Jangan Tunda Lagi Eksekusi
A
A
A
JAKARTA - Eksekusi mati para narapidana kasus narkoba harus segera dilaksanakan. Sikap tegas Pemerintah Indonesia ini penting untuk menghindari manuver negara lain yang warganya terancam hukuman mati.
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pelaksanaan hukuman mati tertunda karena masalah teknis yang dihadapi Kejaksaan Agung. Sementara itu negara lain yang warganya akan dieksekusi terus gencar melakukan manuver mulai dari sekadar protes hingga memberikan ancaman seperti Australia dan Brasil.
”Semakin lama kejaksaan menunda (eksekusi), semakin banyak tekanan dari luar negeri yang akan dihadapi Indonesia,” papar Hikmahanto di Jakarta kemarin. Penundaan pelaksanaan eksekusi mati juga akan membebani pemerintah dan bangsa Indonesia. Dia menilai bila penundaan dilakukan tanpa ada kepastian waktu, tidak saja Kejaksaan Agung mendapat kecaman dari publik dan politisi, tetapi langkah ini juga akan membebani Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahannya.
”Terlebih Presiden Jokowi dalam setiap kesempatan tidak pernah terlihat akan mengubah kebijakannya untuk melaksanakan hukuman mati meski mendapat protes dan kecaman negara lain,” paparnya. Hikmahanto mengatakan bila pelaksanaan hukuman mati dipercepat, harapannya adalah tidak ada lagi manuver-manuver yang akan dilakukan negara asing. Apalagi Kejaksaan Agung pun saat ini mendapat suara dan dukungan yang kuat dari publik dan politisi untuk melaksanakan kewajibannya.
Selain itu Indonesia perlu menegaskan tidak seharusnya para gembong narkoba mendapat perlindungan dari negaranya, yaitu pada saat bersamaan mereka justru mengecam Indonesia atas pelaksanaan kedaulatan hukumnya agar terselamatkan dari bahaya narkoba. Insiden terakhir adalah Presiden Brasil yang menolak penerimaan surat kepercayaan (credential) dari Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto sesaat sebelum pelaksanaan upacara di Istana Brasilia.
”Padahal Dubes Toto secara resmi jauh-jauh hari telah mendapat undangan dan telah berada di Istana. Pemberitahuan dari pihak Kemlu (Kementerian Luar Negeri) Brasil dilakukan tanpa memberi alasan,” kata dia. Dia menilai tindakan Brasil berisiko memperburuk hubungan kedua negara yang telah lama terjalin dan saling menguntungkan. Dia pun menilai tindakan Kemlu Indonesia yang telah memanggil pulang dubes ke Indonesia dan melayangkan nota protes diplomatik sudah tepat.
”Indonesia tentu tidak bisa terima perlakuan dari Pemerintah Brasil. Meski tidak disampaikan alasan, dugaan kuat karena protes Pemerintah Brasil atas satu warganya yang telah dihukum mati dan satu lagi yang akan menjalani hukuman mati,” paparnya. Hikmahanto melanjutkan, sebagai tindakan balasan, Indonesia sebenarnya dapat melakukan tindakan persona non grata atau pengusiran terhadap satu atau beberapa diplomat Brasil yang sedang bertugas di Indonesia.
Namun langkah ini dinilai belum perlu dilakukan saat ini karena Pemerintah Indonesia harus berpikiran jernih. ”Pemerintah Indonesia masih berada dalam tahap memahami kemarahan berlanjut dari Pemerintah Brasil,” jelasnya. Tentu Brasil yang harus berpikir dua kali bila hendak meneruskan protes dan kemarahannya. Apakah sebanding merusak hubungan baik kedua negara dengan melindungi warganya yang melakukan kejahatan sangat serius di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya mengakui bahwa memang hubungan Indonesia dan Brasil tengah memanas. Dia memperkirakan hubungan ini akan semakin panas seiring dengan dilaksanakannya eksekusi mati terhadap warga negara Brasil. ”Ini memang fase yang harus kita lalui dalam rangka menegakkan wibawa kita sebagai negara berdaulat,” kata Tantowi kemarin.
