Alasan Lion Air
A
A
A
Penelantaran konsumen adalah hal memalukan bagi perusahaan mana pun yang bergerak di bidang jasa. Konsumen selalu jadi raja dan akan diperlakukan sebagai raja. Alasannya jelas, pengalaman positif dari konsumen akan menarik konsumenkonsumen lain untuk turut mencicipi jasa yang ditawarkan.
Repeat costumer tumbuh, pelanggan baru pun datang. Bahkan bisnis warung nasi padang yang sederhana pun terkenal dengan motonya ”Anda tidak puas beri tahu kami, Anda puas tolong beri tahu kawan”. Tapi konsep ini sepertinya bukan konsep yang dipakai Lion Air. Maskapai ini bahkan terkesan tidak peduli pada citra. Lion Air oleh banyak penumpang pesawat terbang sering kali diidentikkan dengan delay.
Sudah lazim pula saat delay penumpang tidak mendapatkan haknya atas penjelasan yang memadai. Bahkan Lion Air pernah kalah dalam sebuah tuntutan hukum dari pelanggannya atas masalah tersebut. Alhasil masalah delay ini mencapai klimaksnya pada hari Rabu, Kamis, dan Jumat pekan ini.
Ribuan penumpang telantar di berbagai bandara negeri ini. Kejelasan alasan delay bagai suatu hal yang mewah bagi maskapai ini. Rencana liburan atau berbagai urusan lain dari ribuan penumpang rusak karena ketidakprofesionalan Lion Air. Kekacauan pelayanan jasa yang dipertontonkan maskapai terbesar di Tanah Air, yaitu Lion Air, adalah contoh buruk dalam bisnis penerbangan Indonesia.
Sayangnya contoh buruk ini terus saja terjadi dan terus merugikan konsumen. Sekalipun ada Peraturan Menteri Perhubungan( Permenhub) Nomor 77/2011 yang mengatur kompensasi dalam wanprestasi pelayanan pengguna jasa penerbangan, tetap saja konsumen ada di pihak yang sangat lemah. Bisa jadi penguasaan pasar penerbangan domestik oleh Lion Air yang di atas 60% membuat maskapai ini terlena dalam meningkatkan pelayanannya.
Masalah menahun yang akhirnya mencapai klimaks ini tentu membuat banyak pengguna jasa penerbangan meradang dan menuntut pemerintah bertindak keras. Namun seperti masih jauh panggang dari api. Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan rupanya sangat lembek dalam menghadapi masalah menahun Lion Air.
Menhub memang sepertinya memberikan hukuman berat kepada Lion Air dengan mengatakan akan membekukan izin rute baru Lion Air. Namun bisa dikatakan hukuman itu nyaris tidak menyentuh masalah yang dihadapi Lion Air yang akhirnya menyusahkan masyarakat sebagai konsumen.
Reaksi Menhub Jonan jika dibandingkan dengan kasus AirAsia bagaikan langit dan bumi. Menhub saat itu marah besar ketika mengetahui pesawat AirAsia nahas tersebut terbang bukan pada jadwalnya dan bisa dikatakan ilegal. Namun kenapa saat Lion Air yang terbang pada jadwal resminya, tetapi melakukan wanprestasi dalam skala masif Menhub Jonan tidak mengamuk?
Pun ketika ada beberapa flight yang tetap terbang setelah delay panjang Jonan tak meradang? Bayangkan fatigue yang dihadapi pilot dan pramugari yang bisa membayakan keselamatan penumpang. Bahkan di hari Kamis ada berita penumpang dari beberapa penerbangan digabung menjadi satu dengan sistem seperti angkot tanpa nomor tempat duduk.
Harusnya Menhub itu mengaudit, kalau perlu membekukan beberapa izin penerbangan yang dimiliki Lion Air agar tak ada lagi alasan saat pesawat mereka bermasalah, Lion Air tak punya pesawat cadangan. Lion Air bukanlah maskapai kecil yang hanya punya dua atau tiga pesawat, maskapai ini yang memecahkan dua rekor dunia dalam pemesanan pesawat ke dua pabrik pesawat terbesar dunia, yaitu Boeing dan Airbus.
Alasan awal dari Lion Air yang mengatakan tiga pesawatnya rusak dan kekurangan pesawat cadangan itu jadi terkesan seperti lelucon untuk maskapai dengan fleet raksasa ini. Di luar negeri, low cost airline/low cost carrier–Lion Air termasuk kategori ini–selalu melekat dengan terminologi efisiensi.
Maskapai-maskapai ini bisa menghasilkan uang dari margintipis yang didapatkan dari efisiensi di berbagai sektor tanpa berkompromi dengan tingkat keselamatan. Salah satu titik vital dari efisiensi low cost carrier adalah ketepatan waktu, tetapi rupanya hal itu yang tak dimiliki Lion Air. Semoga pemerintah bisa memberikan hukuman yang berat pada Lion Air demi kepentingan pengguna jasa penerbangan di Indonesia. Hukumannya haruslah yang bersifat menjerakan, tetapi bukan untuk mematikan.
