Abolisionist atau Retentionist?
A
A
A
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina @dinnawisnu
Tekanan terhadap Indonesia mengenai keputusan untuk melakukan hukuman mati ternyata tidak berhenti saat eksekusi gelombang pertama dilakukan kepada para terpidana mati narkoba beberapa minggu yang lalu.
Tekanan terhadap Indonesia ketika menghukum mati terpidana gelombang kedua menjadi semakin besar dan menarik perhatian dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, melalui juru bicaranya, meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati kepada para terpidana narkoba.
Tekanan tersebut juga semakin intensif dengan ancaman dari Australia untuk melarang warganya ke Bali. Mereka juga mengancam akan melakukan penarikan duta besar seperti yang dilakukan Brasil dan Belanda. Bila ancaman tersebut benar- benar terwujud, apakah jalan keluar yang diantisipasi oleh pemerintah?
Saat ini pemerintah menekankan bahwa keputusan menghukum itu adalah keputusan hukum positif di Indonesia, dan intervensi dari negara- negara tersebut sama artinya dengan mengganggu kedaulatan. Presiden Joko Widodo juga mengatakan tekanan tersebut adalah wajar karena setiap pemerintah perlu melakukan upaya maksimal menyelamatkan warganya.
Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo lebih tertarik melihat tekanan tersebut dari kacamata politik praktis dan bukannya mempertimbangkan nilai (value) dari opsi-opsi yang diusulkan atau membuka dialog seputar tuntutan yang masuk tersebut. Jawaban senada juga disampaikan instansi terkait seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, kepolisian, bahkan Kementerian Luar Negeri.
Pemerintah sepatutnya dapat memberi keterangan kepada masyarakat negara sahabat, khususnya negara-negara yang menentang hukuman mati, dengan lebih jelas. Setiap negara sahabat yang memiliki kebijakan penghapusan hukuman mati memiliki alasan-alasan tersendiri yang dapat menjadi titik tolak untuk diskusi.
Masyarakat Eropa, khususnya, telah memiliki pemahaman dan keterlibatan dalam diskusi mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati, karena hal itu sudah menjadi bagian dari pendidikan mereka. Penderitaan yang dialami selama Perang Dunia II dan trauma kekejaman Nazi di bawah Hitler telah menjadi dasar yang kuat bagi mereka untuk menempatkan hak hidup dan demokrasi sebagai tujuan bernegara.
Diskusi tentang hukuman mati berada dalam konteks semangat tersebut. Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat selalu terbagi antara kelompok yang memberikan dukungan dan yang menolak, bahkan di antara negara yang menentang hukuman mati sekalipun. Masih ada warga negara di negara-negara tersebut yang mendukung hukuman mati.
Sama seperti warga negara di negara yang menerapkan hukuman mati, masih ada masyarakat yang memperjuangkan untuk menentangnya. Perdebatan ini telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Apa yang membedakan adalah pembaruan argumentasi dan buktibukti yang diajukan dari masing-masing pihak untuk menegaskan posisi mereka terhadap hukuman mati.
Pertanyaannya kemudian apakah Indonesia saat ini sedang menuju arah penghapusan hukuman mati (abolisionist) atau mendukung hukuman mati (retentionist). Posisi ini sangat mendasar dan sayangnya sejak transisi demokrasi dimulai sejak 1998 kita tidak pernah tegas memilih sikap yang mana, belakangan justru ruang dialognya tertutup.
Apabila sebutan negara yang menjatuhkan sanksi atas sebuah tindakan kejahatan dengan pencabutanhakhidupseseorang, minimal ada beberapa pertanyaan umum yang perlu dijawab oleh pemerintah. Pertama, apakah sudah dipertimbangkan tindakan terpidana tersebut dapat direhabilitasi sehingga ketika kembali ke masyarakat ia akan mematuhi hukum?
Rehabilitasi biasanya dilakukan dengan memberikan keterampilan atau konseling kepada pelaku kejahatan sehingga mereka menyadari kesalahannya. Kedua, apabila rehabilitasi tidak berhasil apakah terhadap terpidana dapat dilakukan incapacitation . Pendekatan ini pada dasarnya adalah mencegah terpidana untuk melakukan kejahatan yang serupa di masa mendatang.
Cara yang dilakukan bergantung pada jenis tindak kejahatannya. Contoh, para pelaku kejahatan seks di India saat ini akan dikebiri yang membuat dorongan seks mereka menjadi berkurang. Pada abad ke-18 dan 19, Inggris merelokasi para tahanan yang dianggap kejam ke Australia dan Amerika. Pada zaman Orde Baru, para tahanan politik diasingkan ke Pulau Buru.
