Istana Rajawali atau Istana Kampret?
A
A
A
Bambang Soesatyo
Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak seperti biasa, guru bangsa Buya Syafii Ma’arif melontarkan pernyataan pedas terhadap Presiden Jokowi atas pencalonan kapolri yang terkesan gamang.
Buya gusar karena Jokowi terkesan maju mundur dan gamang. Buya mendesak agar Jokowi segera mengambil keputusan. “Kalau mau jadi burung rajawali, jadilah burung rajawali yang kuat dan tegas. Kalau tidak, ya jadilah burung kalelawar (kampret),” kata Buya.
Nah, ketika akhirnya Jokowi mengambil keputusan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri dan mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR, apakah dia telah menjadi seekor rajawali atau tetap menjadi seekor burung kampret, wallahu awallahu alam. Yang pasti, Presiden Joko Widodo masih jauh dari zona nyaman. Bahkan, Presiden kemungkinan akan menghadapi tsunami politik.
Kebijakan menyudahi kisruh KPK-Polri ternyata justru melahirkan masalah baru. Kini Presiden bahkan harus menghadapi kemarahan partai politik pendukungnya dan juga kemarahan sebagian anggota DPR. Wacana tentang penggunaan Hak Angket DPR segera mengemuka sebagai respons atas keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai kepala Polri (kapolri) serta mengajukan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon kapolri.
Tekanan terbaru ini mungkin dirasakan sangat keras oleh Presiden karena wacana hak angket kali ini justru diprakarsai oleh kekuatan politik yang mendukungnya, utamanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Adalah Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP yang pertama kali dan secara terbuka mewacanakan penggunaan hak angket itu. Dia terang-terangan menyatakan kecewa karena Presiden membatalkan pelantikan Budi.
Menurut dia, Presiden tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan sidang paripurna DPR. Wacana yang diembuskan Junimart tampaknya bukan sesuatu yang tiba-tiba atau atas nama pribadi. Kuat dugaan, wacana ini merupakan produk dari pertemuan beberapa kader PDIP dengan Ketua Umum PDIP Mewawati Soekarnoputri, Rabu (18/2). Mereka yang bertemu Megawati hari itu antara lain Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan anggota DPR dari Fraksi PDIP Herman Hery.
Segera setelah pertemuan di rumah Megawati itu dilaksanakan, beredar sebuah draf hak angket dan atau hak interpelasi. Karena DPR sudah memasuki masa reses, draf hak angket dan hak interpelasi DPR itu diedarkan ke rumah masing-masing anggota DPR. Draf itu merefleksikan kemarahan sebagian anggota DPR. Mereka menilai Presiden tidak menghormati institusi DPR dengan cara mencampakkan kesepakatan pemerintah dan DPR perihal calon kapolri.
Padahal, mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan Presiden untuk memberhentikan Jenderal Sutarman sebagai kapolridanmengangkatKomjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri yang baru. Proses pencalonan yang akan dijalani Badrodin Haiti pun belum tentu mulus. Dinamika politik selama masa reses DPR menjadi faktor yang sangat menentukan. Apalagi alasan pencalonan Badroedin pun dinilai tidak jelas.
Surat Presiden Jokowi ke DPR terdiri atas dua lembar, disertai lampiran biodata Komjen Badrodin Haiti. Lembar lainnya mencantumkan alasan Presiden.
Di antaranya, “Berhubung Komisaris Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan, S.H, M.Si., ketika itu sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka pada Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015, tanggal 12 Januari 2015, dipandang perlu untuk menunda pengangkatan yang bersangkutan sebagai Kapolri sebagaimana dipertimbangkan Presiden dalam Keputusan Presiden Nomor 04/POLRI/TAHUN 2015 tentang penugasan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Untuk Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia .”
Lalu, kalimat dalam paragraf berikutnya: “Mengingat bahwa pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan S.H, M.S- sebagai Kapolri telah menimbulkan perdebatan di masyarakat dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di masyarakat serta memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh seorang Kapolri yang definitif, kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi Drs Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Kapolri.
“ Jokowi mengirimkan surat itu pada hari terakhir masa persidangan DPR, Rabu, 18 Februari 2015. Surat Presiden itu akan dibacakan di sidang paripurna DPR pada 23 Maret 2015. DPR memiliki waktu 20 hari untuk membahasnya.