Repeat costumer tumbuh, pelanggan baru pun datang. Bahkan bisnis warung nasi padang yang sederhana pun terkenal dengan motonya ”Anda tidak puas beri tahu kami, Anda puas tolong beri tahu kawan”. Tapi konsep ini sepertinya bukan konsep yang dipakai Lion Air. Maskapai ini bahkan terkesan tidak peduli pada citra. Lion Air oleh banyak penumpang pesawat terbang sering kali diidentikkan dengan delay.
Sudah lazim pula saat delay penumpang tidak mendapatkan haknya atas penjelasan yang memadai. Bahkan Lion Air pernah kalah dalam sebuah tuntutan hukum dari pelanggannya atas masalah tersebut. Alhasil masalah delay ini mencapai klimaksnya pada hari Rabu, Kamis, dan Jumat pekan ini.
Ribuan penumpang telantar di berbagai bandara negeri ini. Kejelasan alasan delay bagai suatu hal yang mewah bagi maskapai ini. Rencana liburan atau berbagai urusan lain dari ribuan penumpang rusak karena ketidakprofesionalan Lion Air. Kekacauan pelayanan jasa yang dipertontonkan maskapai terbesar di Tanah Air, yaitu Lion Air, adalah contoh buruk dalam bisnis penerbangan Indonesia.
Sayangnya contoh buruk ini terus saja terjadi dan terus merugikan konsumen. Sekalipun ada Peraturan Menteri Perhubungan( Permenhub) Nomor 77/2011 yang mengatur kompensasi dalam wanprestasi pelayanan pengguna jasa penerbangan, tetap saja konsumen ada di pihak yang sangat lemah. Bisa jadi penguasaan pasar penerbangan domestik oleh Lion Air yang di atas 60% membuat maskapai ini terlena dalam meningkatkan pelayanannya.
Masalah menahun yang akhirnya mencapai klimaks ini tentu membuat banyak pengguna jasa penerbangan meradang dan menuntut pemerintah bertindak keras. Namun seperti masih jauh panggang dari api. Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan rupanya sangat lembek dalam menghadapi masalah menahun Lion Air.
Menhub memang sepertinya memberikan hukuman berat kepada Lion Air dengan mengatakan akan membekukan izin rute baru Lion Air. Namun bisa dikatakan hukuman itu nyaris tidak menyentuh masalah yang dihadapi Lion Air yang akhirnya menyusahkan masyarakat sebagai konsumen.
Reaksi Menhub Jonan jika dibandingkan dengan kasus AirAsia bagaikan langit dan bumi. Menhub saat itu marah besar ketika mengetahui pesawat AirAsia nahas tersebut terbang bukan pada jadwalnya dan bisa dikatakan ilegal. Namun kenapa saat Lion Air yang terbang pada jadwal resminya, tetapi melakukan wanprestasi dalam skala masif Menhub Jonan tidak mengamuk?
Pun ketika ada beberapa flight yang tetap terbang setelah delay panjang Jonan tak meradang? Bayangkan fatigue yang dihadapi pilot dan pramugari yang bisa membayakan keselamatan penumpang. Bahkan di hari Kamis ada berita penumpang dari beberapa penerbangan digabung menjadi satu dengan sistem seperti angkot tanpa nomor tempat duduk.
Harusnya Menhub itu mengaudit, kalau perlu membekukan beberapa izin penerbangan yang dimiliki Lion Air agar tak ada lagi alasan saat pesawat mereka bermasalah, Lion Air tak punya pesawat cadangan. Lion Air bukanlah maskapai kecil yang hanya punya dua atau tiga pesawat, maskapai ini yang memecahkan dua rekor dunia dalam pemesanan pesawat ke dua pabrik pesawat terbesar dunia, yaitu Boeing dan Airbus.
Alasan awal dari Lion Air yang mengatakan tiga pesawatnya rusak dan kekurangan pesawat cadangan itu jadi terkesan seperti lelucon untuk maskapai dengan fleet raksasa ini. Di luar negeri, low cost airline/low cost carrier–Lion Air termasuk kategori ini–selalu melekat dengan terminologi efisiensi.
Maskapai-maskapai ini bisa menghasilkan uang dari margintipis yang didapatkan dari efisiensi di berbagai sektor tanpa berkompromi dengan tingkat keselamatan. Salah satu titik vital dari efisiensi low cost carrier adalah ketepatan waktu, tetapi rupanya hal itu yang tak dimiliki Lion Air. Semoga pemerintah bisa memberikan hukuman yang berat pada Lion Air demi kepentingan pengguna jasa penerbangan di Indonesia. Hukumannya haruslah yang bersifat menjerakan, tetapi bukan untuk mematikan.
(bbg)