Dalam kasus terpidana narkoba di Indonesia, metode ini tampaknya tidak dapat berjalan dengan baik karena kejahatan sudah sangat sistematis dan terorganisasi. Sistem lembaga pemasyarakatan kita masih belum profesional dan diduga masih penuh dengan praktik korupsi.
Contohnya adalah Ola, terpidana mati yang mendapat grasi, ditemukan mengelola jaringan kejahatannya kembali di dalam penjara. Ironisnya, apabila menggunakan alasan ini untuk menghukum terpidana mati, kita justru akan dipermalukan karena menunjukkan betapa lemahnya sistem peradilan kita.
Ketiga, apabila rehabilitasi tidak berhasil maka apakah hukuman bisa dilakukan secara retributif atau diberikan hukuman setimpal dengan kejahatannya. Dalam kasus hukum mati yang telah kita laksanakan, biasanya terkait dengan kejahatan pembunuhan terencana yang melibatkan korban masif dan terbukti dilakukan dengan sadis. Persoalannya bahwa mengukur sebuah tindakan kejahatan tertentu dengan hukuman tertentu adalah sangat politis dan kontekstual.
Di China, korupsi adalah kejahatan yang diganjar hukuman mati. Sebelum direvisi, mempelajari metode pencurian masuk dalam kategori tindakan yang pantas dihukum mati. Keempat, apakah kejahatan yang diganjar hukuman mati memiliki maksud untuk memberikan efek jera? Saat ini posisi pemerintah sama dengan posisi negara-negara lain yang masih memberlakukan hukuman mati, yakni bahwa hukuman itu diperlukan untuk menimbulkan efek jera.
Salah satu sumber sering dikutip oleh Presiden Joko Widodo adalah hasil penelitian BNN pada 2008 yang menyebutkan angka-angka korban akibat kejahatan narkoba selama ini. Namun, hasil penelitian itu dipertanyakan beberapa pihak, salah satunya adalah Claudia Stoicescu, seorang kandidat doktor dari University of Oxford yang sedang melakukan penelitian di Jakarta.
Ia mengatakan bahwa metodologi dan definisi yang digunakan dalam penelitian tidak mengikuti kaidah standar penelitian internasional sehingga hasilnya pun dipertanyakan. Di tingkat internasional, PBB merujuk hasil penelitian National Research Council di Amerika yang telah mengadakan kajian dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang mendukung dan menolak hukuman mati.
Mereka menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut, baik yang mendukung maupun menolak hukuman mati sebagai inconclusive (tidak sahih) sehingga tidak dapat dijadikan rujukan dalam persidangan. Hasil- hasil penelitian tersebut tentu akan menggugurkan argumen para diplomat ketika berdialog dengan wakil pemerintah atau masyarakat negara sahabat yang menentang hukuman mati.
Dan apabila kita tetap menggunakan argumen tersebut untuk membela kebijakan, tentu kredibilitas kita akan turun. Pertanyaan lain yang juga harus dijawab adalah bagaimana sikap dukungan hukuman mati ini dapat menolong 200-an tenaga kerja kita di luar negeri yang terancam hukuman mati.
Banyak di antara mereka yang terancam hukuman mati terkait dengan alasan PBB untuk menentang hukuman mati seperti sistem hukum yang tidak adil, tidak terbuka, tidak adil, mahal, apabila terjadi kesalahan tidak dapat dikoreksi. Alasan-alasan tersebut harus dihadapi oleh pemerintah dan jangan sampai ada kesan dari negara lain bahwa kita menarik diri dari perdebatan tersebut.
Dengan kata lain, pilihan untuk mendukung atau menolak hukuman mati menuntut sebuah penjelasan yang terbuka ilmiah dari pemerintah, karena kita hidup dalam pergaulan internasional yang menggantungkan diri pada norma-norma tertentu. Kita dapat memiliki norma yang berbeda ataupun setuju dengan norma-norma yang ditawarkan oleh negara- negara lain.
Namun syaratnya, norma yang kita pegang teguh telah lebih baik. Norma itu juga harus sesuai dengan perkembangan dunia saat ini baik ekonomi maupun politik, di mana saat ini pergaulan negara- negara tidak lagi dibatasi oleh batas fisik garis batas kedaulatan tetapi hukum dan norma internasional.