Menurut dia, pemerintah harus membuktikan bahwa Indonesia konsisten dalam menegakkan hukum melalui eksekusi mati. Karena, jika pemerintah membatalkan eksekusi mati, hal itu justru akan menimbulkan masalah baru dengan negara-negara lain yang warganya sudah dieksekusi. ”Namun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga harus semakin aktif melakukan komunikasi diplomatik dalam rangka menyampaikan ini dengan sebaikbaiknya ke negara-negara sahabat,” dia memberi saran.
Dia yakin hubungan Indonesia dengan Brasil dan sejumlah negara lain akan membaik dan normal kembali dengan komunikasi antarnegara dan upayaupaya diplomatik lainnya. ”Saya yakin situasi akan kembali normal mengingat tingginya tingkat ketergantungan kedua negara satu sama lain,” tegasnya. Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais meminta Pemerintah Indonesia tidak pasif menghadapi perlakuan Pemerintah Brasil.
”Pemerintah Indonesia harus melakukan diplomasi kepada para negara pemrotes itu bahwa mereka juga harus menghormati kedaulatan hukum nasional Indonesia,” ujar Hanafi. Dia mengatakan Pemerintah Indonesia harus menegaskan bahwa yang dilakukan merupakan bagian dari diplomasi negara-negara korban kejahatan narkoba transnasional.
Selain itu harus membuka saluran diplomatik dengan pihak-pihak negara yang melakukan protes, baik itu pemerintahannya, tokoh negara di sana atau instansi perdagangan di negara itu. ”Semuanya diarahkan agar Brasil mau memahami Indonesia dan memperbaiki sikapnya,” ujardia.
Menurut dia, terlepas dari ketegangan diplomatik ini, Pemerintah Indonesia hendaknya tetap fokus dalam penegakan hukum yang sudah diputuskannya. Hanafi menilai Brasil sebagai salah satu negara yang juga sedang memerangi narkoba pasti paham betul dengan sikap Indonesia mengenai hal itu. Ketua DPD Irman Gusman menyatakan penyesalannya atas tindakan Brasil yang telah menodai hubungan bilateral dengan Indonesia.
Menurutnya, kekecewaan Brasil karena warganya dieksekusi mati tersebut dapat dimaklumi, tapi penindakan dan komitmen untuk pemberantasan narkoba mesti dilanjutkan. ’’Narkoba punya dampak besar (merusak) terhadap bangsa. Hal ini (eksekusi) memberi sinyal kepada negara luar bahwa kita serius (memberantas narkoba),” ucapnya. Kejahatan narkoba di Indonesia bukan hanya merusak badan dan membodohi generasi muda.
Selain menjadi negara tujuan, Indonesia juga menjadi negara transit untuk menyebarkan narkoba tersebut ke negara tetangga. Irman menyatakan kebijakan Kemlu sudah tepat. ”Kita tarik dulu pulang (Dubes Toto Riyanto), kita memahami kekecewaan mereka (Brasil). Nanti jika mereda juga akan kembali (normal),” paparnya.
Senada dengan Irman, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan saat ini merupakan tugas pemerintah menjelaskan bahwa Indonesia bukan satusatunya negara yang memberlakukan hukuman mati terhadap terpidana narkoba. ”Negara lain patut untuk menghormati hukum tersebut,” ucapnya.
Pemerintah juga tidak perlu gentar untuk menegakkan hukum atas narkoba. Pemerintah diminta tetap melaksanakan hukuman mati untuk bandar narkoba karena itu merupakan tugas untuk menjaga kedaulatan bangsa. Sementara itu, Brasil belum secara resmi memberikan komentarnya setelah penarikan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Toto Riyanto.
Kembalikan Bantuan Australia
Pernyataan Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott yang mengungkit bantuannya kepada Indonesia sewaktu bencana tsunami Aceh lantaran Pemerintah Indonesia enggan membebaskan warga negaranya dari eksekusi mati telah menyinggung masyarakat Indonesia, termasuk warga Aceh. Warga Aceh pun akan mengembalikan bantuan dari Australia.
”Ini menyangkut harga diri masyarakat Aceh dan Pemerintah Indonesia. Kami akan hantarkan langsung koin Garuda Indonesia untuk Australia ke Kedubes Australia. Kalau bisa, kami lebihkan jumlahnya dari bantuan yang diberikan,” tandas anggota Komisi III DPR asal Aceh itu.
