Politik Beras ala Jokowi
A
A
A
Atang Trisnanto M SI
Direktur Eksekutif National Food Security Studies (Nafis)
Berbicara mengenai beras, berbicara mengenai kebutuhan perut hampir seluruh rakyat di negeri ini. Dengan segala ceritanya, beras kini menjadi pangan utama nasional.
Satu waktu beras hanya menjadi barang biasa, namun di waktu yang lain menjelma menjadi barang yang cukup istimewa. Beras seharusnya bisa terjangkau oleh seluruh rakyat di negeri ini. Tak boleh ada yang lapar, tak boleh ada yang tidak bisa makan. Sejarah telah mencatat bahwa hampir semua negara menempatkan ketersediaan pangan sebagai kebijakan strategis. Jika rakyat lapar, ancaman terhadap stabilitas nasional akan semakin besar.
Maka itu, tidaklah berlebihan jika Perdana Menteri India periode 1947- 1964 Jawaharlal Nehru mengatakan, ”Segala sesuatu dapat menunggu, tapi tidak untuk pertanian. Apa pun, yang paling utama adalah harus cukup pangan. Berikutnya, baru yang lain.” Sebaliknya, jika kebutuhan pangan terpenuhi, urusan yang lain akan lebih mudah diselesaikan. Henry Kissinger, menlu AS era 1973-1976, menyampaikan, ”Siapa pun yang punya akses terhadap minyak, mereka akan dapat mengontrol banyak negara.
Siapa pun yang memiliki akses terhadap pangan, mereka akan mampu mengontrol masyarakat.” Betapa pentingnya ketersediaan pangan membuat hampir seluruh presiden Indonesia cukup disibukkan dengan masalah beras. Lantas, bagaimana dengan kebijakan pangan era Jokowi? Gebrakan awal mengenai prioritas perbaikan infrastruktur irigasi, sarana prasarana pertanian, dan percepatan sistem penyaluran benih unggul cukup menumbuhkan harapan yang tinggi. Namun, target ekspor beras 1 juta ton akhir 2015 cukup membingungkan. Pentingkah ekspor beras saat ini? Perlukah bagi kemandirian pangan? Adakah efeknya terhadap pasar beras dalam negeri?
Fenomena Kenaikan Harga Beras
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan persentase kenaikan harga beras yang cukup fantastis. Kenaikan harga hingga 30% merupakan yang terbesar sepanjang 15 tahun terakhir. Kenaikan harga beras pada masa-masa sebelum panen raya biasanya hanya berada pada kisaran angka maksimal 10%.
Beras kualitas sedang di pasaran saat ini rata-rata seharga Rp12.000 dari sebelumnya Rp9.000. Beras premium bahkan bisa tembus di atas angka Rp15.000 sampai Rp18.000 per kg. Dalam teori ekonomi, kenaikan harga barang disebabkan oleh hukum supply and demand yaitu rendahnya supply, tingginya demand, atau kedua faktor tersebut sekaligus. Lantas, apakah hukum ekonomi ini berlaku juga pada kenaikan harga beras saat ini? Jika bicara demand, permintaan terhadap beras relatif stabil dari waktu ke waktu.
Kalaupun ada permintaan yang melonjak, biasanya terjadi pada bulan- bulan hari raya keagamaan seperti Ramadan dan Lebaran. Kalaulah permintaan naik akibat raskin tidak dibagikan pada November-Desember 2014, hal tersebut hanya berdampak maksimal sampai awal Februari 2015. Kenapa? Akhir 2014 Bulog telah melakukan operasi pasar. Raskin juga kembali dibagikan pada akhir Januari.
Dengan demikian, bulan permintaan terhadap beras pada Februari ini kembali normal. Namun, harga terus melambung sampai akhir Februari. Dari sisi produksi, belum ada faktor ekstrem seperti banjir, hama padi, bencana alam ataupun kegagalan panen masif yang menyebabkan turunnya produksi padi dalam skala besar dibanding tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, dari data BPS (2015), produksi padi turun 1.07% pada 2011 dan saat itu tidak terjadi kenaikan harga seperti sekarang. Bandingkan dengan penurunan produksi padi 2014 yang hanya 0.94%. Lantas, ke mana perginya produksi padi tersebut sehingga harga beras di pasaran jadi naik? Selain produksi, faktor supply juga dipengaruhi oleh masalah distribusi, cadangan beras di gudang, dan motif ekonomi dalam rantai perdagangan.
