Mengembalikan Khitah Bulog
A
A
A
Gonjang-ganjing harga beras yang telah berlangsung beberapa bulan terakhir mengingatkan kita tentang arti penting mengembalikan Bulog kepada semangat awalnya (khitah).
Semangat awal dibentuk Bulog adalah mengemban dua misi besar. Misi pertama, melindungi konsumen, utamanya warga miskin dan kaum marginal perkotaan dari melambungnya harga kebutuhan pangan pokok. Misi kedua, melindungi petani dari keterpurukan harga jual komoditas pangan hasil panen mereka.
Namun, dengan bergulirnya waktu, sejak 1998 pemerintah atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) ”mempreteli” peran dan fungsi Bulog. Misi heroik yang harus diemban Bulog tersebut semakin pudar ketika lembaga ini kemudian menjelma menjadi perusahaan umum (perum) seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog.
Sejujurnya kita akui, setelah Bulog menjelma menjadi perum, peran lembaga ini tak ubahnya mesin ekonomi liberal lain. Layaknya mesin ekonomi liberal, jika suatu aktivitas menjanjikan keuntungan secara ekonomi, mesin ini akan bergerak. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut tidak menjanjikan keuntungan secara ekonomi, mesin ekonomi ini akan memilih ”duduk manis”.
Kompleksitas masalah pangan saat ini dan ke depan akan semakin tinggi. Untuk itu, dituntut keseriusan negara/pemerintah untuk menanganinya. Saatnya Bulog dikembalikan kepada semangat awal saat lembaga ini dibentuk. Sejarah panjang bangsa ini telah mencatat bahwa dalam sebutir beras tidak hanya terkandung dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi kehidupan lain seperti dimensi sosial, keadilan, nasionalisme, spiritual, juga politik.
Jadi komoditas pangan tak sepantasnya diposisikan sebatas komoditas perdagangan layaknya produk manufaktur. Hanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah/negara harus hadir dalam setiap permasalahan pangan yang membelit rakyat seperti permasalahan meroketnya harga beras beberapa waktu terakhir. Menyerahkan pengelolaan pangan pada swasta merupakan bentuk pengingkaran kewa-jiban negara dalam memenuhi hak rakyat paling asasi tersebut.
Di Bawah Presiden
Semangat itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 126 Undang-Undang Pangan menegaskan bahwa dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Lembaga tersebut mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah. Pilihan paling realistis untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut tidak ada lain selain Perum Bulog. Bulog dengan tugas pokok dan fungsi baru tersebut harus menjalankan manajemen pangan sebagaimana diformulakan Saleh Affif dan Leon Mears (1967).
Terdapat lima prinsip dalam formula tersebut. Pertama, ditetapkan harga dasar komoditas (floor price) yang memberikan insentif harga jual bagi petani sehingga mereka tetap bergairah dalam melakukan usaha tani. Untuk tujuan ini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dituangkan dalam instruksi presiden (inpres) yang memuat mekanisme harga dasar komoditas dalam bentuk harga pembelian pemerintah (HPP).
Kedua, perlu ada harga maksimum (ceiling price) yang bertujuan melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tak terkendali. Jika mekanisme harga maksimum dapat berfungsi dengan baik, tak perlu terjadi gonjang-ganjing harga beras seperti kita alami beberapa bulan terakhir.
Ketiga, perlu ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum. Selisih harga yang memadai tersebut akan lebih merangsang aktivitas perdagangan oleh swasta. Keempat, perlu diupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar.
Kelima, perlu ada stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai pemerintah dalam jumlah yang cukup. Stok penyangga ini sangat penting untuk melakukan penetrasi pasar dalam rangka stabilisasi harga pada saat-saat tertentu misalnya pada musim paceklik, Lebaran, atau Natal dan tahun baru.
Hanya Buloglah yang memiliki 1.755 gudang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sehingga peran sebagai pengelola stok penyangga pangan tersebut sangat mungkin diembannya. Untuk itulah, Bulog perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan stok pangan, termasuk di dalamnya kebijakan importasi. Dengan catatan, kebijakan importasi tetap harus memprioritaskan penyerapan hasil panen petani domestik untuk kemandirian dan kedaulatan pangan bangsa.
Profesional
Satu hal yang perlu diingat, track record Bulog masa lalu sangat kental dengan aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Secara kasatmata Bulog pernah menjadi mesin uang politik penguasa. Skandal Bulog yang berjilid-jilid menjadi bukti yang tak terbantahkan. Ke depan semua itu harus dijadikan cermin bagi seluruh jajaran Bulog agar tidak terjerumus pada kasus-kasus yang sama.
Dengan tugas pokok dan fungsi yang baru, Bulog harus mampu memerankan diri sebagai lembaga penyangga dan stabilisator harga pangan yang profesional demi kepentingan rakyat. Prinsip good corporate governance harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga akan lebih efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, agar beban berat yang diamanatkan kepada Bulog dapat memenuhi harapan masyarakat, Bulog harus mempunyai hak istimewa. Tanpa hak istimewa tersebut, Bulog tidak akan mampu melawan sepak terjang para ”naga” dan ”samurai” yang sudah menguasai mata rantai perdagangan pangan dari sentra produksi hingga pasar ritel.
Salah satu hak istimewa tersebut antara lain memberikan hak kepada Bulog untuk mengimpor semua komoditas bahan pangan pokok dengan persentase yang besar dibanding pelaku pasar lain. Hanya dengan hak-hak istimewa seperti inilah, Bulog akan mampu melawan kartel pangan yang kini sudah menggurita. Di sinilah komitmen para penentu kebijakan pangan negeri ini tengah diuji.
