Moralitas Politik Jokowi
A
A
A
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Kelihatannya Presiden Jokowi tidak jadi dan tidak akan kehilangan “public trust“. Situasi politik yang agak menegangkan sekitar tiga minggu lalu itu membuat publik bingung. Kemudian berbagai penilaian terhadap Presiden Jokowi muncul.
Ada yang marah, ada yang kecewa, ada yang sudah bicara untuk melengserkannya. Betapa rentan sikap politik kita. Jarak dari dukungan ke kemarahan, dan kekecewaan begitu dekatnya. Bahkan jarak dari dukungan ke gagasan melengserkannya terasa lebih dekat lagi. Inilahkira-kirasituasipolitik yang mewakili aspirasi publik yang “romantis”, yang mengandaikan tokoh yang didukungnya sempurna, dan setiap saat diharapkan bisa memberi kepuasan politik mereka.
Kalau kita mendukung atau memilih tokoh secara dewasa jadi tidak “romantis” seperti itu niscaya apa pun yang terjadi, apalagi tokoh kita itu baru menjalankan tugasnya selama tiga bulan, kita masih longgar untuk memberinya kesempatan. Mendukung dan memilih secara dewasa selalu ada “reserve“.
Kita bukan pendukung dan pemilih fanatik, apalagi dengan fanatisme buta. Memilih dengan “reserve“ itu kita sudah menduga pilihan kita punya kekurangan di sana-sini. Jadi kita siap untuk kecewa dan tahu pada suatu saat akan kecewa, tapi tak disertai kemarahan dan mengumbar kutukan. Apalagi sudah siap melengserkannya. Tradisi menilai seorang pemimpin dalam masa kerja tiga bulan itu mungkin bagian dari kegenitan mungkin bahkan kekonyolan politik yang percuma.
Sesudah kita percaya pada “platform” politik dan program kerjanya, kita sudah menaruh kepercayaan kepadanya untuk bekerja lima tahun. Penilaian tiga bulanan itu tindakan politik yang sia-sia karenaakhirnyadisanadisetujui lagi untuk tidak diapa-apakan. Kalau sekadar mau mengkritik, sehari kerja pun sudah bisa dikritik. Seminggu bekerja sudah boleh pula diawasi secara ketat.
Tetapi, jatah lima tahun belum layak sama sekali untuk diungkit- ungkit. Ini tak berarti bahwa pemimpin kita itu harus bekerja “full “ lima tahun. Kontrak lima tahun itu memang ada syarat-syaratnya. Sikap latah dan gampang bicara tentang melengserkan itu tidak sehat sama sekali. Ini tanda sikap politik yang “mentah” dan tak akan pernah memberikan kontribusi untuk membangun kepemimpinanbangsayang sehat dan demokratis. Ini sikap politik yang tak bertanggung jawab.
Andaikata suara itu datang dari pihak musuh yang sejak semula tak mendukung, itu pun bukan potret sikap politik yang elegan. Kita memang tidak heran karena yang bicara seperti itu politisi yang belum punya kiblat politik yang jelas. Tapi, kalau aktivis yang sudah matang, akademisi yang berwibawa, dan rohaniwan yang tak lagi tergiur urusan duniawi dan jabatan-jabatan politik, pantang berbicara seperti itu.
Mereka ini antara lain golongan yang bisa disebut “concerned citizens“, atau “devoted intellectuals“, yang mampu membangun kematangan politik bangsa dan moralitas politik seluruh warga negara dengancara yang penuh kehormatan.
Dalam keruwetan politik yang menyesakkan dada seperti tiga minggu lalu itu, setiap pihak, termasuk politisi yang punya karakter kepemimpinan yang jelas, wajib mencari jalan pemecahan demi kebaikan seluruh bangsa, demi tumbuhnya demokrasi, demi suburnya model kepemimpinan yang kita dambakan bersama.