Tsunami Politik
Kendati DPR menjalani masa reses, wacana tentang penggunaan hak angket atau hak interpelasi DPR akan membuat suasana tetap bising. Berarti badai kegaduhan di ruang publik belum berlalu. Bahkan, kegaduhan itu akan bisa tereskalasi nantinya jika semua fraksi di DPR solid untuk menggunakan salah satu dari dua hak itu.
Dan manakala penggunaan hak itu terlaksana, itulah saatnya pemerintahan Presiden Jokowi Widodo diterjang tsunami politik. Patut diibaratkan sebagai tsunami politik karena ketika hal itu benar-benar terjadi, Presiden kemungkinan dibiarkan sendirian menghadapi DPR. Tidak ada kekuatan politik di DPR yang akan pasang badan membela Presiden. Sebab wacana penggunaan hak-hak itu sepertinya sudah mendapatkan dukungan awal dari beberapa komponen KIH.
Tsunami politik bisa menerjang Presiden karena beberapa kebijakan atau keputusan Presiden terbaru tidak dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang. Presiden bahkan cenderung meremehkan DPR. Selain kasus pembatalan pelantikan Budi Gunawan, Presiden juga diduga kuat melanggar UU ketika memperpanjang kontrak Freeport dan ketika menggagas Kartu Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar.
Untuk anggaran program Kartu Indonesia Sehat dan kartu pintar ini, pemerintah belum pernah membahasnya bersama DPR. Adapun dalam kasus batalnya pelantikan Budi Gunawan, wajar jika sebagian anggota DPR dan PDIP marah karena merasa telahdibohongi Presiden Jokowi. Sebelumnya, selama lebih dari satu bulan masyarakat dipaksa menerima kegaduhan sambil menunggu Presiden menunjukkan sikap tegas dan mandiri dalam menggunakan hak prerogatif.
Alih-alih konsisten dengan pilihannya terhadap Budi Gunawann sebagai calon tunggal kapolri, Presiden Joko Widodo justru memaksa dirinya sendiri berbohong kepada rakyat demi menyudahi kisruh Polri versus KPK. Jokowi jelas telah membohongi publik, termasuk DPR dan PDIP.
Sebab, pada jumpa pers Jumat (16/1) malam di Istana Merdeka, Jokowi dengan nada sangat tegas menjelaskan bahwa Budi Gunawan masih berstatus calon tunggal kapolri meski sudah berstatus tersangka. Bahkan, Jokowi juga menegaskan tidak membatalkan pelantikan BG sambil memberi penekanan khusus pada kata penundaan. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Ini yang perlu digarisbawahi,” kata Jokowi saat itu.
Kini, faktanya sudah sangat jelas. Apalagi Jokowi pun telah siap mengajukan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon tunggal kapolri. Sebelumnya, Jokowi setidaknya sudah tiga kali inkonsisten atau ingkar janji. Pertama, janji membangun koalisi ramping. Janji ini tak terpenuhi karena sejak sebelum dilantik menjadi Presiden, Jokowi masih berharap tambahan anggota koalisi agar bisa menggenggam kekuatan dominan di DPR. Janji kedua adalah koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat.
Di kemudian hari, janji ini jadi bahan olok-olok lawan politiknya karena Jokowi mengalokasikan 16 jabatan menteri untuk kader partai pendukungnya. Janji ketiga adalah membentuk kabinet ramping. Janji yang satu ini pun gagal dipenuhi Jokowi karena nomenklatur Kabinet Kerja justru mengikuti postur Kabinet Indonesia Bersatu-II yang gendut.
Akhirnya bila kelak situasi mereda, Jokowi harus dapat mengambil pelajaran penting dari apa yang terjadi dari kasus pencalonan kapolri yang telah merusak hubungan antarlembaga tinggi negara, khususnya dengan DPR dan kisruh KPK-Polri ini. Mengelola negara bukanlah sesederhana mengelola sebuah kota yang hanya terdiri atas beberapa kecamatan. Selain dibutuhkan sikap kenegarawanan, seorang presiden jugaharusterbebasdari berbagai tekanan.
Baik dari parpol pendukung maupun dari kepentingan kelompok LSM dan relawan. Presiden Jokowi masih memiliki banyak waktu untuk memperbaiki keadaan. Khususnya dalam hal pengelolaan negara. Kita berharap, ke depan Jokowi dapat menjaga agar Istana Presiden tetap menjadi istana rajawali yang berwibawa dan menghadirkan solusi. Bukan sebaliknya, menjadi istana kampret yang menjadi sumber masalah bagi bangsa.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak seperti biasa, guru bangsa Buya Syafii Ma’arif melontarkan pernyataan pedas terhadap Presiden Jokowi atas pencalonan kapolri yang terkesan gamang.
