Tantangan Lingkungan Riset
A
A
A
Membangun budaya riset atau penelitian di perguruan tinggi tidak hanya tentang memotivasikan gagasan-gagasan cemerlang dan ilmiah yang kemudian menjadi sebuah daya guna.
Institusi pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi bersama perguruan tinggi harus dapat membentuk lingkungan riset yang mendukung gagasangagasan tersebut agar kemudian muncul. Kalaupun yang sudah muncul, harus dapat difasilitasi agar tidak berhenti. Dalam skala makro, anggaran riset dari APBN untuk Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi sekitar Rp40 triliun, 0,04% dari PDB Indonesia.
Rasio normal untuk anggaran riset adalah sekitar 2% dari PDB, sekitar lebih dari Rp180 triliun (2013). Namun, rupanya ruang fiskal Indonesia belum dapat memenuhi tersebut. Hal demikian mungkin saja berimbas untuk persoalan yang berskala kecil, kultur riset di mahasiswa perguruan tinggi misalkan, jumlah lomba penelitian yang berbiaya relatif murah dan akses publikasi penelitian yang mudah relatif sangat terbatas.
Lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) misalkan hampir menjadi satusatunya event tahunan mahasiswa dalam menuliskan idenya. Sementara lomba penelitian lain yang diselenggarakan nonpemerintah berbiaya relatif mahal.
Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menuliskan idenya, namun juga mencari pendanaan untuk dapat mengikuti kegiatan lomba penelitian tersebut. Ini jelas mengurangi motivasi mahasiswa untuk meneliti. Sebagai perbandingan, perguruan tinggi di Inggris dan Amerika Serikat akan mengompensasikan seorang profesor jika berhasil menyelesaikan membaca sebuah buku.
Belum lagi jika dia berhasil membuat sebuah invention , Pemerintah AS menjamin hak paten atas pelindungan kekayaan intelektual. Masalah lain yang patut diperhatikan adalah keterbatasan akses informasi terkait kesempatan untuk penelitian atau melakukan publikasi penelitian. Lembaga-lembaga pengelola penelitian berpusat di kota kota-kota besar, termasuk lembaga penyalur dana penelitian, ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang terletak di daerah dan pelosok.
Publisitas menjadi kurang. Ini mendorong diperlukan peningkatan jumlah lembaga-lembaga tersebut di daerah. Riset mungkin tidak lantas mengubah dunia, namun output riset tersebut dapat menjadi acuan keputusan yang strategis.
Untuk itu, selain merangsang gagasangagasan ilmiah, membentuk lingkungan riset dan penelitian yang mendukung sepatutnya menjadi pekerjaan rumah dari seluruh pihak baik pemerintah, lembaga riset, dan perguruan tinggi negeri.
Muhammad Mulyawan Tuankotta
Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia
Institusi pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi bersama perguruan tinggi harus dapat membentuk lingkungan riset yang mendukung gagasangagasan tersebut agar kemudian muncul. Kalaupun yang sudah muncul, harus dapat difasilitasi agar tidak berhenti. Dalam skala makro, anggaran riset dari APBN untuk Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi sekitar Rp40 triliun, 0,04% dari PDB Indonesia.
Rasio normal untuk anggaran riset adalah sekitar 2% dari PDB, sekitar lebih dari Rp180 triliun (2013). Namun, rupanya ruang fiskal Indonesia belum dapat memenuhi tersebut. Hal demikian mungkin saja berimbas untuk persoalan yang berskala kecil, kultur riset di mahasiswa perguruan tinggi misalkan, jumlah lomba penelitian yang berbiaya relatif murah dan akses publikasi penelitian yang mudah relatif sangat terbatas.
Lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) misalkan hampir menjadi satusatunya event tahunan mahasiswa dalam menuliskan idenya. Sementara lomba penelitian lain yang diselenggarakan nonpemerintah berbiaya relatif mahal.
Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menuliskan idenya, namun juga mencari pendanaan untuk dapat mengikuti kegiatan lomba penelitian tersebut. Ini jelas mengurangi motivasi mahasiswa untuk meneliti. Sebagai perbandingan, perguruan tinggi di Inggris dan Amerika Serikat akan mengompensasikan seorang profesor jika berhasil menyelesaikan membaca sebuah buku.
Belum lagi jika dia berhasil membuat sebuah invention , Pemerintah AS menjamin hak paten atas pelindungan kekayaan intelektual. Masalah lain yang patut diperhatikan adalah keterbatasan akses informasi terkait kesempatan untuk penelitian atau melakukan publikasi penelitian. Lembaga-lembaga pengelola penelitian berpusat di kota kota-kota besar, termasuk lembaga penyalur dana penelitian, ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang terletak di daerah dan pelosok.
Publisitas menjadi kurang. Ini mendorong diperlukan peningkatan jumlah lembaga-lembaga tersebut di daerah. Riset mungkin tidak lantas mengubah dunia, namun output riset tersebut dapat menjadi acuan keputusan yang strategis.
Untuk itu, selain merangsang gagasangagasan ilmiah, membentuk lingkungan riset dan penelitian yang mendukung sepatutnya menjadi pekerjaan rumah dari seluruh pihak baik pemerintah, lembaga riset, dan perguruan tinggi negeri.
Muhammad Mulyawan Tuankotta
Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia
(ftr)