Jusuf Kalla lebih seru untuk disimak. Namun kenaikan harga-harga mulai beras, gula pasir, cabai merah, elpiji 12 kg, premium, listrik hingga pengenaan pajak jalan tol dalam waktu yang hampir bersamaan adalah kebijakan yang potensial menimbulkan keguncangan di masyarakat.
Sejumlah pejabat pemerintah beralasan kenaikan harga barang-barang penting itu sebagai konsekuensi mengikuti harga pasar dalam negeri maupun harga pasar internasional. Situasi semakin sesak setelah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USB) juga merosot hingga tembus Rp13.000/USD. Dampak kenaikan serangkaian harga kebutuhan primer ini bagi sebagian orang dianggap belum serius dan hanya jangka pendek sehingga pemerintah kelihatan biasa-biasa saja menghadapi ini.
Seolah ada kesan rakyatlah yang harus maklum dan menyesuaikan diri menghadapi gempuran kenaikan harga-harga itu. Rakyat diminta atau bahkan dipaksa untuk memahami bahwa inilah cara pemerintah yang paling tepat (jika pemerintah sengaja melakukannya) dalam menata dan mengelola perekonomian negara.
Benarkah keputusan itu tepat? Pihak-pihak yang sangat promekanisme pasar mengatakan begitu. Adapun pihak-pihak yang menginginkan agar pemerintah Jokowi lebih jeli dan hati-hati dalam membuat keputusan untuk mengendalikan pasar telah mengkritik keras hal ini hingga tertulis kalimat, ”Jika semua diserahkan pada mekanisme pasar, apa fungsi negara dan pemerintahan. Terus untuk apa ada Presiden Jokowi?” Tim ekonomi pemerintah Jokowi perlu mempertimbangkan faktor nonekonomi seperti perasaan masyarakat yang pasti akan memikul beban berat atas kenaikan harga-harga itu.
Pertimbangan dan asumsi yang dibangun dalam kenaikan harga-harga ini sangat didominasi faktor pasar. Mekanisme pasar adalah sistem yang paling banyak digunakan pemerintahan di dunia untuk menopang perekonomian. Padahal banyak ketidaksempurnaan di dalamnya yang apabila diterapkan mentah-mentah (copy paste) di negara kita akan membawa dampak serius.
Pertanyaan berikutnya, lantas di mana peran negara dalam kepungan mekanisme pasar itu? Konstitusi kita jelas mengamanatkan agar negara menguasai dan mengendalikan sektor-sektor strategis untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu. Jika semua sektor penting diserahkan pada mekanisme pasar, siapa lagi yang bisa melindungi masyarakat dari jejaring pasar yang semakin mencengkeram semua lini kehidupan kita?
Pasar adalah fakta di depan mata yang sulit dihindari. Tapi bukan berarti negara harus tunduk dan patuh pada mekanisme pasar. Negara harus berdiri lebih tinggi dan le-bih percaya diri berhadapan dengan pasar.
Negara harus menjamin kesejahteraan lahir batin rakyatnya yang sering kali menjadi korban sistem yang sudah banyak menuai kritik ini. Kenaikan harga-harga pasti akan menambah beban rakyat. Inilah saatnya negara mengubah paradigma untuk tidak selalu menjadi pemuja pasar. Pemerintah harus kritis dan berani menghadapi jebakan pasar yang sering mencelakakan itu.
Indonesia adalah negara yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat. Karakter itulah yang bisa mengawal perjalanan bangsa ini agar tidak terombang-ambing oleh kekuatan luar yang terus mempermainkan kita.
Kita tidak tahu apa yang membuat isu kenaikan harga berbagai kebutuhan vital masyarakat itu tidak mendapat prioritas. Apakah publik lebih asyik menikmati pertikaian pelik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Wakil Ketua DPRD DKI Abraham ”Lulung” Lunggana dan kawan-kawan soal anggaran siluman atau kasus-kasus hukum lain yang sedang bergulir di KPK maupun Bareskrim Mabes Polri?
Mungkin juga isu penambahan kewenangan dan kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan yang sempat dipertanyakan Wapres Jusuf Kalla lebih seru untuk disimak. Namun kenaikan harga-harga mulai beras, gula pasir, cabai merah, elpiji 12 kg, premium, listrik hingga pengenaan pajak jalan tol dalam waktu yang hampir bersamaan adalah kebijakan yang potensial menimbulkan keguncangan di masyarakat.
Sejumlah pejabat pemerintah beralasan kenaikan harga barang-barang penting itu sebagai konsekuensi mengikuti harga pasar dalam negeri maupun harga pasar internasional. Situasi semakin sesak setelah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USB) juga merosot hingga tembus Rp13.000/USD. Dampak kenaikan serangkaian harga kebutuhan primer ini bagi sebagian orang dianggap belum serius dan hanya jangka pendek sehingga pemerintah kelihatan biasa-biasa saja menghadapi ini.
Seolah ada kesan rakyatlah yang harus maklum dan menyesuaikan diri menghadapi gempuran kenaikan harga-harga itu. Rakyat diminta atau bahkan dipaksa untuk memahami bahwa inilah cara pemerintah yang paling tepat (jika pemerintah sengaja melakukannya) dalam menata dan mengelola perekonomian negara.
Benarkah keputusan itu tepat? Pihak-pihak yang sangat promekanisme pasar mengatakan begitu. Adapun pihak-pihak yang menginginkan agar pemerintah Jokowi lebih jeli dan hati-hati dalam membuat keputusan untuk mengendalikan pasar telah mengkritik keras hal ini hingga tertulis kalimat, ”Jika semua diserahkan pada mekanisme pasar, apa fungsi negara dan pemerintahan. Terus untuk apa ada Presiden Jokowi?” Tim ekonomi pemerintah Jokowi perlu mempertimbangkan faktor nonekonomi seperti perasaan masyarakat yang pasti akan memikul beban berat atas kenaikan harga-harga itu.
Pertimbangan dan asumsi yang dibangun dalam kenaikan harga-harga ini sangat didominasi faktor pasar. Mekanisme pasar adalah sistem yang paling banyak digunakan pemerintahan di dunia untuk menopang perekonomian. Padahal banyak ketidaksempurnaan di dalamnya yang apabila diterapkan mentah-mentah (copy paste) di negara kita akan membawa dampak serius.
Pertanyaan berikutnya, lantas di mana peran negara dalam kepungan mekanisme pasar itu? Konstitusi kita jelas mengamanatkan agar negara menguasai dan mengendalikan sektor-sektor strategis untuk melindungi masyarakat yang kurang mampu. Jika semua sektor penting diserahkan pada mekanisme pasar, siapa lagi yang bisa melindungi masyarakat dari jejaring pasar yang semakin mencengkeram semua lini kehidupan kita?
Pasar adalah fakta di depan mata yang sulit dihindari. Tapi bukan berarti negara harus tunduk dan patuh pada mekanisme pasar. Negara harus berdiri lebih tinggi dan le-bih percaya diri berhadapan dengan pasar.
Negara harus menjamin kesejahteraan lahir batin rakyatnya yang sering kali menjadi korban sistem yang sudah banyak menuai kritik ini. Kenaikan harga-harga pasti akan menambah beban rakyat. Inilah saatnya negara mengubah paradigma untuk tidak selalu menjadi pemuja pasar. Pemerintah harus kritis dan berani menghadapi jebakan pasar yang sering mencelakakan itu.
Indonesia adalah negara yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat. Karakter itulah yang bisa mengawal perjalanan bangsa ini agar tidak terombang-ambing oleh kekuatan luar yang terus mempermainkan kita.
(ars)