Suku Bunga Acuan?
A
A
A
Bisakah perbankan segera menurunkan suku bunga simpanan, lalu menyusul suku bunga kredit, sebagai respons atas kebijakan Bank Indonesia (BI) yang telah memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin dari 7,75% menjadi 7,5%.
Seharusnya bisa karena BI Rate menjadi acuan perbankan dalam menetapkan suku bunga. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu sesuai dengan harapan, sebab keputusan suku bunga kredit turun atau naik sangat tergantung pada setiap bank. Penurunan BI Rate oleh pemerintah dinilai sebuah langkah positif yang searah dengan kebijakan bank sentral pada sejumlah negara.
Pemerintah meyakini bahwa penurunan suku bunga acuan akan berdampak pada pengembangan sektor riil, yang menjadi salah satu ujung tombak pertumbuhan perekonomian nasional. Gubernur BI Agus Martowardojo beralasan bahwa penurunan BI Rate tidak terlepas dari kondisi makroekonomi yang makin membaik.
Dari sisi pengendalian inflasi, bank sentral optimistis akan terjaga dalam level rendah dan stabil yang mengarah pada tingkat di bawah 4%. Karena itu, mantan direktur utama Bank Mandiri yang sudah menakhodai BI di bawah dua kepemimpinan presiden itu menepis tuduhan bahwa penurunan BI Rate karena adanya tekanan dari pemerintah.
Selain faktor inflasi yang cenderung jinak belakangan ini, bank sentral juga mempertimbangkan harga minyak mentah dunia yang masih berada di level rendah. “Tidak ada tekanan dari pemerintah. BI melakukan dalam kajian berdasarkan fakta dan data,” tegas Agus seusai mengumumkan penurunan BI Rate awal pekan ini.
Penurunan BI Rate kali ini telah mengantarkan indeks harga saham gabungan (IHSG) meraih rekor baru dengan bertengger di level 5.390 pada penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin. Sebaliknya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) merespons negatif.
Pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di level Rp12.892 per dolar AS atau melemah sebesar Rp162 dari posisi Rp12.730 per dolar AS pada penutupan perdagangan sebelumnya. Pada pembukaan perdagangan sesi pertama, indeks langsung melaju sekitar 35,253 poin (0,66%) ke level 5.372. Para investor saham meyakini laju IHSG ditopang oleh optimisme penurunan BI Rate sehari sebelumnya, dan didukung kondisi bursa regional yang juga menghijau.
Berita positif yang terus mengantarkan IHSG mencetak rekor baru belakangan ini memang tidak sebatas penurunan suku bunga acuan BI saja. Sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus sebesar USD710 juta Januari tahun ini. Tercatat nilai ekspor mencapai sebesar USD13,3 miliar sedangkan nilai impor terbukukan sekitar USD12,59 miliar.
Namun bila dibanding pencapaian nilai ekspor Januari 2015 dengan periode yang sama pada tahun lalu, terjadi penurunan sekitar 8,09%. Nilai impor pada Januari 2015 juga mengalami penyusutan sekitar 15,59% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Selain itu, Januari lalu Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan bahwa telah terjadi inflasi negatif alias deflasi 0,24% dibandingkan bulan sebelumnya.
Deflasi yang terjadi awal tahun ini oleh BPS dinilai sebuah peristiwa langka. Pasalnya, sejak 1973 baru tiga kali terjadi deflasi pada Januari, yakni Januari 1973 minus 1,65%, Januari 2009 minus 0,07%, dan Januari 2015 minus 0,24%. Sebelumnya, pihak BI sudah memprediksi akan terjadi deflasi pada Januari 2015.
Perkiraan tersebut didasarkan pada penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak dua kali, yaitu 1 dan 19 Januari 2015. Kini yang dinanti kapan giliran aksi perbankan menurunkan suku bunga kredit menyusul penurunan suku bunga acuan BI? Dua pekan sebelum penurunan BI Rate, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah mengundang Gubernur BI Agus Martowardojo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad,
untuk mengetahui mengapa suku bunga perbankan di negeri ini masih terlalu tinggi dibandingkan sejumlah negara tetangga. Seharusnya penurunan suku bunga acuan dan kondisi makroekonomi yang makin stabil adalah sebuah momentum untuk meninjau suku bunga kredit perbankan yang dinilai belum bersahabat dengan sektor riil. Siapa pun paham suku bunga kredit yang tinggi menghambat penyaluran kredit pada sektor riil sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Seharusnya bisa karena BI Rate menjadi acuan perbankan dalam menetapkan suku bunga. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu sesuai dengan harapan, sebab keputusan suku bunga kredit turun atau naik sangat tergantung pada setiap bank. Penurunan BI Rate oleh pemerintah dinilai sebuah langkah positif yang searah dengan kebijakan bank sentral pada sejumlah negara.
