Banjir Bukan Salah Pemprov?
A
A
A
Banjir lagi, banjir lagi.Siapa yang salah dan harus bertanggung jawab?Ternyata bukanlah Pemprov DKI Jakarta.
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menyalahkan sejumlah kalangan sebagai biang kerok banjir yang menimpa wilayahnya belakangan ini. Tema itulah yang menjadi sorotan belakangan ini, menyusul peristiwa banjir yang kembali melumpuhkan Ibu Kota,Senin (9/2) lalu. Dampak banjir pun masih terasa hingga kini, terutama di wilayah Jakarta Barat dan JakartaUtara.
Wacana solusi seperti yang akan diambil, terutama jangka pendek,untuk mengatasi ancaman banjir yang diperkirakan akan berlangsung hingga Maret nanti seolah tidak mendapatperhatian. Betapa tidak menjadi sorotan? Sejak awal banjir menerjang dan merendam kawasan Medan Merdeka, termasuk didalamnya Istana Negara dan Balai KotaDKI, alih-alih menginstruksikan jajarannya untuk melakukan upaya apa pun agar segera mengatasi musibah, Gubernur langsung melontarkan tudingan adanya sabotase berdasar alasan CCTV diMasjid Istiqlal mati.
Belum ada bukti tudingannya benar, keesokan harinya mantan Bupati Belitung Timur tersebut ganti menyalahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena mematikan aliran listrik dirumah pompa Waduk Pluit.Dia bahkan menyampaikan rasa kesalnyakepada Presiden Joko Widodo(Jokowi).Tentu saja PLN menyangkal dengan alasan yang juga masuk akal.
Ternyata,Ahok tidak berhenti mengambinghitamkan pihak lain. Pihak yang turut menjadi sasaran adalah masyarakat dan perusahaan yang meninggikan jalan untuk mengatasi banjir, Pemprov DKI terdahulu yang memberikan izin pengembangan Kelapa Gading tanpa kewajiban membuat waduk,dan oknum pejabat yang menjadi makelar tanah yang menjual lahan kosong seenaknya.
Sebelumnya dia menyalahkan kontraktor pengerukan sungai yang memasukkan alat berat ke Kali Sunter dengan menjebol tanggul.Jauh sebelumnya dia juga menyalahkan daerah sekitar Jakarta seperti Depok,Bogor,karena tata ruang mereka berkontribusi terhadap banjir diJakarta. Memang tidak ada yang salah dengan tudingan Ahok.
PLN, masyarakat,makelar,daerah penyangga,dan pemerintah terdahulu memang sama-sama berkontribusi dan bertanggungjawab atas banjir di DKI.Namun yang menjadi pertanyaan, jika mereka tidak bersalah, apakah banjir tidak akan terjadi? Atau apakah langkah mencari kambing hitam bisa menyelesaikan masalah? Tentu saja tidak.Banjir memang tidak bisa diselesaikan Pemprov DKI.
Tapi,sudah pasti pemprov,dalam hal ini Gubernur DKI,adalah pihak yang bertanggungjawab karena dialah yang memegang kekuasaan,memegang anggaran, mengendalikan aparatur hingga bisa menggerakkan semua potensi kekuatan untuk menyelesaikan problem banjir. Semestinya, itulah yang dimainkan Ahok sebagai seorang pemimpin.
Ahok kini tidak lagi seorang calon wakil gubernur yang berwacana saat kampanye Pemilihan Gubernur DKI pada 2012 lalu, yang bersama Jokowi menjanjikan membangun folder untuk menangkap dan menampung air hujan di setiap kecamatan dan kelurahan;membelidaerah tangkapan air seperti situ atauwaduk di hulu sungai agar debit air yang masuk ke Jakarta bisa dikendalikan.
Janji segunung plus janji akan menghadirkan kepemimpinan baru yang jauh lebih baik dibandingkan pada era Fauzi Bowo untuk mewujudkan“Jakarta Baru”inilah yang memenangkan Jokowi-Ahok dalam kontestasi demokrasi yang demikian riuh.Dengan tongkat komando yang sudah dipegang,APBD sebesar Rp80triliun,serta gaji aparatur yang begitu besar,secara teoretis tidak sulit bagi Ahok untuk mewujudkan janji tersebut.
Jika ada kendala koordinasi dengan daerah penyangga dan instansi lain,bukankah ketika Jokowi sudah menjadi presiden persoalan menjadi lebih mudah? Jika sedemikian besar kekuasaan yang dipegangnya,lantas untuk apa Ahok menyalahkan pihak lain?Kehadiran Ahok sebagai gubernur, plus duetnya dengan Presiden,tentu jangan berhenti pada penyesalan atas kebijakan lampau atau mengambinghitamkan pihak lain.
Jika Ahok terus memproduksi kemarahan dan menyalahkan pihak lain, justru dia memperlihatkan kepanikannya dan tabiat melemparkan tanggung jawab kepada orang lain akibat kegagalan mewujudkan mimpi yang telanjur disuguhkan.
