Seratus Hari, Ku Harus Katakan Apa?

Senin, 02 Februari 2015 - 10:48 WIB
Seratus Hari, Ku Harus...
Seratus Hari, Ku Harus Katakan Apa?
A A A
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta


Dalam tradisi masyarakat kita, khususnya masyarakat tradisional Sunda dan Jawa, bilangan seratus memiliki makna magis yang menjadi acuan dan standardisasi kebudayaan.

Apabila seseorang meninggal, bilangan kenduri atau selamatan sebagai bentuk refleksi peringatan akan dimulai sejak angka satu atau sehari yang disebut dengan sadugna, kemudian tiga hari yang disebut tiluna, tujuh hari disebut tujuhna, 40 hari disebut matang puluh, dan terakhir adalah 100 hari, kemudian akan diperingati peristiwa tahunan yang disebut dengan mendak taun.

Angka 100 mencerminkan kematangan kerangka awal dari sebuah peristiwa yang memiliki implikasi yang cukup besar bagi perjalanan angka-angka berikutnya. Pada aspek penilaian, angka 100 merupakan puncak penilaian tertinggi sehingga siapa pun yang mendapat nilai 100 sempurnalah dia untuk sebuah prestasi yang ditekuninya.

Saat ini kita disibukkan dengan 100 hari perjalanan pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk apresiasi dan harapan terhadap langkah-langkah berikutnya sebagaimana visi dan misi serta janji kampanye yang pernah disampaikan. Gempita perjalanan politik sang fenomena adalah harapan baru bagi masyarakat Indonesia.

Tentunya hal tersebut didasarkan pada literasi perjalanan politik yang cukup magis dan atraktif dalam karier tangga jabatan di Indonesia. Betapa tidak, seorang wali kota pada sebuah wilayah yang relatif kecil di Jawa Tengah melesat menjadi seorang gubernur DKI.

Selanjutnya dalam waktu yang relatif sangat pendek terpilih menjadi seorang presiden dengan sokongan publik yang sangat luas, yang bertumpu pada spirit kebersamaan humanis, spirit menghormati perbedaan atau pluralisme, dan spirit perubahan terhadap tata laku aparatur dan komponen bangsa yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan sebagai negara yang bersendikan Pancasila, berkitabkan Undang- Undang Dasar 1945 dengan prinsip spirit perubahan Nawacita yang bertumpu pada gerakan revolusi mental.

Berkaca pada seluruh problem bangsa yang sudah memasuki tahap akut pada seluruh sendi kehidupan, memang tidak mudah melakukan perubahan terhadap struktur dan kultur yang sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran. Pada tingkat elite, kita menghadapi politik transaksional yang meletakkan aspek kompromi material sebagai pilar utama dalam hubungan politik karena lenyapnya politik ideologis pasca-Reformasi ‘98.

Lumpuhnya politik ideologis telah melahirkan konsepsi politik tanpa arah yang meletakkan seluruh kerangka pikir dan kerangka tindak pada negosiasi dan kompromi kapitalisasi. Ini secara tidak langsung telah memarginalkan para politisi yang berbasis visi ideologis dan memberikan ruang yang cukup terbuka pada kaum kapitalis untuk mengambil peran politik dan menentukan seluruh kebijakan kenegaraan di Indonesia.

Dalam kehidupan masyarakat, kita berhadapan dengan semakin menurunnya kerangka hidup yang bersifat gotongroyong sebagai spirit ideologis dalam tata kehidupan masyarakat kita. Bukan hanya di sudut-sudut kota, di sudut-sudut desa pun kini hampir tak dijumpai kerumunan orang membersihkan selokan, membangun rumah, membangun jalan, membangun irigasi, melaksanakan kegiatan kenduri yang didasarkan pada spirit keikhlasan tanpa pamrih.

Dalam bidang politik, kita tidak lagi menjumpai orang yang rela menjual kambingnya, menjual berasnya, menggadaikan surat keputusan penempatan kerjanya, yang seluruhnya didedikasikan untuk memberikan dukungan sepenuhnya pada kandidat yang dipilihnya. Topati jiwa raga demi menjaga marwah, martabat, dan kehormatan kandidat yang menjadi pilihannya.

Kini semuanya sudah bertarif dengan label yang sering diucapkan secara terbuka oleh masyarakat, “Wani piro?” Hampir semua kekuatan politik maju tak gentar, membela yang bayar. Tetapi, tentu tidak semua, masih ada yang rela berkonser tanpa dibayar, berkampanye tanpa ongkos, meski memang jumlahnya sangat sedikit.