Jika menilik produksi dan konsumsi beras (BPS, 2015), terdapat surplus produksi hingga 5 juta ton lebih pada 2014. Di luar masalah valid dan tidak data produksi dan konsumsi, seharusnya pasar tidak perlu panik dengan kondisi beras nasional. Yang menjadi masalah kemudian adalah, kita sulit mendeteksi secara akurat tentang seberapa besar gangguan distribusi dan motif ekonomi terhadap harga beras.
Solusi Jangka Pendek
Melihat peta permasalahan, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah distribusi dan kemungkinan adanya rent seeking. Kementerian Pertanian mesti cepat berkoordinasi dengan daerah dalam memetakan sebaran panen. Data ini penting bagi Kemenhub dan Kemendag untuk memperbaiki distribusi beras ke sentra konsumen. Satuan khusus Polri yang seharusnya selevel Densus 88 melakukan operasi terkait kemungkinan ada penimbunan beras.
Bulog harus segera melakukan operasi pasar di wilayah sentra konsumsi yang strategis. Operasi pasar ditujukan langsung ke konsumen di pasar, bukan melalui pedagang yang selama ini dilakukan Bulog. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mengembalikan Bulog pada fungsinya semula sebagai penyangga dan stabilisator harga pangan. Untuk itu, Bulog dikembalikan ke dalam bentuk lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), bukan sebagai BUMN yang ditarget mendapatkan profit.
Untuk jalur distribusi, pemerintah harus memperbaiki sistem angkutan khusus pangan strategis. Sistem gudang dan supply chain harus benar-benar menjadi fokus Kemendag. Terakhir, kontrol terhadap pemerintah daerah dalam masalah pertanian perlu dikuatkan, terutama dalam pencegahan konversi lahan. Sekali lagi, pemerintahan Jokowi jangan dulu terobsesi dengan ekspor beras. Politik pangan utama adalah ketahanan pangan dalam negeri.
Banyak hal mendasar lain yang masih perlu diselesaikan. Saya yakin, rakyat dengan sendirinya akan memberikan standing applause atas kerja-kerja serius pemerintah. Yang terpenting adalah citra abadi. Citra yang abadi akan muncul tatkala kepuasan rakyat memang terpenuhi, bukan citra palsu yang hanya muncul sesaat dengan sedikit polesan di sana-sini.
Direktur Eksekutif National Food Security Studies (Nafis)
Berbicara mengenai beras, berbicara mengenai kebutuhan perut hampir seluruh rakyat di negeri ini. Dengan segala ceritanya, beras kini menjadi pangan utama nasional.
Satu waktu beras hanya menjadi barang biasa, namun di waktu yang lain menjelma menjadi barang yang cukup istimewa. Beras seharusnya bisa terjangkau oleh seluruh rakyat di negeri ini. Tak boleh ada yang lapar, tak boleh ada yang tidak bisa makan. Sejarah telah mencatat bahwa hampir semua negara menempatkan ketersediaan pangan sebagai kebijakan strategis. Jika rakyat lapar, ancaman terhadap stabilitas nasional akan semakin besar.
Maka itu, tidaklah berlebihan jika Perdana Menteri India periode 1947- 1964 Jawaharlal Nehru mengatakan, ”Segala sesuatu dapat menunggu, tapi tidak untuk pertanian. Apa pun, yang paling utama adalah harus cukup pangan. Berikutnya, baru yang lain.” Sebaliknya, jika kebutuhan pangan terpenuhi, urusan yang lain akan lebih mudah diselesaikan. Henry Kissinger, menlu AS era 1973-1976, menyampaikan, ”Siapa pun yang punya akses terhadap minyak, mereka akan dapat mengontrol banyak negara.
Siapa pun yang memiliki akses terhadap pangan, mereka akan mampu mengontrol masyarakat.” Betapa pentingnya ketersediaan pangan membuat hampir seluruh presiden Indonesia cukup disibukkan dengan masalah beras. Lantas, bagaimana dengan kebijakan pangan era Jokowi? Gebrakan awal mengenai prioritas perbaikan infrastruktur irigasi, sarana prasarana pertanian, dan percepatan sistem penyaluran benih unggul cukup menumbuhkan harapan yang tinggi. Namun, target ekspor beras 1 juta ton akhir 2015 cukup membingungkan. Pentingkah ekspor beras saat ini? Perlukah bagi kemandirian pangan? Adakah efeknya terhadap pasar beras dalam negeri?