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina @dinnawisnu
Tekanan terhadap Indonesia mengenai keputusan untuk melakukan hukuman mati ternyata tidak berhenti saat eksekusi gelombang pertama dilakukan kepada para terpidana mati narkoba beberapa minggu yang lalu.
Tekanan terhadap Indonesia ketika menghukum mati terpidana gelombang kedua menjadi semakin besar dan menarik perhatian dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, melalui juru bicaranya, meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati kepada para terpidana narkoba.
Tekanan tersebut juga semakin intensif dengan ancaman dari Australia untuk melarang warganya ke Bali. Mereka juga mengancam akan melakukan penarikan duta besar seperti yang dilakukan Brasil dan Belanda. Bila ancaman tersebut benar- benar terwujud, apakah jalan keluar yang diantisipasi oleh pemerintah?
Saat ini pemerintah menekankan bahwa keputusan menghukum itu adalah keputusan hukum positif di Indonesia, dan intervensi dari negara- negara tersebut sama artinya dengan mengganggu kedaulatan. Presiden Joko Widodo juga mengatakan tekanan tersebut adalah wajar karena setiap pemerintah perlu melakukan upaya maksimal menyelamatkan warganya.
Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo lebih tertarik melihat tekanan tersebut dari kacamata politik praktis dan bukannya mempertimbangkan nilai (value) dari opsi-opsi yang diusulkan atau membuka dialog seputar tuntutan yang masuk tersebut. Jawaban senada juga disampaikan instansi terkait seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, kepolisian, bahkan Kementerian Luar Negeri.
Pemerintah sepatutnya dapat memberi keterangan kepada masyarakat negara sahabat, khususnya negara-negara yang menentang hukuman mati, dengan lebih jelas. Setiap negara sahabat yang memiliki kebijakan penghapusan hukuman mati memiliki alasan-alasan tersendiri yang dapat menjadi titik tolak untuk diskusi.
Masyarakat Eropa, khususnya, telah memiliki pemahaman dan keterlibatan dalam diskusi mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati, karena hal itu sudah menjadi bagian dari pendidikan mereka. Penderitaan yang dialami selama Perang Dunia II dan trauma kekejaman Nazi di bawah Hitler telah menjadi dasar yang kuat bagi mereka untuk menempatkan hak hidup dan demokrasi sebagai tujuan bernegara.
Diskusi tentang hukuman mati berada dalam konteks semangat tersebut. Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat selalu terbagi antara kelompok yang memberikan dukungan dan yang menolak, bahkan di antara negara yang menentang hukuman mati sekalipun. Masih ada warga negara di negara-negara tersebut yang mendukung hukuman mati.
Sama seperti warga negara di negara yang menerapkan hukuman mati, masih ada masyarakat yang memperjuangkan untuk menentangnya. Perdebatan ini telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Apa yang membedakan adalah pembaruan argumentasi dan buktibukti yang diajukan dari masing-masing pihak untuk menegaskan posisi mereka terhadap hukuman mati.
Pertanyaannya kemudian apakah Indonesia saat ini sedang menuju arah penghapusan hukuman mati (abolisionist) atau mendukung hukuman mati (retentionist). Posisi ini sangat mendasar dan sayangnya sejak transisi demokrasi dimulai sejak 1998 kita tidak pernah tegas memilih sikap yang mana, belakangan justru ruang dialognya tertutup.
Apabila sebutan negara yang menjatuhkan sanksi atas sebuah tindakan kejahatan dengan pencabutanhakhidupseseorang, minimal ada beberapa pertanyaan umum yang perlu dijawab oleh pemerintah. Pertama, apakah sudah dipertimbangkan tindakan terpidana tersebut dapat direhabilitasi sehingga ketika kembali ke masyarakat ia akan mematuhi hukum?
Rehabilitasi biasanya dilakukan dengan memberikan keterampilan atau konseling kepada pelaku kejahatan sehingga mereka menyadari kesalahannya. Kedua, apabila rehabilitasi tidak berhasil apakah terhadap terpidana dapat dilakukan incapacitation . Pendekatan ini pada dasarnya adalah mencegah terpidana untuk melakukan kejahatan yang serupa di masa mendatang.
Cara yang dilakukan bergantung pada jenis tindak kejahatannya. Contoh, para pelaku kejahatan seks di India saat ini akan dikebiri yang membuat dorongan seks mereka menjadi berkurang. Pada abad ke-18 dan 19, Inggris merelokasi para tahanan yang dianggap kejam ke Australia dan Amerika. Pada zaman Orde Baru, para tahanan politik diasingkan ke Pulau Buru.