Tradisi hidup yang sangat kuat, budaya gotong-royong tanpa kasta, justru sangat terjaga di kampung-kampung adat yang secara umum masyarakatnya berpegang teguh pada tradisi, jarang nonton televisi, jarang baca koran, jarang berinteraksi melalui media sosial, tidak pernah belajar Filsafat Pancasila, tetapi mereka tetap secara utuh dan menyeluruh berpegang teguh pada seluruh nilai-nilai kebudayaan bangsa. Bukan hanya menjadi simbol persatuan, melainkan menjadi spirit keyakinan yang sudah tidak lagi memilah aspek kebangsaan, aspek ketuhanan, dan aspek keagamaan.

Proses perjalanan politik untuk mewujudkan kemenangan menjadi kandidat terpilih tidak bisa dimungkiri pasti mendapat sokongan dari berbagai perangkat politik yang memiliki kepentingan terhadap kekuasaan jabatan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber ekonomi strategis negara sehingga kekuatan politiknya diharapkan mampu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan modal kebijakan strategis yang dinikmati oleh masyarakat, serta kemampuan untuk menggerakkan sumber-sumber politik melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi strategis.

Kekuatan kapital politik yang memberikan partisipasi yang cukup besar dalam proses pemenangan pilpres juga memiliki harapan yang cukup luas terhadap akses sumber daya alam, penambahan jumlah kapital, pasar yang terbuka, serta berbagai fasilitas kebijakan sebagai bentuk simbiosis antara kekuasaan dan dunia usaha.

Hal tersebut bentuk hubungan sosial-politik yang terbangun saat ini serta tidak bisa dibantah dan tak terbantahkan oleh siapa pun yang menjadi kandidat atau pemenang kekuasaan politik. Keluar dari seluruh komitmen tersebut akan menimbulkan kegaduhan politik sebagai konsekuensi dari sebuah proses perjalanan transaksi kekuasaan.

Siapa pun dia, kekuatan apa pun dia, pasti melakukan hal yang sama. Akrobatik logika yang membalikkan seluruh fakta yang terjadi pada proses perjalanan kampanye hanyalah bentuk spirit idealisme kesendirian yang akhirnya akan terkepung oleh faktafakta politik yang terjadi sebagai realitas dari sebuah investasi politik.

Berlari menghindari kepungan kekuasaan sebagai bentuk imbal jasa dari sebuah investasi politik dan ekonomi hanya akan dianggap sebuah pengingkaran yang mengabaikan jasa-jasa orang yang telah diterima. Nalar kemanusiaan kita akan selalu berkata secara jujur bahwa kita akan memberikan prioritas bagi siapa pun yang telah memberikan andil dan jasa untuk membuat kita seperti hari ini.

Kata Mang Udin, tetangga di kampung saya, “Kuring mah teu ngamasalahkeun saha waé nu ngajabat, nu penting mah sing jalulur jeung nyaah ka masyarakat, pakulian kudu mayeng, harga béas tong mahal teuing. Lamun mamangkatan ongkos tong nérékél waé.

Apanan ieu mah musingkeun, keur basa BBM naék ongkos ojég nuturkeun naék (Saya tidak mempermasalahkan siapa yang menjabat, yang penting jujur dan sayang pada masyarakat, ada pekerjaan tetap, harga beras tidak terlalu mahal, kalau bepergian ongkos jangan naik melulu. ini kan malah memusingkan, saat BBMnaikongkosojekikutnaik).

GiliranBBM turun, tukang ojek tetap saja tidak mau menurunkan. Kalau kira-kira bakal diturunkan lagi, nanti enggak usah dinaikkan. Karena ada istilah sawan kuya, kalau naiknya tidak jadi sampai atas, nanti turunnya juga tidak berani sampai ke tanah. Akhirnya diam di tengah-tengah, jadi nyusahkeun saréréa (jadi bikin susah semua orang).” Lain lagi dengan cerita Ma Icih. Dalam kurun waktu 100 hari ini hari-harinya dilanda kebahagiaan.

Entah kenapa dia kini senang bersolek ketika memasuki awal bulan. Gairah hidupnya seperti membara, padahal dulu Ma Icih selalu melamun karena ditinggalkan oleh Bah Jumanta, kekasih sejatinya. Kebahagiaan Ma Icih tersebut ternyata bukan karena gelora cinta yang ada dalam dirinya, melainkan tumbuhnya harapan baru karena dalam setiap bulan Ma Icih kini menjadi seorang janda pensiunan, berhak mendapat jatah Kartu Keluarga Sejahtera sebesar Rp200.000 yang diambil di Kantor Pos.

Kegembiraan itu bahkan kini semakin bertambah karena Ma Icih mendapat kabar akan menjadi anak asuhnya Pak Kades yang berhak mendapat tambahan biaya hidup sebesar Rp200.000 lagi per bulan karena gaji Pak Kades kini meningkat sebagai dampak dari bertambahnya Anggaran Desa. Betapa bahagianya Ma Icih di perjalanan 100 hari ini sehingga Ma Icih lirih berkata seperti anak muda yang dimabuk cinta, “100 hari ku merasa bahagia... Berapa lagi yang akan kuterima?”

DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0523 seconds (0.1#10.140)