Tersandera Mafia Pasar
A
A
A
Tauchid Komara Yuda
Mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Aktivis HMI. Universitas Gadjah Mada
Terkadang aneh juga kalau dipikir-pikir, sebagai salah satu negeri agraris terbesar di dunia, gonjang-ganjingdi negeri ini justru berkutat pada mahalnya padi, sayur, buah dengan label”lokal”.
Sontak hal ini menimbulkan pertanyaan, ada apa gerangan? Kalau berbicara melalui perspektif ekonomi, kelangkaan sumber daya merupakan alasan rasional penyebab naiknya harga barang. Bamun kalau secara politis, hal tersebut belum tentu berlaku. Pasalnya, permainan monopoli pada pelaku pasar mulai dari elite sampai warga sipil sekalipun tidak bisa hindari.
Perkara politisasi sumber daya di Indonesia sebenarnya merupakan sebuah proyeksi sejarah panjang bangsa Indonesia sejak kedatangan VOC dan makin suburnya feodalisme.Dalam sistem feodal, pemangku kekuasaan diniscayakan sebagai sosok yang suci, sehingga otomatis masyarakat dipastikan mau melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sang raja. Tak ada ubahnya dengan jaman sekarang, hanya yang membedakan adalah strategi yang bernuansa birokratis.
Seperti kasus politik dagang sapi pada tahun 2013, KPK memerkarakan politikus Lutfhi Hasan Ishaq selaku tersangka dalam kasus suap dengan tujuan untuk melicinkan penambahan kuota impor daging sapi. Perkara semacam ini jika dibiarkan tentu akan menimbulkan kekhawatiran bagi peternak sapi lokal jika harus bersaing dengan produk impor di negeri sendiri.
Selanjutnya, keberadaan mafia penimbun juga menjadi masalah krusial pada pasokan distribusi. Akibat yang ditimbulkan dari perilaku menimbun ini jelas berdampak memicu inflasi akibat kenaikan harga sejumlah barang dan jasa. Seperti yang terjadi pada minggu-minggu ini, isu soal kenaikan harga beras kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah kalangan menilai, harga beras yang di atas Rp10.000 per kilogramnya, khususnya di sekitar Jabodetabek, dianggap tidak wajar dan teramat memprihatinkan.
Analisis sementara, penyebab kenaikan harga beras dikarenakan terlambatnya musim panen di Pulau Jawa, namun merebaknya mafia pasar juga patut diwaspadai. Menagih janji presiden, infrastruktur guna menopang persediaan lumbung Bulog sudah seharusnya dipikirkan, dan suntikan dana untuk membeli gabah kepada petani juga harus diperbesar agar dapat mendorong kemampuan Bulog membeli gabah petani secara fair.
Langkah ini dirasa tepat dalam rangka memperkecil keterlibatan peran mafia pasar dalam proses distribusi.
Mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Aktivis HMI. Universitas Gadjah Mada
Terkadang aneh juga kalau dipikir-pikir, sebagai salah satu negeri agraris terbesar di dunia, gonjang-ganjingdi negeri ini justru berkutat pada mahalnya padi, sayur, buah dengan label”lokal”.
Sontak hal ini menimbulkan pertanyaan, ada apa gerangan? Kalau berbicara melalui perspektif ekonomi, kelangkaan sumber daya merupakan alasan rasional penyebab naiknya harga barang. Bamun kalau secara politis, hal tersebut belum tentu berlaku. Pasalnya, permainan monopoli pada pelaku pasar mulai dari elite sampai warga sipil sekalipun tidak bisa hindari.
Perkara politisasi sumber daya di Indonesia sebenarnya merupakan sebuah proyeksi sejarah panjang bangsa Indonesia sejak kedatangan VOC dan makin suburnya feodalisme.Dalam sistem feodal, pemangku kekuasaan diniscayakan sebagai sosok yang suci, sehingga otomatis masyarakat dipastikan mau melakukan apa saja yang diperintahkan oleh sang raja. Tak ada ubahnya dengan jaman sekarang, hanya yang membedakan adalah strategi yang bernuansa birokratis.
Seperti kasus politik dagang sapi pada tahun 2013, KPK memerkarakan politikus Lutfhi Hasan Ishaq selaku tersangka dalam kasus suap dengan tujuan untuk melicinkan penambahan kuota impor daging sapi. Perkara semacam ini jika dibiarkan tentu akan menimbulkan kekhawatiran bagi peternak sapi lokal jika harus bersaing dengan produk impor di negeri sendiri.
Selanjutnya, keberadaan mafia penimbun juga menjadi masalah krusial pada pasokan distribusi. Akibat yang ditimbulkan dari perilaku menimbun ini jelas berdampak memicu inflasi akibat kenaikan harga sejumlah barang dan jasa. Seperti yang terjadi pada minggu-minggu ini, isu soal kenaikan harga beras kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah kalangan menilai, harga beras yang di atas Rp10.000 per kilogramnya, khususnya di sekitar Jabodetabek, dianggap tidak wajar dan teramat memprihatinkan.
Analisis sementara, penyebab kenaikan harga beras dikarenakan terlambatnya musim panen di Pulau Jawa, namun merebaknya mafia pasar juga patut diwaspadai. Menagih janji presiden, infrastruktur guna menopang persediaan lumbung Bulog sudah seharusnya dipikirkan, dan suntikan dana untuk membeli gabah kepada petani juga harus diperbesar agar dapat mendorong kemampuan Bulog membeli gabah petani secara fair.
Langkah ini dirasa tepat dalam rangka memperkecil keterlibatan peran mafia pasar dalam proses distribusi.
(ars)