Toto Subandriyo
Praktisi Dunia Pertanian, Lulusan IPB, dan Magister Manajemen UNSOED
Semangat awal dibentuk Bulog adalah mengemban dua misi besar. Misi pertama, melindungi konsumen, utamanya warga miskin dan kaum marginal perkotaan dari melambungnya harga kebutuhan pangan pokok. Misi kedua, melindungi petani dari keterpurukan harga jual komoditas pangan hasil panen mereka.
Namun, dengan bergulirnya waktu, sejak 1998 pemerintah atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) ”mempreteli” peran dan fungsi Bulog. Misi heroik yang harus diemban Bulog tersebut semakin pudar ketika lembaga ini kemudian menjelma menjadi perusahaan umum (perum) seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog.
Sejujurnya kita akui, setelah Bulog menjelma menjadi perum, peran lembaga ini tak ubahnya mesin ekonomi liberal lain. Layaknya mesin ekonomi liberal, jika suatu aktivitas menjanjikan keuntungan secara ekonomi, mesin ini akan bergerak. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut tidak menjanjikan keuntungan secara ekonomi, mesin ekonomi ini akan memilih ”duduk manis”.
Kompleksitas masalah pangan saat ini dan ke depan akan semakin tinggi. Untuk itu, dituntut keseriusan negara/pemerintah untuk menanganinya. Saatnya Bulog dikembalikan kepada semangat awal saat lembaga ini dibentuk. Sejarah panjang bangsa ini telah mencatat bahwa dalam sebutir beras tidak hanya terkandung dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi kehidupan lain seperti dimensi sosial, keadilan, nasionalisme, spiritual, juga politik.
Jadi komoditas pangan tak sepantasnya diposisikan sebatas komoditas perdagangan layaknya produk manufaktur. Hanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah/negara harus hadir dalam setiap permasalahan pangan yang membelit rakyat seperti permasalahan meroketnya harga beras beberapa waktu terakhir. Menyerahkan pengelolaan pangan pada swasta merupakan bentuk pengingkaran kewa-jiban negara dalam memenuhi hak rakyat paling asasi tersebut.
Di Bawah Presiden
Semangat itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 126 Undang-Undang Pangan menegaskan bahwa dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Lembaga tersebut mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah. Pilihan paling realistis untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut tidak ada lain selain Perum Bulog. Bulog dengan tugas pokok dan fungsi baru tersebut harus menjalankan manajemen pangan sebagaimana diformulakan Saleh Affif dan Leon Mears (1967).
Terdapat lima prinsip dalam formula tersebut. Pertama, ditetapkan harga dasar komoditas (floor price) yang memberikan insentif harga jual bagi petani sehingga mereka tetap bergairah dalam melakukan usaha tani. Untuk tujuan ini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dituangkan dalam instruksi presiden (inpres) yang memuat mekanisme harga dasar komoditas dalam bentuk harga pembelian pemerintah (HPP).
Kedua, perlu ada harga maksimum (ceiling price) yang bertujuan melindungi konsumen dari kenaikan harga yang tak terkendali. Jika mekanisme harga maksimum dapat berfungsi dengan baik, tak perlu terjadi gonjang-ganjing harga beras seperti kita alami beberapa bulan terakhir.
Ketiga, perlu ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum. Selisih harga yang memadai tersebut akan lebih merangsang aktivitas perdagangan oleh swasta. Keempat, perlu diupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar.
Kelima, perlu ada stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai pemerintah dalam jumlah yang cukup. Stok penyangga ini sangat penting untuk melakukan penetrasi pasar dalam rangka stabilisasi harga pada saat-saat tertentu misalnya pada musim paceklik, Lebaran, atau Natal dan tahun baru.
Hanya Buloglah yang memiliki 1.755 gudang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sehingga peran sebagai pengelola stok penyangga pangan tersebut sangat mungkin diembannya. Untuk itulah, Bulog perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan stok pangan, termasuk di dalamnya kebijakan importasi. Dengan catatan, kebijakan importasi tetap harus memprioritaskan penyerapan hasil panen petani domestik untuk kemandirian dan kedaulatan pangan bangsa.
Profesional
Satu hal yang perlu diingat, track record Bulog masa lalu sangat kental dengan aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Secara kasatmata Bulog pernah menjadi mesin uang politik penguasa. Skandal Bulog yang berjilid-jilid menjadi bukti yang tak terbantahkan. Ke depan semua itu harus dijadikan cermin bagi seluruh jajaran Bulog agar tidak terjerumus pada kasus-kasus yang sama.
Dengan tugas pokok dan fungsi yang baru, Bulog harus mampu memerankan diri sebagai lembaga penyangga dan stabilisator harga pangan yang profesional demi kepentingan rakyat. Prinsip good corporate governance harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga akan lebih efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, agar beban berat yang diamanatkan kepada Bulog dapat memenuhi harapan masyarakat, Bulog harus mempunyai hak istimewa. Tanpa hak istimewa tersebut, Bulog tidak akan mampu melawan sepak terjang para ”naga” dan ”samurai” yang sudah menguasai mata rantai perdagangan pangan dari sentra produksi hingga pasar ritel.
Salah satu hak istimewa tersebut antara lain memberikan hak kepada Bulog untuk mengimpor semua komoditas bahan pangan pokok dengan persentase yang besar dibanding pelaku pasar lain. Hanya dengan hak-hak istimewa seperti inilah, Bulog akan mampu melawan kartel pangan yang kini sudah menggurita. Di sinilah komitmen para penentu kebijakan pangan negeri ini tengah diuji.
Toto Subandriyo
Praktisi Dunia Pertanian, Lulusan IPB, dan Magister Manajemen UNSOED
(ftr)