Pemerintah meyakini bahwa penurunan suku bunga acuan akan berdampak pada pengembangan sektor riil, yang menjadi salah satu ujung tombak pertumbuhan perekonomian nasional. Gubernur BI Agus Martowardojo beralasan bahwa penurunan BI Rate tidak terlepas dari kondisi makroekonomi yang makin membaik.
Dari sisi pengendalian inflasi, bank sentral optimistis akan terjaga dalam level rendah dan stabil yang mengarah pada tingkat di bawah 4%. Karena itu, mantan direktur utama Bank Mandiri yang sudah menakhodai BI di bawah dua kepemimpinan presiden itu menepis tuduhan bahwa penurunan BI Rate karena adanya tekanan dari pemerintah.
Selain faktor inflasi yang cenderung jinak belakangan ini, bank sentral juga mempertimbangkan harga minyak mentah dunia yang masih berada di level rendah. “Tidak ada tekanan dari pemerintah. BI melakukan dalam kajian berdasarkan fakta dan data,” tegas Agus seusai mengumumkan penurunan BI Rate awal pekan ini.
Penurunan BI Rate kali ini telah mengantarkan indeks harga saham gabungan (IHSG) meraih rekor baru dengan bertengger di level 5.390 pada penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin. Sebaliknya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) merespons negatif.
Pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di level Rp12.892 per dolar AS atau melemah sebesar Rp162 dari posisi Rp12.730 per dolar AS pada penutupan perdagangan sebelumnya. Pada pembukaan perdagangan sesi pertama, indeks langsung melaju sekitar 35,253 poin (0,66%) ke level 5.372. Para investor saham meyakini laju IHSG ditopang oleh optimisme penurunan BI Rate sehari sebelumnya, dan didukung kondisi bursa regional yang juga menghijau.
Berita positif yang terus mengantarkan IHSG mencetak rekor baru belakangan ini memang tidak sebatas penurunan suku bunga acuan BI saja. Sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus sebesar USD710 juta Januari tahun ini. Tercatat nilai ekspor mencapai sebesar USD13,3 miliar sedangkan nilai impor terbukukan sekitar USD12,59 miliar.
Namun bila dibanding pencapaian nilai ekspor Januari 2015 dengan periode yang sama pada tahun lalu, terjadi penurunan sekitar 8,09%. Nilai impor pada Januari 2015 juga mengalami penyusutan sekitar 15,59% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Selain itu, Januari lalu Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan bahwa telah terjadi inflasi negatif alias deflasi 0,24% dibandingkan bulan sebelumnya.
Deflasi yang terjadi awal tahun ini oleh BPS dinilai sebuah peristiwa langka. Pasalnya, sejak 1973 baru tiga kali terjadi deflasi pada Januari, yakni Januari 1973 minus 1,65%, Januari 2009 minus 0,07%, dan Januari 2015 minus 0,24%. Sebelumnya, pihak BI sudah memprediksi akan terjadi deflasi pada Januari 2015.
Perkiraan tersebut didasarkan pada penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak dua kali, yaitu 1 dan 19 Januari 2015. Kini yang dinanti kapan giliran aksi perbankan menurunkan suku bunga kredit menyusul penurunan suku bunga acuan BI? Dua pekan sebelum penurunan BI Rate, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah mengundang Gubernur BI Agus Martowardojo dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad,
untuk mengetahui mengapa suku bunga perbankan di negeri ini masih terlalu tinggi dibandingkan sejumlah negara tetangga. Seharusnya penurunan suku bunga acuan dan kondisi makroekonomi yang makin stabil adalah sebuah momentum untuk meninjau suku bunga kredit perbankan yang dinilai belum bersahabat dengan sektor riil. Siapa pun paham suku bunga kredit yang tinggi menghambat penyaluran kredit pada sektor riil sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
(bbg)