Buya gusar karena Jokowi terkesan maju mundur dan gamang. Buya mendesak agar Jokowi segera mengambil keputusan. “Kalau mau jadi burung rajawali, jadilah burung rajawali yang kuat dan tegas. Kalau tidak, ya jadilah burung kalelawar (kampret),” kata Buya.
Nah, ketika akhirnya Jokowi mengambil keputusan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri dan mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR, apakah dia telah menjadi seekor rajawali atau tetap menjadi seekor burung kampret, wallahu awallahu alam. Yang pasti, Presiden Joko Widodo masih jauh dari zona nyaman. Bahkan, Presiden kemungkinan akan menghadapi tsunami politik.
Kebijakan menyudahi kisruh KPK-Polri ternyata justru melahirkan masalah baru. Kini Presiden bahkan harus menghadapi kemarahan partai politik pendukungnya dan juga kemarahan sebagian anggota DPR. Wacana tentang penggunaan Hak Angket DPR segera mengemuka sebagai respons atas keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai kepala Polri (kapolri) serta mengajukan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon kapolri.
Tekanan terbaru ini mungkin dirasakan sangat keras oleh Presiden karena wacana hak angket kali ini justru diprakarsai oleh kekuatan politik yang mendukungnya, utamanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Adalah Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP yang pertama kali dan secara terbuka mewacanakan penggunaan hak angket itu. Dia terang-terangan menyatakan kecewa karena Presiden membatalkan pelantikan Budi.
Menurut dia, Presiden tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan sidang paripurna DPR. Wacana yang diembuskan Junimart tampaknya bukan sesuatu yang tiba-tiba atau atas nama pribadi. Kuat dugaan, wacana ini merupakan produk dari pertemuan beberapa kader PDIP dengan Ketua Umum PDIP Mewawati Soekarnoputri, Rabu (18/2). Mereka yang bertemu Megawati hari itu antara lain Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan anggota DPR dari Fraksi PDIP Herman Hery.
Segera setelah pertemuan di rumah Megawati itu dilaksanakan, beredar sebuah draf hak angket dan atau hak interpelasi. Karena DPR sudah memasuki masa reses, draf hak angket dan hak interpelasi DPR itu diedarkan ke rumah masing-masing anggota DPR. Draf itu merefleksikan kemarahan sebagian anggota DPR. Mereka menilai Presiden tidak menghormati institusi DPR dengan cara mencampakkan kesepakatan pemerintah dan DPR perihal calon kapolri.
Padahal, mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan Presiden untuk memberhentikan Jenderal Sutarman sebagai kapolridanmengangkatKomjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri yang baru. Proses pencalonan yang akan dijalani Badrodin Haiti pun belum tentu mulus. Dinamika politik selama masa reses DPR menjadi faktor yang sangat menentukan. Apalagi alasan pencalonan Badroedin pun dinilai tidak jelas.
Surat Presiden Jokowi ke DPR terdiri atas dua lembar, disertai lampiran biodata Komjen Badrodin Haiti. Lembar lainnya mencantumkan alasan Presiden.
Di antaranya, “Berhubung Komisaris Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan, S.H, M.Si., ketika itu sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka pada Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015, tanggal 12 Januari 2015, dipandang perlu untuk menunda pengangkatan yang bersangkutan sebagai Kapolri sebagaimana dipertimbangkan Presiden dalam Keputusan Presiden Nomor 04/POLRI/TAHUN 2015 tentang penugasan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Untuk Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia .”
Lalu, kalimat dalam paragraf berikutnya: “Mengingat bahwa pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan S.H, M.S- sebagai Kapolri telah menimbulkan perdebatan di masyarakat dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di masyarakat serta memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh seorang Kapolri yang definitif, kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi Drs Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Kapolri.
“ Jokowi mengirimkan surat itu pada hari terakhir masa persidangan DPR, Rabu, 18 Februari 2015. Surat Presiden itu akan dibacakan di sidang paripurna DPR pada 23 Maret 2015. DPR memiliki waktu 20 hari untuk membahasnya.