Begitu hendaknya yang wajib dilakukan kaum intelektual yaitu para aktivis, pemikir, rohaniwan, dan kaum seniman. Memberi nasihat, mengkritik, atau memberi komentar terbuka, bagi mereka ini tidak ada tujuan lain kecuali membangun tegaknya moralitas politik yang jernih, yang kiblat rohaniahnya tak diragukan.
Mereka ini seksi melek, tidak lalai, dan tidak lupa sama sekali untuk mengamati apa yang terjadi di dalam tata pemerintahan dan sikap pemerintah yang memanggul mandat konstitusi. Pemikiran mereka merupakan representasi “pendidikan” politik bagi warga negara, suara mereka mewakili wilayah rohani kita, yang mengolah dan menerjemahkan dengan baik pesan “langit” ke dalam bahasa bumi.
Boleh juga disebut bahwa pemikiran dan suara mereka itu kawinan antara realitas ideal dan realitas sosiologis. Yang ideal itu kerangka rohani yang tak terpegang, sebaliknya, yang sosiologisjelassesuatuyang“riil” dan nyata dalam hidup kita. Kalau Presiden dan para pejabat tinggi lain siap mendengarkan suara golongan ini, selamatlah perjalanan politik mereka. Itu juga berarti selamatlah moralitas pribadinya sebagai penyelenggara negara yang memanggul mandat konstitusi tadi.
Kita tahu Presiden Jokowi ya Jokowi. Sederhana, polos, dan terkadang tampak, atau mengesankan hanya paham akan ihwal teknis belaka. Ada pula kesan, tokoh ini posisi tertingginya hanya di level gubernur karena untuk menghadapi lawan-lawan politik yang bisa “menjerit” setinggi langit akan kekurangan kemampuan. Untuk melakukan berbagai “deal “ politik yang sedikit kotor, beliau tak bakal terampil.
Tapi, benarkah beliau tidak terampil? Dalam menangani kasus pengedar narkoba, musuh dunia saat ini, aturannya jelas; tidak ada toleransi. Di manamana tindakannya sama tegasnya. Tak peduli suara apa pun, Presiden Jokowi, yang diduga tak bakal berani bertindak itu ternyata kita saksikan sendiri beliau tegas. Contoh presiden sebelumnya, yang mengabdi kepada kepentingan internasional demi citra pribadinya, tak digubris.
Ada orang yang sosok moralitas pribadinya baik, memiliki standar moral yang tinggi, bersih, dan terpuji. Moralitas sosialnya boleh jadi belum tercatat. Kata orang, yang bersangkutan belum berpengalaman, dandidugabakal tak sebaik moralitas pribadinya. Apakah dalam kasus Presiden Jokowi dalil ini berlaku? Apakah terbukti beliau tak pandai melakukan berbagai “deal “ politik yang penuh tipu muslihat itu?
Strategi terobosan politik untuk menangani kasus polisi dan KPK yang sensitif dan ruwet itu sama sekali tak terduga. Ini cara semanis Maradona memasukkan gol ke gawang lawan, dengan bantuan tangan: sesuatu yang tak diperbolehkan. Tapi, dengan jenaka Maradona berkata, setengah mengakui: kalau toh ada tangan, itu tangan Tuhan.
Untuk membuat semua pihak tak kehilangan muka, langkah Presiden Jokowi jitu, seperti tindakan orang yang sudah dua puluh tahun menjadi presiden biar pun sebetulnya belum berpengalaman. Tapi, jalan tengah sering menyisakan persoalan lebih serius. Tindakan tak jadi melantik BG itu manis secara politik, dan lebih manis secara diplomatik, tapi ketegasan hukum tak boleh dikorbankan.
Penegakan hukum wajib diteruskan sampai tidak ada sisa pertanyaan moral politik yang mengganjal. Ada media yang menyebut Presiden Jokowi itu tinggal menikmati buah reformasi. Tapi, bukan hanya itu. Banyak tokoh lain yang merupakan “liability “ dalam derap reformasi dan menjadi gangguan dan penghalang reformasi. Presiden Jokowi bukan hanya menikmati buah reformasi. Beliau juga aset bagi reformasi. Standar moral dan etiknya jelas. Moral politiknya lebih jelas lagi.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Kelihatannya Presiden Jokowi tidak jadi dan tidak akan kehilangan “public trust“. Situasi politik yang agak menegangkan sekitar tiga minggu lalu itu membuat publik bingung. Kemudian berbagai penilaian terhadap Presiden Jokowi muncul.
