Negeri Gaduh

Sabtu, 28 Februari 2015 - 09:49 WIB
Negeri Gaduh
Negeri Gaduh
A A A
Keinginan sebagian besar masyarakat agar kegaduhan negeri ini segera diakhiri masih sulit terwujud. Baru kelar sementara ribut ribut antara dua lembaga penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, kegaduhan baru datang.

Kali ini kegaduhan situasi melibatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mitra kerjanya, DPRD DKI Jakarta. Seluruh fraksi di DPRD DKI sepakat mengajukan hak angket yang kemudian direspons cepat oleh Ahok dengan melaporkan adanya dana siluman dalam APBD 2015.

Dalam ribut-ribut APBD DKI Jakarta 2015 ini kedua pihak gagal menyelesaikan perbedaan pandangan melalui musyawarah mufakat. Awal mula perselisihan panjang KPK dan Polri juga disebabkan buntunya komunikasi antara kedua lembaga penegak hukum itu dalam hal pengajuan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sehari sebelum menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR, Budi Gunawan (BG) ditetapkan tersangka oleh KPK. Publik kaget dan gaduh. Situasi semakin gaduh setelah mayoritas fraksi di DPR meloloskan BG dan meminta Presiden Jokowi segera melantiknya sebagai kepala Polri.

Menerima keputusan DPR itu, Presiden Jokowi galau dalam beberapa pekan. Celakanya, sikap diam Presiden justru menambah kegaduhan baru. Semakin lama ditunda semakin lama pula kegaduhan ini dipelihara. Setelah itu kegaduhan-kegaduhan datang silih berganti.

Dimulai dengan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto serta penetapan tersangka kepada Ketua KPK Abraham Samad dalam kasus pemalsuan dokumen. Sebelumnya, sidang PTUN yang dipimpin hakim Sarpin telah mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan BG atas penetapan tersangkanya oleh KPK.

Pendapat pun terbelah, ada yang mendukung hakim Sarpin, ada yang antipati, bahkan mengecamnya. Kata kriminalisasi semakin akrab di telinga publik. Ribut-ribut ini pun sedikit mereda setelah Presiden Jokowi mengumumkan nama baru, yakni Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon kepala Polri menggantikan BG dan penunjukan tiga pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK.

Ternyata keputusan Presiden Jokowi itu tetap menyisakan banyak lubang. Pro dan kontra tetap mengemuka, meskipun sebenarnya rivalitas KPK-Polri sedikit menurun setelah penunjukan figur baru di KPK yang beda gaya kepemimpinan sebelumnya (AS dan BW). Penurunan tensi politik hukum ternyata berlangsung singkat.

Tensi naik lagi karena BW dan pendukungnya protes dan tidak mau memenuhi panggilan polisi. Dua contoh kasus di atas adalah bukti bahwa kegaduhan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tak hanya di tingkat elite, kegaduhan di level akar rumput pun seru.

Misalnya pelaku kriminal begal motor yang dibakar hidup-hidup setelah babak-belur dihakimi massa. Ini jelas ada yang tidak beres dalam pengelolaan keamanan dan ketertiban publik yang dilakukan oleh negara. Kegaduhan sudah pasti menimbulkan banyak ketidaknyamanan.

Karena energinya terkuras akibat kegaduhan itu, para pejabat dan aparat negara tidak akan fokus menjalankan tugas. Bahkan fungsi-fungsi penting yang merupakan tugas pokok masing-masing sering diabaikan dan ditinggalkan. Pelayanan publik jadi kurang baik dan tentu saja merugikan masyarakat. Karena itu, para pemimpin formal maupun informal harus sering- sering bertemu agar komunikasi semakin cair.

Komunikasi yang baik akan mengurangi ego individu, ego kelompok, maupun ego kelembagaan. Melepaskan tiga ego itu tidak semudah membalikkan tangan. Para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan rakyatnya ternyata tidak menunjukkan perilaku seperti itu. Malah sebaliknya, masyarakat kita sering diberi tontonan yang tidak pantas dilakukan pemimpin.

Ada yang adu mulut dan saling kecam di depan umum, ada yang lambat dan galau dalam mengambil keputusan, ada yang berani dobrak aturan tapi tanpa perhitungan dan selanjutnya. Kegaduhan memang diperlukan sebagai dinamika negara demokrasi. Namun, kegaduhan itu harus terukur dan terkendali dengan baik oleh pemimpin maupun masyarakatnya sendiri.

Hanya dengan terkendali efek negatif kegaduhan bisa ditekan serendah mungkin sebelum menimbulkan antipati di masyarakat. Jangan sampai kita mendapat julukan sebagai ”negeri gaduh”.
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0614 seconds (0.1#10.140)