Tsunami Politik
Kendati DPR menjalani masa reses, wacana tentang penggunaan hak angket atau hak interpelasi DPR akan membuat suasana tetap bising. Berarti badai kegaduhan di ruang publik belum berlalu. Bahkan, kegaduhan itu akan bisa tereskalasi nantinya jika semua fraksi di DPR solid untuk menggunakan salah satu dari dua hak itu.
Dan manakala penggunaan hak itu terlaksana, itulah saatnya pemerintahan Presiden Jokowi Widodo diterjang tsunami politik. Patut diibaratkan sebagai tsunami politik karena ketika hal itu benar-benar terjadi, Presiden kemungkinan dibiarkan sendirian menghadapi DPR. Tidak ada kekuatan politik di DPR yang akan pasang badan membela Presiden. Sebab wacana penggunaan hak-hak itu sepertinya sudah mendapatkan dukungan awal dari beberapa komponen KIH.
Tsunami politik bisa menerjang Presiden karena beberapa kebijakan atau keputusan Presiden terbaru tidak dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang. Presiden bahkan cenderung meremehkan DPR. Selain kasus pembatalan pelantikan Budi Gunawan, Presiden juga diduga kuat melanggar UU ketika memperpanjang kontrak Freeport dan ketika menggagas Kartu Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar.
Untuk anggaran program Kartu Indonesia Sehat dan kartu pintar ini, pemerintah belum pernah membahasnya bersama DPR. Adapun dalam kasus batalnya pelantikan Budi Gunawan, wajar jika sebagian anggota DPR dan PDIP marah karena merasa telahdibohongi Presiden Jokowi. Sebelumnya, selama lebih dari satu bulan masyarakat dipaksa menerima kegaduhan sambil menunggu Presiden menunjukkan sikap tegas dan mandiri dalam menggunakan hak prerogatif.
Alih-alih konsisten dengan pilihannya terhadap Budi Gunawann sebagai calon tunggal kapolri, Presiden Joko Widodo justru memaksa dirinya sendiri berbohong kepada rakyat demi menyudahi kisruh Polri versus KPK. Jokowi jelas telah membohongi publik, termasuk DPR dan PDIP.
Sebab, pada jumpa pers Jumat (16/1) malam di Istana Merdeka, Jokowi dengan nada sangat tegas menjelaskan bahwa Budi Gunawan masih berstatus calon tunggal kapolri meski sudah berstatus tersangka. Bahkan, Jokowi juga menegaskan tidak membatalkan pelantikan BG sambil memberi penekanan khusus pada kata penundaan. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Ini yang perlu digarisbawahi,” kata Jokowi saat itu.
Kini, faktanya sudah sangat jelas. Apalagi Jokowi pun telah siap mengajukan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon tunggal kapolri. Sebelumnya, Jokowi setidaknya sudah tiga kali inkonsisten atau ingkar janji. Pertama, janji membangun koalisi ramping. Janji ini tak terpenuhi karena sejak sebelum dilantik menjadi Presiden, Jokowi masih berharap tambahan anggota koalisi agar bisa menggenggam kekuatan dominan di DPR. Janji kedua adalah koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat.
Di kemudian hari, janji ini jadi bahan olok-olok lawan politiknya karena Jokowi mengalokasikan 16 jabatan menteri untuk kader partai pendukungnya. Janji ketiga adalah membentuk kabinet ramping. Janji yang satu ini pun gagal dipenuhi Jokowi karena nomenklatur Kabinet Kerja justru mengikuti postur Kabinet Indonesia Bersatu-II yang gendut.
Akhirnya bila kelak situasi mereda, Jokowi harus dapat mengambil pelajaran penting dari apa yang terjadi dari kasus pencalonan kapolri yang telah merusak hubungan antarlembaga tinggi negara, khususnya dengan DPR dan kisruh KPK-Polri ini. Mengelola negara bukanlah sesederhana mengelola sebuah kota yang hanya terdiri atas beberapa kecamatan. Selain dibutuhkan sikap kenegarawanan, seorang presiden jugaharusterbebasdari berbagai tekanan.
Baik dari parpol pendukung maupun dari kepentingan kelompok LSM dan relawan. Presiden Jokowi masih memiliki banyak waktu untuk memperbaiki keadaan. Khususnya dalam hal pengelolaan negara. Kita berharap, ke depan Jokowi dapat menjaga agar Istana Presiden tetap menjadi istana rajawali yang berwibawa dan menghadirkan solusi. Bukan sebaliknya, menjadi istana kampret yang menjadi sumber masalah bagi bangsa.
(ars)