Dalam kasus terpidana narkoba di Indonesia, metode ini tampaknya tidak dapat berjalan dengan baik karena kejahatan sudah sangat sistematis dan terorganisasi. Sistem lembaga pemasyarakatan kita masih belum profesional dan diduga masih penuh dengan praktik korupsi.
Contohnya adalah Ola, terpidana mati yang mendapat grasi, ditemukan mengelola jaringan kejahatannya kembali di dalam penjara. Ironisnya, apabila menggunakan alasan ini untuk menghukum terpidana mati, kita justru akan dipermalukan karena menunjukkan betapa lemahnya sistem peradilan kita.
Ketiga, apabila rehabilitasi tidak berhasil maka apakah hukuman bisa dilakukan secara retributif atau diberikan hukuman setimpal dengan kejahatannya. Dalam kasus hukum mati yang telah kita laksanakan, biasanya terkait dengan kejahatan pembunuhan terencana yang melibatkan korban masif dan terbukti dilakukan dengan sadis. Persoalannya bahwa mengukur sebuah tindakan kejahatan tertentu dengan hukuman tertentu adalah sangat politis dan kontekstual.
Di China, korupsi adalah kejahatan yang diganjar hukuman mati. Sebelum direvisi, mempelajari metode pencurian masuk dalam kategori tindakan yang pantas dihukum mati. Keempat, apakah kejahatan yang diganjar hukuman mati memiliki maksud untuk memberikan efek jera? Saat ini posisi pemerintah sama dengan posisi negara-negara lain yang masih memberlakukan hukuman mati, yakni bahwa hukuman itu diperlukan untuk menimbulkan efek jera.
Salah satu sumber sering dikutip oleh Presiden Joko Widodo adalah hasil penelitian BNN pada 2008 yang menyebutkan angka-angka korban akibat kejahatan narkoba selama ini. Namun, hasil penelitian itu dipertanyakan beberapa pihak, salah satunya adalah Claudia Stoicescu, seorang kandidat doktor dari University of Oxford yang sedang melakukan penelitian di Jakarta.
Ia mengatakan bahwa metodologi dan definisi yang digunakan dalam penelitian tidak mengikuti kaidah standar penelitian internasional sehingga hasilnya pun dipertanyakan. Di tingkat internasional, PBB merujuk hasil penelitian National Research Council di Amerika yang telah mengadakan kajian dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang mendukung dan menolak hukuman mati.
Mereka menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut, baik yang mendukung maupun menolak hukuman mati sebagai inconclusive (tidak sahih) sehingga tidak dapat dijadikan rujukan dalam persidangan. Hasil- hasil penelitian tersebut tentu akan menggugurkan argumen para diplomat ketika berdialog dengan wakil pemerintah atau masyarakat negara sahabat yang menentang hukuman mati.
Dan apabila kita tetap menggunakan argumen tersebut untuk membela kebijakan, tentu kredibilitas kita akan turun. Pertanyaan lain yang juga harus dijawab adalah bagaimana sikap dukungan hukuman mati ini dapat menolong 200-an tenaga kerja kita di luar negeri yang terancam hukuman mati.
Banyak di antara mereka yang terancam hukuman mati terkait dengan alasan PBB untuk menentang hukuman mati seperti sistem hukum yang tidak adil, tidak terbuka, tidak adil, mahal, apabila terjadi kesalahan tidak dapat dikoreksi. Alasan-alasan tersebut harus dihadapi oleh pemerintah dan jangan sampai ada kesan dari negara lain bahwa kita menarik diri dari perdebatan tersebut.
Dengan kata lain, pilihan untuk mendukung atau menolak hukuman mati menuntut sebuah penjelasan yang terbuka ilmiah dari pemerintah, karena kita hidup dalam pergaulan internasional yang menggantungkan diri pada norma-norma tertentu. Kita dapat memiliki norma yang berbeda ataupun setuju dengan norma-norma yang ditawarkan oleh negara- negara lain.
Namun syaratnya, norma yang kita pegang teguh telah lebih baik. Norma itu juga harus sesuai dengan perkembangan dunia saat ini baik ekonomi maupun politik, di mana saat ini pergaulan negara- negara tidak lagi dibatasi oleh batas fisik garis batas kedaulatan tetapi hukum dan norma internasional.
(bhr)