Kenangan Sportivitas Polri
A
A
A
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Ketika pada akhir 2009 terjadi kasus “cicak vs buaya I” dan Mahkamah Konstitusi (MK) memutar rekaman pembicaraan rekayasa para penegak hukum atas dua komisioner KPK, Bibit Samad dan Chandra Hamzah, sebagai ketua MK saat itu saya juga mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari pihak “oknum” Polri.
Namun akhirnya MK dan Polri dapat mengakhiri ketegangan itu dengan sama-sama bersikap sportif. Seperti diberitakan secara meluas, pada saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah mengajukan pengujian atas UU KPK yang mengatur bahwa “komisioner KPK yang menjadi terdakwa diberhentikan dari jabatannya”.
Pada saat itu, tanpa bukti yang kuat dan terkesan direkayasa kedua komisioner KPK itu dijadikan terdakwa, bahkan sudah dijebloskan ke rumah tahanan, dengan dakwaan menerima suap. Kedua komisioner itu merasa diperlakukan tidak adil, dijadikan terdakwa agar mereka diberhentikan sehingga KPK menjadi tidak kuorum kolegialitasnya setelah sebelumnya Antasari Azhar dihukum.
Kalau kedua komisioner itu jadi terdakwa, komisioner KPK hanya akan tinggal dua orang sehingga, dalam pandangan umum, menjadi tidak bisa melaksanakan tugasnya dan KPK jadi lumpuh. Apa bukti bahwa penerdakwaan kedua komisioner itu rekayasa? Ternyata KPK memiliki rekaman pembicaraan antara oknum-oknum polisi, pimpinan kejaksaan, pengacara dengan Anggodo Widjojo yang sangat aktif mengarahkan agar kedua komisioner itu jadi terdakwa.
Untuk membuktikan rekayasa itu kedua komisioner meminta agar MK menyetel rekaman yang disadap secara sah oleh KPK itu di persidangan. Terjadi kontroversi, apakah ada relevansinya MK menyetel sebuah rekaman pembicaraan dalam perkara pengujian UU? Masak menguji konsistensi isi UU terhadap UUD bisa dibuktikan dengan mendengar rekaman pembicaraan telepon?
Bahkan, Menkumham Patrialis Akbar saat itu juga mengecam MK karena menyetel rekaman itu. Tapi sembilan hakim MK sepakat bulat, rekaman itu harus disetel untuk mencari kebenaran materiil, apakah benar penerdakwaan sebagaimana dimaksud oleh UU KPK itu bisa direkayasa. Ketika rekaman itu disetel, Indonesia menjadi geger. Mafia hukum yang tadinya dianggap tak pernah bisa dibuktikan ternyata bisa dibuktikan.
Puluhan ribu massa berhari-hari berdemo menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution datang ke rumah penahanan Bibit dan Chandra untuk meminta pembebasan bagi mereka. Akhirnya Presiden turun tangan, meminta Kejaksaan Agung mengeluarkan SKP-3 atas keduanya. Saya sendiri tak luput dari dampak buruk dan teror atas peristiwa itu.
Dua hari setelah penyetelan kaset rekaman itu, di pagi buta, para ajudan, sopirsopir pengawalan, dan penjaga rumah dinas menyatakan mengundurkan diri. Menurut saya, pasti ada yang memerintahkan pengunduran diri itu, sebab dalam peraturan disiplin Polri dan TNI, prajurit yang mundur dari tugas pasti dianggap sebagai salah besar karena desersi. Saya pun grogi. Pengunduran diri (yang saya artikan sebagai penarikan) itu menjadi berita besar.
Panglima GP Ansor NU Tatang Hidayat menawarkan pengamanan di MK siang dan malam. Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo KH Fawaid Asad datang ke MK menawarkan santri-santrinya untuk mengawal. Situasinya sungguh keruh pada saat itu. Tapi saya tidak menerima tawaran-tawaran swasta itu. Kalaupun terpaksa, sebagai mantan menteri pertahanan, saya bisa mencari pengawal dari TNI. Namun sebelum itu saya melakukan komunikasi dengan pimpinan Polri.
Begitu juga dengan Menko Polhukam Joko Suyanto agar Istana Kepresidenan turun tangan untuk mencari penyelesaian yang baik. Sebab MK maupun Polri adalah penyangga tegaknya hukum. Saya katakan, kami hakim-hakim MK tak punya niat atau agenda politik untuk merusak Polri sebagai institusi.