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menyalahkan sejumlah kalangan sebagai biang kerok banjir yang menimpa wilayahnya belakangan ini. Tema itulah yang menjadi sorotan belakangan ini, menyusul peristiwa banjir yang kembali melumpuhkan Ibu Kota,Senin (9/2) lalu. Dampak banjir pun masih terasa hingga kini, terutama di wilayah Jakarta Barat dan JakartaUtara.
Wacana solusi seperti yang akan diambil, terutama jangka pendek,untuk mengatasi ancaman banjir yang diperkirakan akan berlangsung hingga Maret nanti seolah tidak mendapatperhatian. Betapa tidak menjadi sorotan? Sejak awal banjir menerjang dan merendam kawasan Medan Merdeka, termasuk didalamnya Istana Negara dan Balai KotaDKI, alih-alih menginstruksikan jajarannya untuk melakukan upaya apa pun agar segera mengatasi musibah, Gubernur langsung melontarkan tudingan adanya sabotase berdasar alasan CCTV diMasjid Istiqlal mati.
Belum ada bukti tudingannya benar, keesokan harinya mantan Bupati Belitung Timur tersebut ganti menyalahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena mematikan aliran listrik dirumah pompa Waduk Pluit.Dia bahkan menyampaikan rasa kesalnyakepada Presiden Joko Widodo(Jokowi).Tentu saja PLN menyangkal dengan alasan yang juga masuk akal.
Ternyata,Ahok tidak berhenti mengambinghitamkan pihak lain. Pihak yang turut menjadi sasaran adalah masyarakat dan perusahaan yang meninggikan jalan untuk mengatasi banjir, Pemprov DKI terdahulu yang memberikan izin pengembangan Kelapa Gading tanpa kewajiban membuat waduk,dan oknum pejabat yang menjadi makelar tanah yang menjual lahan kosong seenaknya.
Sebelumnya dia menyalahkan kontraktor pengerukan sungai yang memasukkan alat berat ke Kali Sunter dengan menjebol tanggul.Jauh sebelumnya dia juga menyalahkan daerah sekitar Jakarta seperti Depok,Bogor,karena tata ruang mereka berkontribusi terhadap banjir diJakarta. Memang tidak ada yang salah dengan tudingan Ahok.
PLN, masyarakat,makelar,daerah penyangga,dan pemerintah terdahulu memang sama-sama berkontribusi dan bertanggungjawab atas banjir di DKI.Namun yang menjadi pertanyaan, jika mereka tidak bersalah, apakah banjir tidak akan terjadi? Atau apakah langkah mencari kambing hitam bisa menyelesaikan masalah? Tentu saja tidak.Banjir memang tidak bisa diselesaikan Pemprov DKI.
Tapi,sudah pasti pemprov,dalam hal ini Gubernur DKI,adalah pihak yang bertanggungjawab karena dialah yang memegang kekuasaan,memegang anggaran, mengendalikan aparatur hingga bisa menggerakkan semua potensi kekuatan untuk menyelesaikan problem banjir. Semestinya, itulah yang dimainkan Ahok sebagai seorang pemimpin.
Ahok kini tidak lagi seorang calon wakil gubernur yang berwacana saat kampanye Pemilihan Gubernur DKI pada 2012 lalu, yang bersama Jokowi menjanjikan membangun folder untuk menangkap dan menampung air hujan di setiap kecamatan dan kelurahan;membelidaerah tangkapan air seperti situ atauwaduk di hulu sungai agar debit air yang masuk ke Jakarta bisa dikendalikan.
Janji segunung plus janji akan menghadirkan kepemimpinan baru yang jauh lebih baik dibandingkan pada era Fauzi Bowo untuk mewujudkan“Jakarta Baru”inilah yang memenangkan Jokowi-Ahok dalam kontestasi demokrasi yang demikian riuh.Dengan tongkat komando yang sudah dipegang,APBD sebesar Rp80triliun,serta gaji aparatur yang begitu besar,secara teoretis tidak sulit bagi Ahok untuk mewujudkan janji tersebut.
Jika ada kendala koordinasi dengan daerah penyangga dan instansi lain,bukankah ketika Jokowi sudah menjadi presiden persoalan menjadi lebih mudah? Jika sedemikian besar kekuasaan yang dipegangnya,lantas untuk apa Ahok menyalahkan pihak lain?Kehadiran Ahok sebagai gubernur, plus duetnya dengan Presiden,tentu jangan berhenti pada penyesalan atas kebijakan lampau atau mengambinghitamkan pihak lain.
Jika Ahok terus memproduksi kemarahan dan menyalahkan pihak lain, justru dia memperlihatkan kepanikannya dan tabiat melemparkan tanggung jawab kepada orang lain akibat kegagalan mewujudkan mimpi yang telanjur disuguhkan.
(ars)