Fenomena Kenaikan Harga Beras
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan persentase kenaikan harga beras yang cukup fantastis. Kenaikan harga hingga 30% merupakan yang terbesar sepanjang 15 tahun terakhir. Kenaikan harga beras pada masa-masa sebelum panen raya biasanya hanya berada pada kisaran angka maksimal 10%.
Beras kualitas sedang di pasaran saat ini rata-rata seharga Rp12.000 dari sebelumnya Rp9.000. Beras premium bahkan bisa tembus di atas angka Rp15.000 sampai Rp18.000 per kg. Dalam teori ekonomi, kenaikan harga barang disebabkan oleh hukum supply and demand yaitu rendahnya supply, tingginya demand, atau kedua faktor tersebut sekaligus. Lantas, apakah hukum ekonomi ini berlaku juga pada kenaikan harga beras saat ini? Jika bicara demand, permintaan terhadap beras relatif stabil dari waktu ke waktu.
Kalaupun ada permintaan yang melonjak, biasanya terjadi pada bulan- bulan hari raya keagamaan seperti Ramadan dan Lebaran. Kalaulah permintaan naik akibat raskin tidak dibagikan pada November-Desember 2014, hal tersebut hanya berdampak maksimal sampai awal Februari 2015. Kenapa? Akhir 2014 Bulog telah melakukan operasi pasar. Raskin juga kembali dibagikan pada akhir Januari.
Dengan demikian, bulan permintaan terhadap beras pada Februari ini kembali normal. Namun, harga terus melambung sampai akhir Februari. Dari sisi produksi, belum ada faktor ekstrem seperti banjir, hama padi, bencana alam ataupun kegagalan panen masif yang menyebabkan turunnya produksi padi dalam skala besar dibanding tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, dari data BPS (2015), produksi padi turun 1.07% pada 2011 dan saat itu tidak terjadi kenaikan harga seperti sekarang. Bandingkan dengan penurunan produksi padi 2014 yang hanya 0.94%. Lantas, ke mana perginya produksi padi tersebut sehingga harga beras di pasaran jadi naik? Selain produksi, faktor supply juga dipengaruhi oleh masalah distribusi, cadangan beras di gudang, dan motif ekonomi dalam rantai perdagangan.
Jika menilik produksi dan konsumsi beras (BPS, 2015), terdapat surplus produksi hingga 5 juta ton lebih pada 2014. Di luar masalah valid dan tidak data produksi dan konsumsi, seharusnya pasar tidak perlu panik dengan kondisi beras nasional. Yang menjadi masalah kemudian adalah, kita sulit mendeteksi secara akurat tentang seberapa besar gangguan distribusi dan motif ekonomi terhadap harga beras.
Solusi Jangka Pendek
Melihat peta permasalahan, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah distribusi dan kemungkinan adanya rent seeking. Kementerian Pertanian mesti cepat berkoordinasi dengan daerah dalam memetakan sebaran panen. Data ini penting bagi Kemenhub dan Kemendag untuk memperbaiki distribusi beras ke sentra konsumen. Satuan khusus Polri yang seharusnya selevel Densus 88 melakukan operasi terkait kemungkinan ada penimbunan beras.
Bulog harus segera melakukan operasi pasar di wilayah sentra konsumsi yang strategis. Operasi pasar ditujukan langsung ke konsumen di pasar, bukan melalui pedagang yang selama ini dilakukan Bulog. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mengembalikan Bulog pada fungsinya semula sebagai penyangga dan stabilisator harga pangan. Untuk itu, Bulog dikembalikan ke dalam bentuk lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), bukan sebagai BUMN yang ditarget mendapatkan profit.
Untuk jalur distribusi, pemerintah harus memperbaiki sistem angkutan khusus pangan strategis. Sistem gudang dan supply chain harus benar-benar menjadi fokus Kemendag. Terakhir, kontrol terhadap pemerintah daerah dalam masalah pertanian perlu dikuatkan, terutama dalam pencegahan konversi lahan. Sekali lagi, pemerintahan Jokowi jangan dulu terobsesi dengan ekspor beras. Politik pangan utama adalah ketahanan pangan dalam negeri.
Banyak hal mendasar lain yang masih perlu diselesaikan. Saya yakin, rakyat dengan sendirinya akan memberikan standing applause atas kerja-kerja serius pemerintah. Yang terpenting adalah citra abadi. Citra yang abadi akan muncul tatkala kepuasan rakyat memang terpenuhi, bukan citra palsu yang hanya muncul sesaat dengan sedikit polesan di sana-sini.
(ars)