Sisi Politik Beras

Selasa, 03 Maret 2015 - 10:47 WIB
Sisi Politik Beras
Sisi Politik Beras
A A A
Anas urbaningrum.
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

Di tengah cuaca panas politik seputar relasi KPK dan Polri, pemerintah dikejutkan oleh meloncatnya harga beras.

Kekagetan pemerintah ditunjukkan oleh pernyataan menteri pertanian dan menteri perdagangan yang menuding mafia beras sebagai pihak yang bertanggung jawab. Sebaliknya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut tidak benar ada mafia beras. Apa pun sebabnya, meroketnya harga beras telah memukul kehidupan rakyat. Pemerintah yang merasa kecolongan lalu mengambil langkah untuk menekan harga beras.

Operasi pasar besar-besaran digelar di berbagai daerah, termasuk di Jawa Timur yang dikenal sebagai lumbung beras nasional. Pemerintah juga menyalurkan beras untuk rakyat miskin (raskin). Dikabarkan, Bulog telah menyiapkan 300.000 ton beras, terdiri atas 175.000 ton untuk program raskin dan 125.000 ton bagi program operasi pasar.

Bangun dan Jatuhnya Rezim

Adalah fakta tak terbantahkan bahwa meroketnya harga beras saat krisis 1998 tidak semata-mata mengganggu ketahanan pangan. Ada implikasi yang jauh lebih serius yakni terjadi kerawanan sosial, instabilitas politik, dan kemudian diikuti oleh jatuhnya rezim Orde Baru.

Meski bukan kenaikan harga beras yang menjadi faktor tunggal meledaknya ketidakpuasan rakyat, tercekiknya leher rakyat akibat harga beras yang tidak terjangkau adalah faktor yang tidak bisa diabaikan. Itulah ironi yang menyertai jatuhnya Pak Harto. Betapa tidak, Pak Harto adalah presiden yang mempunyai perhatian dan prestasi besar di bidang pertanian. Boleh dikata Pak Harto berhasil melakukan ”revolusi beras”.

Oleh berbagai program yang dijalankan pemerintah, wajah Indonesia berubah drastis dari importir beras terbesar menjadi negara yang berswasembada, bahkan bisa melakukan ekspor beras pada 1985. Dunia mengakui prestasi Indonesia. Pada 1985 itu pula Pak Harto menerima penghargaan dari badan pangan dunia PBB (FAO) pada sidangnya di Roma. Saat itu Pak Harto mengajak serta belasan perwakilan petani untuk hadir di sidang FAO dan menyatakan bahwa penghargaan yang diterima Indonesia adalah untuk para petani yang telah bekerja keras.

Wajah Indonesia menjadi cerah di mata dunia. Wajah pemerintah dan citra Pak Harto makin menawan di mata rakyat. Legitimasi politik Pak Harto dikokohkan oleh prestasi di bidang pertanian sehingga secara politik Pak Harto menjadi legenda dalam urusan swasembada beras. Citra politik demikian sangat kuat karena berakar tunjang ke dalam urusan perut rakyat.

Dalam kondisi perut rakyat kenyang, stabilitas politik pemerintahan lebih mudah dirawat. Sayangnya, akhir rezim Orde Baru disergap oleh krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis multidimensi, di mana salah satu wajahnya adalah meroketnya harga beras. Beras telah menjadikan Pak Harto sebagai legenda, beras pula yang turut menyumbang terjadi kemerosotan kepercayaan rakyat yang berujung lengser keprabon.

Sejarah Bung Karno juga ditandai dengan menipisnya dukungan politik menjelang medio tahun60-ankarenamasalahkelaparan rakyat di berbagai daerah. Rakyat kesulitan mendapatkan beras. Agaknya konsentrasi Bung Karno pada agenda ”revolusi belum selesai” dan situasi politik nasional yang penuh jor-joran telah membuat urusan beras kurang di utamakan. Bung Karno memang jatuh karena krisis politik pasca- G30S-PKI. T

etapi, jelas ada prakondisi kesulitan pangan rakyat yang turut mewarnai terjadi perubahan politik saat itu. ItujugaironikarenaBungKarno juga punya pengalaman penting tentang beras. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams diceritakan, Bung Karno pernah dimintai tolong sambil diancam oleh pimpinan tentara Jepang Kapten Sakaguchi di Padang karena tentaranya krisis pangan.

Bung Karno lalu mengundang para pedagang beras sehingga krisis beras tentara Jepang bisa diatasi. Pikiran Bung Karno saat itu adalah agar rakyat Indonesia terhindar dari siksaan, sementara tentara Jepang terhindar dari kelaparan. Bung Karno juga pernah melakukan” diplomasiberas” kepada India. Saat terjadi kelaparan di India pada 1946, Indonesia mengirim beras. Ternyata ini membuat Indiaterkesan. KetikaBelanda melakukan agresi militer pada 1947, Indonesia keteteran.

Bung Karno meminta Bung Hatta menemui Nehru untuk meminta bantuan. Meski Hatta tidak berhasil mendapatkan bantuan senjata, India tampil menggalang protes internasional dan resolusi PBB untuk mengutuk Belanda. Terbukti usaha India berhasil.

Jangan Disepelekan

Nah, karena itulah, narasi beras bukan hanya tentang makanan utama mayoritas rakyat. Beras terlalu kompleks untuk dipahami dan dijelaskan sekadar sebagai bahan pangan. Beras jelas berwajah ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Memandang beras hanya sebagai urusan pangan atau perut rakyat adalah ”sesat pikir” yang berbahaya. Karena itu pula, urusan kenaikan harga beras tidak boleh disepelekan.

Sikap pemerintah untuk tidak impor patut diapresiasi. Sikap ini terkait janji kampanye Presiden Jokowi untuk membela petani. Tetapi, impor be-ras sejatinya tidak perlu diharamkan jika stok beras nasional rawan. Hajat hidup rakyat haruslah ditinggikan tempatnya di atas pilihan impor atau tidak impor. Jika terpaksa, impor tak boleh dianggap tabu. Yang penting tujuannya benar-benar untuk memenuhi hajat rakyat dan bukan demi rent seeking.

Semoga benar harapan pemerintah bahwa hasil panen raya sejalan dengan pilihan sikap untuk tidak impor beras. Tetapi, perlu senantiasa dicatat bahwa besarnya jumlah penduduk dan konsumsi beras per kapita tertinggi di dunia adalah problem yang selalu hadir. Itu tanda bahwa urusan beras sangat serius. Kapan Indonesia swasembada lagi?
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1696 seconds (0.1#10.140)