Dita angga/ kiswondari/ Mula akmal/ant
Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pelaksanaan hukuman mati tertunda karena masalah teknis yang dihadapi Kejaksaan Agung. Sementara itu negara lain yang warganya akan dieksekusi terus gencar melakukan manuver mulai dari sekadar protes hingga memberikan ancaman seperti Australia dan Brasil.
”Semakin lama kejaksaan menunda (eksekusi), semakin banyak tekanan dari luar negeri yang akan dihadapi Indonesia,” papar Hikmahanto di Jakarta kemarin. Penundaan pelaksanaan eksekusi mati juga akan membebani pemerintah dan bangsa Indonesia. Dia menilai bila penundaan dilakukan tanpa ada kepastian waktu, tidak saja Kejaksaan Agung mendapat kecaman dari publik dan politisi, tetapi langkah ini juga akan membebani Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahannya.
”Terlebih Presiden Jokowi dalam setiap kesempatan tidak pernah terlihat akan mengubah kebijakannya untuk melaksanakan hukuman mati meski mendapat protes dan kecaman negara lain,” paparnya. Hikmahanto mengatakan bila pelaksanaan hukuman mati dipercepat, harapannya adalah tidak ada lagi manuver-manuver yang akan dilakukan negara asing. Apalagi Kejaksaan Agung pun saat ini mendapat suara dan dukungan yang kuat dari publik dan politisi untuk melaksanakan kewajibannya.
Selain itu Indonesia perlu menegaskan tidak seharusnya para gembong narkoba mendapat perlindungan dari negaranya, yaitu pada saat bersamaan mereka justru mengecam Indonesia atas pelaksanaan kedaulatan hukumnya agar terselamatkan dari bahaya narkoba. Insiden terakhir adalah Presiden Brasil yang menolak penerimaan surat kepercayaan (credential) dari Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto sesaat sebelum pelaksanaan upacara di Istana Brasilia.
”Padahal Dubes Toto secara resmi jauh-jauh hari telah mendapat undangan dan telah berada di Istana. Pemberitahuan dari pihak Kemlu (Kementerian Luar Negeri) Brasil dilakukan tanpa memberi alasan,” kata dia. Dia menilai tindakan Brasil berisiko memperburuk hubungan kedua negara yang telah lama terjalin dan saling menguntungkan. Dia pun menilai tindakan Kemlu Indonesia yang telah memanggil pulang dubes ke Indonesia dan melayangkan nota protes diplomatik sudah tepat.
”Indonesia tentu tidak bisa terima perlakuan dari Pemerintah Brasil. Meski tidak disampaikan alasan, dugaan kuat karena protes Pemerintah Brasil atas satu warganya yang telah dihukum mati dan satu lagi yang akan menjalani hukuman mati,” paparnya. Hikmahanto melanjutkan, sebagai tindakan balasan, Indonesia sebenarnya dapat melakukan tindakan persona non grata atau pengusiran terhadap satu atau beberapa diplomat Brasil yang sedang bertugas di Indonesia.
Namun langkah ini dinilai belum perlu dilakukan saat ini karena Pemerintah Indonesia harus berpikiran jernih. ”Pemerintah Indonesia masih berada dalam tahap memahami kemarahan berlanjut dari Pemerintah Brasil,” jelasnya. Tentu Brasil yang harus berpikir dua kali bila hendak meneruskan protes dan kemarahannya. Apakah sebanding merusak hubungan baik kedua negara dengan melindungi warganya yang melakukan kejahatan sangat serius di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya mengakui bahwa memang hubungan Indonesia dan Brasil tengah memanas. Dia memperkirakan hubungan ini akan semakin panas seiring dengan dilaksanakannya eksekusi mati terhadap warga negara Brasil. ”Ini memang fase yang harus kita lalui dalam rangka menegakkan wibawa kita sebagai negara berdaulat,” kata Tantowi kemarin.
Menurut dia, pemerintah harus membuktikan bahwa Indonesia konsisten dalam menegakkan hukum melalui eksekusi mati. Karena, jika pemerintah membatalkan eksekusi mati, hal itu justru akan menimbulkan masalah baru dengan negara-negara lain yang warganya sudah dieksekusi. ”Namun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) juga harus semakin aktif melakukan komunikasi diplomatik dalam rangka menyampaikan ini dengan sebaikbaiknya ke negara-negara sahabat,” dia memberi saran.
