Mahasiswa dan Generasi Hafalan
A
A
A
Abad ke-21 menjadikan sekolah sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kita menjadi berlomba-lomba untuk bersekolah dan mengubah nasib melalui pendidikan.
Kita tergiur pula dengan selembar kertas saktipelambangpemartabatan diri berupa Ijazah. Di situ tertuliskan hasil belajar selama tahunan. Disadari atau tidak, tolokukurhasilpembelajaranhanyanilaidilembarijazah. Bandung Mawardi (2014) mengkritik bahwa model pendidikan menjadi mengabaikan etos belajar sehingga yang dikejar ialah ijazah.
Ijazah menjelma sebagai kunci pengubah nasib, jalan karier untuk meraih kesuksesan. Padahal di balik nilai dalam ijazah itu, terdapat dilema yang berkepanjangan. Untuk mendapatkan nilai itu, kita dibuat menjadi robot penghafal. Kehidupan pendidikan seperti itu pula yang ada dalam film 3 Idiot garapan Amir Khan.
Kita ingat dengan tokoh Rancho yang mengkritik pendidikan tinggi yang membuat mahasiswa tidak mendapatkan pengetahuan, tetapi hanya nilai. Mahasiswa yang terbius dengan nilai, maka akan menyibukkan diri untuk menghafal. Mahasiswa seharusnya tidak menjadi tokoh Chatur yang menjadi maniak penghafal.
Inilah yang terjadi, mahasiswa hanya sibuk menghafal tanpa memahami. Mahasiswa yang sibuk dengan berbagai hafalan tanpa tahu kegunaannya, hanya akan mengejar nilai. Oleh karena itu, setelah pelajaran usai, mahasiswa pun lupa dengan apa yang telah dipelajari. Mahasiswa di perguruan tinggi dididik bukan menjadi penuntut ilmu, melainkan penuntut nilai.
Imajinasi yang terbangun ialah nilai tinggi di selembar ijazah. Sampai akhirnya, menghalalkan segala cara untuk meraih nilai yang memuaskan. Salah satu cara yang kerap di temui ialah mencontek. Akhirnya proses pengintelektualan diri yang seperti itu pula, membuat mahasiswa menjadi abai terhadap lingkungan sekitar dan meningkatkan arogansi.
Uun Nurcahyati (2014) dalam esainya yang berjudul Pendidikan dan Profesionalisme mengatakan bahwa nilai dalam ijazah menjadi alat promosi sebuah lembaga pendidikan dan dianggap sahih mewakili keberhasilan. Ijazah dijadikan bukti, yang mampu merepresentasikan tingkat kecerdasan seseorang. Akhirnya tidak bisa dimungkiri bahwa mahasiswa menjadi penghamba ijazah.
AYU RAHAYU
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Politik,
Universitas Negeri Jakarta
Kita tergiur pula dengan selembar kertas saktipelambangpemartabatan diri berupa Ijazah. Di situ tertuliskan hasil belajar selama tahunan. Disadari atau tidak, tolokukurhasilpembelajaranhanyanilaidilembarijazah. Bandung Mawardi (2014) mengkritik bahwa model pendidikan menjadi mengabaikan etos belajar sehingga yang dikejar ialah ijazah.
Ijazah menjelma sebagai kunci pengubah nasib, jalan karier untuk meraih kesuksesan. Padahal di balik nilai dalam ijazah itu, terdapat dilema yang berkepanjangan. Untuk mendapatkan nilai itu, kita dibuat menjadi robot penghafal. Kehidupan pendidikan seperti itu pula yang ada dalam film 3 Idiot garapan Amir Khan.
Kita ingat dengan tokoh Rancho yang mengkritik pendidikan tinggi yang membuat mahasiswa tidak mendapatkan pengetahuan, tetapi hanya nilai. Mahasiswa yang terbius dengan nilai, maka akan menyibukkan diri untuk menghafal. Mahasiswa seharusnya tidak menjadi tokoh Chatur yang menjadi maniak penghafal.
Inilah yang terjadi, mahasiswa hanya sibuk menghafal tanpa memahami. Mahasiswa yang sibuk dengan berbagai hafalan tanpa tahu kegunaannya, hanya akan mengejar nilai. Oleh karena itu, setelah pelajaran usai, mahasiswa pun lupa dengan apa yang telah dipelajari. Mahasiswa di perguruan tinggi dididik bukan menjadi penuntut ilmu, melainkan penuntut nilai.
Imajinasi yang terbangun ialah nilai tinggi di selembar ijazah. Sampai akhirnya, menghalalkan segala cara untuk meraih nilai yang memuaskan. Salah satu cara yang kerap di temui ialah mencontek. Akhirnya proses pengintelektualan diri yang seperti itu pula, membuat mahasiswa menjadi abai terhadap lingkungan sekitar dan meningkatkan arogansi.
Uun Nurcahyati (2014) dalam esainya yang berjudul Pendidikan dan Profesionalisme mengatakan bahwa nilai dalam ijazah menjadi alat promosi sebuah lembaga pendidikan dan dianggap sahih mewakili keberhasilan. Ijazah dijadikan bukti, yang mampu merepresentasikan tingkat kecerdasan seseorang. Akhirnya tidak bisa dimungkiri bahwa mahasiswa menjadi penghamba ijazah.
AYU RAHAYU
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Politik,
Universitas Negeri Jakarta
(bhr)