Rekaman yang disetel di MK itu adalah bukti tindakan oknum, bukan kebijakan institusi Polri. MK hanya ingin menegakkan konstitusi dan hukum demi kebaikan bangsa dan negara. Tak ada maksud menyerang Polri. Selain dengan Istana Kepresidenan, pendekatan-pendekatan personal untuk meyakinkan bahwa saya tak punya agenda politis-pribadi saya lakukan dengan orangorang penting di Polri.
Saya menye-lesaikannya tanpa menambah kegaduhan di pers. Akhirnya Polri menerima penjelasan saya. Kapolda Metro Jaya Jenderal Wahyono, mewakili Polri, datang ke kantor saya dan menyatakan bahwa keamanan MK dan pengawalan hakim-hakimnya menjadi tanggung jawab Polri. “Polri menjamin, tak boleh ada sejengkal jarak atau sedetik waktu Ketua MK merasa tidak aman. Polri bertanggung jawab atas keamanan Bapak,” kata Wahyono.
“Berapa pun jumlah pengaman yang diperlukan MK akan kami kirim hari ini. Yang mengundurkan diri kemarin itu anak-anak nakal, nanti akan ditindak,” sambung Wahyono. Demikianlah, saat itu konflik MK dan Polri cepat teratasi. Hubungan MK dan Polri maupun antarpejabat-pejabatnya menjadi sangat baik. Kalau ketemu saya, di mana pun, pejabat Polri bersifatcorrect seperti halnya saya menghormati mereka tanpa peduli apa pun jabatannya.
Melihat kegaduhan antara KPK dan Polri yang berlangsung sangat gaduh saat ini, saya terkenang pada pengalaman pribadi saat menjadi ketua MK. Saat itu MK bisa menunjukkan kesungguhannya bahwa dirinya tidak berpolitik untuk memojokkan Polri.
Polri pun percaya dan kemudian bersikap sportif. Istana Kepresidenan pun menengahi konflik kami dengan sangat baik. Tak bisakah cara itu sekarang diwujudkan lagi?
Guru Besar Hukum Konstitusi
Ketika pada akhir 2009 terjadi kasus “cicak vs buaya I” dan Mahkamah Konstitusi (MK) memutar rekaman pembicaraan rekayasa para penegak hukum atas dua komisioner KPK, Bibit Samad dan Chandra Hamzah, sebagai ketua MK saat itu saya juga mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari pihak “oknum” Polri.
Namun akhirnya MK dan Polri dapat mengakhiri ketegangan itu dengan sama-sama bersikap sportif. Seperti diberitakan secara meluas, pada saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah mengajukan pengujian atas UU KPK yang mengatur bahwa “komisioner KPK yang menjadi terdakwa diberhentikan dari jabatannya”.
Pada saat itu, tanpa bukti yang kuat dan terkesan direkayasa kedua komisioner KPK itu dijadikan terdakwa, bahkan sudah dijebloskan ke rumah tahanan, dengan dakwaan menerima suap. Kedua komisioner itu merasa diperlakukan tidak adil, dijadikan terdakwa agar mereka diberhentikan sehingga KPK menjadi tidak kuorum kolegialitasnya setelah sebelumnya Antasari Azhar dihukum.
Kalau kedua komisioner itu jadi terdakwa, komisioner KPK hanya akan tinggal dua orang sehingga, dalam pandangan umum, menjadi tidak bisa melaksanakan tugasnya dan KPK jadi lumpuh. Apa bukti bahwa penerdakwaan kedua komisioner itu rekayasa? Ternyata KPK memiliki rekaman pembicaraan antara oknum-oknum polisi, pimpinan kejaksaan, pengacara dengan Anggodo Widjojo yang sangat aktif mengarahkan agar kedua komisioner itu jadi terdakwa.
Untuk membuktikan rekayasa itu kedua komisioner meminta agar MK menyetel rekaman yang disadap secara sah oleh KPK itu di persidangan. Terjadi kontroversi, apakah ada relevansinya MK menyetel sebuah rekaman pembicaraan dalam perkara pengujian UU? Masak menguji konsistensi isi UU terhadap UUD bisa dibuktikan dengan mendengar rekaman pembicaraan telepon?