Dia yakin hubungan Indonesia dengan Brasil dan sejumlah negara lain akan membaik dan normal kembali dengan komunikasi antarnegara dan upayaupaya diplomatik lainnya. ”Saya yakin situasi akan kembali normal mengingat tingginya tingkat ketergantungan kedua negara satu sama lain,” tegasnya. Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais meminta Pemerintah Indonesia tidak pasif menghadapi perlakuan Pemerintah Brasil.
”Pemerintah Indonesia harus melakukan diplomasi kepada para negara pemrotes itu bahwa mereka juga harus menghormati kedaulatan hukum nasional Indonesia,” ujar Hanafi. Dia mengatakan Pemerintah Indonesia harus menegaskan bahwa yang dilakukan merupakan bagian dari diplomasi negara-negara korban kejahatan narkoba transnasional.
Selain itu harus membuka saluran diplomatik dengan pihak-pihak negara yang melakukan protes, baik itu pemerintahannya, tokoh negara di sana atau instansi perdagangan di negara itu. ”Semuanya diarahkan agar Brasil mau memahami Indonesia dan memperbaiki sikapnya,” ujardia.
Menurut dia, terlepas dari ketegangan diplomatik ini, Pemerintah Indonesia hendaknya tetap fokus dalam penegakan hukum yang sudah diputuskannya. Hanafi menilai Brasil sebagai salah satu negara yang juga sedang memerangi narkoba pasti paham betul dengan sikap Indonesia mengenai hal itu. Ketua DPD Irman Gusman menyatakan penyesalannya atas tindakan Brasil yang telah menodai hubungan bilateral dengan Indonesia.
Menurutnya, kekecewaan Brasil karena warganya dieksekusi mati tersebut dapat dimaklumi, tapi penindakan dan komitmen untuk pemberantasan narkoba mesti dilanjutkan. ’’Narkoba punya dampak besar (merusak) terhadap bangsa. Hal ini (eksekusi) memberi sinyal kepada negara luar bahwa kita serius (memberantas narkoba),” ucapnya. Kejahatan narkoba di Indonesia bukan hanya merusak badan dan membodohi generasi muda.
Selain menjadi negara tujuan, Indonesia juga menjadi negara transit untuk menyebarkan narkoba tersebut ke negara tetangga. Irman menyatakan kebijakan Kemlu sudah tepat. ”Kita tarik dulu pulang (Dubes Toto Riyanto), kita memahami kekecewaan mereka (Brasil). Nanti jika mereda juga akan kembali (normal),” paparnya.
Senada dengan Irman, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan saat ini merupakan tugas pemerintah menjelaskan bahwa Indonesia bukan satusatunya negara yang memberlakukan hukuman mati terhadap terpidana narkoba. ”Negara lain patut untuk menghormati hukum tersebut,” ucapnya.
Pemerintah juga tidak perlu gentar untuk menegakkan hukum atas narkoba. Pemerintah diminta tetap melaksanakan hukuman mati untuk bandar narkoba karena itu merupakan tugas untuk menjaga kedaulatan bangsa. Sementara itu, Brasil belum secara resmi memberikan komentarnya setelah penarikan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Toto Riyanto.
Kembalikan Bantuan Australia
Pernyataan Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott yang mengungkit bantuannya kepada Indonesia sewaktu bencana tsunami Aceh lantaran Pemerintah Indonesia enggan membebaskan warga negaranya dari eksekusi mati telah menyinggung masyarakat Indonesia, termasuk warga Aceh. Warga Aceh pun akan mengembalikan bantuan dari Australia.
”Ini menyangkut harga diri masyarakat Aceh dan Pemerintah Indonesia. Kami akan hantarkan langsung koin Garuda Indonesia untuk Australia ke Kedubes Australia. Kalau bisa, kami lebihkan jumlahnya dari bantuan yang diberikan,” tandas anggota Komisi III DPR asal Aceh itu.
Dita angga/ kiswondari/ Mula akmal/ant
(ars)