Ada yang marah, ada yang kecewa, ada yang sudah bicara untuk melengserkannya. Betapa rentan sikap politik kita. Jarak dari dukungan ke kemarahan, dan kekecewaan begitu dekatnya. Bahkan jarak dari dukungan ke gagasan melengserkannya terasa lebih dekat lagi. Inilahkira-kirasituasipolitik yang mewakili aspirasi publik yang “romantis”, yang mengandaikan tokoh yang didukungnya sempurna, dan setiap saat diharapkan bisa memberi kepuasan politik mereka.
Kalau kita mendukung atau memilih tokoh secara dewasa jadi tidak “romantis” seperti itu niscaya apa pun yang terjadi, apalagi tokoh kita itu baru menjalankan tugasnya selama tiga bulan, kita masih longgar untuk memberinya kesempatan. Mendukung dan memilih secara dewasa selalu ada “reserve“.
Kita bukan pendukung dan pemilih fanatik, apalagi dengan fanatisme buta. Memilih dengan “reserve“ itu kita sudah menduga pilihan kita punya kekurangan di sana-sini. Jadi kita siap untuk kecewa dan tahu pada suatu saat akan kecewa, tapi tak disertai kemarahan dan mengumbar kutukan. Apalagi sudah siap melengserkannya. Tradisi menilai seorang pemimpin dalam masa kerja tiga bulan itu mungkin bagian dari kegenitan mungkin bahkan kekonyolan politik yang percuma.
Sesudah kita percaya pada “platform” politik dan program kerjanya, kita sudah menaruh kepercayaan kepadanya untuk bekerja lima tahun. Penilaian tiga bulanan itu tindakan politik yang sia-sia karenaakhirnyadisanadisetujui lagi untuk tidak diapa-apakan. Kalau sekadar mau mengkritik, sehari kerja pun sudah bisa dikritik. Seminggu bekerja sudah boleh pula diawasi secara ketat.
Tetapi, jatah lima tahun belum layak sama sekali untuk diungkit- ungkit. Ini tak berarti bahwa pemimpin kita itu harus bekerja “full “ lima tahun. Kontrak lima tahun itu memang ada syarat-syaratnya. Sikap latah dan gampang bicara tentang melengserkan itu tidak sehat sama sekali. Ini tanda sikap politik yang “mentah” dan tak akan pernah memberikan kontribusi untuk membangun kepemimpinanbangsayang sehat dan demokratis. Ini sikap politik yang tak bertanggung jawab.
Andaikata suara itu datang dari pihak musuh yang sejak semula tak mendukung, itu pun bukan potret sikap politik yang elegan. Kita memang tidak heran karena yang bicara seperti itu politisi yang belum punya kiblat politik yang jelas. Tapi, kalau aktivis yang sudah matang, akademisi yang berwibawa, dan rohaniwan yang tak lagi tergiur urusan duniawi dan jabatan-jabatan politik, pantang berbicara seperti itu.
Mereka ini antara lain golongan yang bisa disebut “concerned citizens“, atau “devoted intellectuals“, yang mampu membangun kematangan politik bangsa dan moralitas politik seluruh warga negara dengancara yang penuh kehormatan.
Dalam keruwetan politik yang menyesakkan dada seperti tiga minggu lalu itu, setiap pihak, termasuk politisi yang punya karakter kepemimpinan yang jelas, wajib mencari jalan pemecahan demi kebaikan seluruh bangsa, demi tumbuhnya demokrasi, demi suburnya model kepemimpinan yang kita dambakan bersama.
Begitu hendaknya yang wajib dilakukan kaum intelektual yaitu para aktivis, pemikir, rohaniwan, dan kaum seniman. Memberi nasihat, mengkritik, atau memberi komentar terbuka, bagi mereka ini tidak ada tujuan lain kecuali membangun tegaknya moralitas politik yang jernih, yang kiblat rohaniahnya tak diragukan.