Bahkan, Menkumham Patrialis Akbar saat itu juga mengecam MK karena menyetel rekaman itu. Tapi sembilan hakim MK sepakat bulat, rekaman itu harus disetel untuk mencari kebenaran materiil, apakah benar penerdakwaan sebagaimana dimaksud oleh UU KPK itu bisa direkayasa. Ketika rekaman itu disetel, Indonesia menjadi geger. Mafia hukum yang tadinya dianggap tak pernah bisa dibuktikan ternyata bisa dibuktikan.
Puluhan ribu massa berhari-hari berdemo menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution datang ke rumah penahanan Bibit dan Chandra untuk meminta pembebasan bagi mereka. Akhirnya Presiden turun tangan, meminta Kejaksaan Agung mengeluarkan SKP-3 atas keduanya. Saya sendiri tak luput dari dampak buruk dan teror atas peristiwa itu.
Dua hari setelah penyetelan kaset rekaman itu, di pagi buta, para ajudan, sopirsopir pengawalan, dan penjaga rumah dinas menyatakan mengundurkan diri. Menurut saya, pasti ada yang memerintahkan pengunduran diri itu, sebab dalam peraturan disiplin Polri dan TNI, prajurit yang mundur dari tugas pasti dianggap sebagai salah besar karena desersi. Saya pun grogi. Pengunduran diri (yang saya artikan sebagai penarikan) itu menjadi berita besar.
Panglima GP Ansor NU Tatang Hidayat menawarkan pengamanan di MK siang dan malam. Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo KH Fawaid Asad datang ke MK menawarkan santri-santrinya untuk mengawal. Situasinya sungguh keruh pada saat itu. Tapi saya tidak menerima tawaran-tawaran swasta itu. Kalaupun terpaksa, sebagai mantan menteri pertahanan, saya bisa mencari pengawal dari TNI. Namun sebelum itu saya melakukan komunikasi dengan pimpinan Polri.
Begitu juga dengan Menko Polhukam Joko Suyanto agar Istana Kepresidenan turun tangan untuk mencari penyelesaian yang baik. Sebab MK maupun Polri adalah penyangga tegaknya hukum. Saya katakan, kami hakim-hakim MK tak punya niat atau agenda politik untuk merusak Polri sebagai institusi.
Rekaman yang disetel di MK itu adalah bukti tindakan oknum, bukan kebijakan institusi Polri. MK hanya ingin menegakkan konstitusi dan hukum demi kebaikan bangsa dan negara. Tak ada maksud menyerang Polri. Selain dengan Istana Kepresidenan, pendekatan-pendekatan personal untuk meyakinkan bahwa saya tak punya agenda politis-pribadi saya lakukan dengan orangorang penting di Polri.
Saya menye-lesaikannya tanpa menambah kegaduhan di pers. Akhirnya Polri menerima penjelasan saya. Kapolda Metro Jaya Jenderal Wahyono, mewakili Polri, datang ke kantor saya dan menyatakan bahwa keamanan MK dan pengawalan hakim-hakimnya menjadi tanggung jawab Polri. “Polri menjamin, tak boleh ada sejengkal jarak atau sedetik waktu Ketua MK merasa tidak aman. Polri bertanggung jawab atas keamanan Bapak,” kata Wahyono.
“Berapa pun jumlah pengaman yang diperlukan MK akan kami kirim hari ini. Yang mengundurkan diri kemarin itu anak-anak nakal, nanti akan ditindak,” sambung Wahyono. Demikianlah, saat itu konflik MK dan Polri cepat teratasi. Hubungan MK dan Polri maupun antarpejabat-pejabatnya menjadi sangat baik. Kalau ketemu saya, di mana pun, pejabat Polri bersifatcorrect seperti halnya saya menghormati mereka tanpa peduli apa pun jabatannya.
Melihat kegaduhan antara KPK dan Polri yang berlangsung sangat gaduh saat ini, saya terkenang pada pengalaman pribadi saat menjadi ketua MK. Saat itu MK bisa menunjukkan kesungguhannya bahwa dirinya tidak berpolitik untuk memojokkan Polri.
Polri pun percaya dan kemudian bersikap sportif. Istana Kepresidenan pun menengahi konflik kami dengan sangat baik. Tak bisakah cara itu sekarang diwujudkan lagi?
(ars)