Mereka ini seksi melek, tidak lalai, dan tidak lupa sama sekali untuk mengamati apa yang terjadi di dalam tata pemerintahan dan sikap pemerintah yang memanggul mandat konstitusi. Pemikiran mereka merupakan representasi “pendidikan” politik bagi warga negara, suara mereka mewakili wilayah rohani kita, yang mengolah dan menerjemahkan dengan baik pesan “langit” ke dalam bahasa bumi.
Boleh juga disebut bahwa pemikiran dan suara mereka itu kawinan antara realitas ideal dan realitas sosiologis. Yang ideal itu kerangka rohani yang tak terpegang, sebaliknya, yang sosiologisjelassesuatuyang“riil” dan nyata dalam hidup kita. Kalau Presiden dan para pejabat tinggi lain siap mendengarkan suara golongan ini, selamatlah perjalanan politik mereka. Itu juga berarti selamatlah moralitas pribadinya sebagai penyelenggara negara yang memanggul mandat konstitusi tadi.
Kita tahu Presiden Jokowi ya Jokowi. Sederhana, polos, dan terkadang tampak, atau mengesankan hanya paham akan ihwal teknis belaka. Ada pula kesan, tokoh ini posisi tertingginya hanya di level gubernur karena untuk menghadapi lawan-lawan politik yang bisa “menjerit” setinggi langit akan kekurangan kemampuan. Untuk melakukan berbagai “deal “ politik yang sedikit kotor, beliau tak bakal terampil.
Tapi, benarkah beliau tidak terampil? Dalam menangani kasus pengedar narkoba, musuh dunia saat ini, aturannya jelas; tidak ada toleransi. Di manamana tindakannya sama tegasnya. Tak peduli suara apa pun, Presiden Jokowi, yang diduga tak bakal berani bertindak itu ternyata kita saksikan sendiri beliau tegas. Contoh presiden sebelumnya, yang mengabdi kepada kepentingan internasional demi citra pribadinya, tak digubris.
Ada orang yang sosok moralitas pribadinya baik, memiliki standar moral yang tinggi, bersih, dan terpuji. Moralitas sosialnya boleh jadi belum tercatat. Kata orang, yang bersangkutan belum berpengalaman, dandidugabakal tak sebaik moralitas pribadinya. Apakah dalam kasus Presiden Jokowi dalil ini berlaku? Apakah terbukti beliau tak pandai melakukan berbagai “deal “ politik yang penuh tipu muslihat itu?
Strategi terobosan politik untuk menangani kasus polisi dan KPK yang sensitif dan ruwet itu sama sekali tak terduga. Ini cara semanis Maradona memasukkan gol ke gawang lawan, dengan bantuan tangan: sesuatu yang tak diperbolehkan. Tapi, dengan jenaka Maradona berkata, setengah mengakui: kalau toh ada tangan, itu tangan Tuhan.
Untuk membuat semua pihak tak kehilangan muka, langkah Presiden Jokowi jitu, seperti tindakan orang yang sudah dua puluh tahun menjadi presiden biar pun sebetulnya belum berpengalaman. Tapi, jalan tengah sering menyisakan persoalan lebih serius. Tindakan tak jadi melantik BG itu manis secara politik, dan lebih manis secara diplomatik, tapi ketegasan hukum tak boleh dikorbankan.
Penegakan hukum wajib diteruskan sampai tidak ada sisa pertanyaan moral politik yang mengganjal. Ada media yang menyebut Presiden Jokowi itu tinggal menikmati buah reformasi. Tapi, bukan hanya itu. Banyak tokoh lain yang merupakan “liability “ dalam derap reformasi dan menjadi gangguan dan penghalang reformasi. Presiden Jokowi bukan hanya menikmati buah reformasi. Beliau juga aset bagi reformasi. Standar moral dan etiknya jelas. Moral politiknya lebih jelas lagi.
(ars)