Integritas Aparat
A
A
A
Kata kriminalisasi pejabat negara kian akrab di telinga masyarakat kita. Kriminalisasi diartikan sebagai upaya mengkriminalkan tindakan seseorang yang sebenarnya tidak masuk kategori tindak pidana dengan tujuan tertentu.
Ini berarti ada unsur kesengajaan untuk mengkriminalkan seseorang yang memiliki posisi strategis untuk tujuan menekan, mendiskreditkan atau membunuh karakter yang bersangkutan. Tindakan pidana yang dituduhkan pun sumir, tanpa didukung bukti-bukti dan fakta-fakta yang kuat sehingga akan berpengaruh pada kualitas dakwaan yang akan mudah dipatahkan kuasa hukum, hakim maupun logika masyarakat.
Dalam dunia penegakan hukum, kriminalisasi menjadi wacana yang akan mengurangi marwah lembaga penegak hukum maupun aparatnya. Karena ada penyalahgunaan kewenangan yang diberikan undang-undang untuk tujuan di luar penegakan hukum secara profesional. Ke depan rekrutmen para penyelenggara negara, khususnya yang menjadi pimpinan institusi penegak hukum, baik itu kepolisian, KPK maupun kejaksaan, harus benar-benar menekankan aspek integritas.
Visi misi, rekam jejak, perjalanan karier, dan catatan masa lalu seorang calon penyelenggara negara harus sudah clear di depan. Jangan sampai catatan buruk masa lalu seorang calon penyelenggara dijadikan senjata rahasia yang sewaktu- waktu bisa diledakkan sesuai dengan kebutuhan. Sepanjang calon itu menguntungkan akan didiamkan. Tapi begitu si calon ini mulai mengancam kepentingan, bom waktu itu diledakkan.
Akan terjadi situasi saling sandera yang melelahkan yang tentu akan mengorbankan kepentingan negara yang lebih besar. Karena itu akan sering muncul pertanyaan: kenapa baru sekarang diungkap? Para penyelenggara negara pasti sudah menyiapkan jawaban berlapis untuk menjawab pertanyaan yang menggelitik itu. Kemudian terjadilah perdebatan panjang dari para aparat penegak hukum, praktisi maupun pengamat hukum yang pada intinya pasti ada yang pro dan yang kontra.
Dalil dan argumentasi hukum dari pihak pro sangat meyakinkan. Demikian pula dari pihak yang kontra juga tak kalah dahsyat sehingga rakyat makin bingung, mana yang benar, Polri atau KPK? Mana yang pantas didukung, Polri atau KPK? Save Polri atau saveKPK? Jangankan masyarakat awam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun bingung menentukan mana yang harus diikuti, gerakan #SavePolri atau #SaveKPK atau membuat gerakan sendiri #SaveIndonesia?
Presiden pun tersandera oleh pertarungan ketat dua kutub lembaga penegak hukum yang diametral. Apalagi kedua kutub ini memiliki kekuatan yang kurang lebih sama. Maka semakin bingunglah mau berpihak ke yang mana? Konflik KPK versus Polri bukanlah kali pertama. Tapi sudah kesekian kali suksesi di tubuh Polri tidak mulus alias penuh ganjalan. Anehnya, ketiga kasus gesekan KPK-Polri ini selalu diselesaikan dengan cara-cara ad hoc dengan membentuk tim independen.
Belum terlihat ada usaha serius yang sistematis untuk menata ulang koordinasi dan hubungan Polri dan KPK yang memiliki kewenangan yang sama dalam penegakan hukum. Masyarakat berharap gesekan Polri-KPK yang ketiga kalinya ini adalah yang terakhir. Publik tidak mau mendengar lagi ada ribut-ribut lagi di masa-masa datang.
Keinginan ini tentu saja bukan persoalan yang mudah untuk dipenuhi. KPK, Polri, dan kejaksaan, juga DPR dan pemerintah, harus benar-benardiisidandikelolaolehorang-orangyangmemilikiintegritas tinggi yang menjunjung tinggi etika dan moral yang luhur. Negara kita tidak kekurangan para ahli hukum, politikus andal, birokrat profesional, dan para pakar berbagai bidang.
Tapi begitu mereka masuk ke sistemnegara, profesionalitas mereka luntur karena godaan yang sulit dihindari. Hanya mereka yang menjunjung tinggi integritas yang mampu menjalankan amanah sebagai negarawan sejati.
Ini berarti ada unsur kesengajaan untuk mengkriminalkan seseorang yang memiliki posisi strategis untuk tujuan menekan, mendiskreditkan atau membunuh karakter yang bersangkutan. Tindakan pidana yang dituduhkan pun sumir, tanpa didukung bukti-bukti dan fakta-fakta yang kuat sehingga akan berpengaruh pada kualitas dakwaan yang akan mudah dipatahkan kuasa hukum, hakim maupun logika masyarakat.
Dalam dunia penegakan hukum, kriminalisasi menjadi wacana yang akan mengurangi marwah lembaga penegak hukum maupun aparatnya. Karena ada penyalahgunaan kewenangan yang diberikan undang-undang untuk tujuan di luar penegakan hukum secara profesional. Ke depan rekrutmen para penyelenggara negara, khususnya yang menjadi pimpinan institusi penegak hukum, baik itu kepolisian, KPK maupun kejaksaan, harus benar-benar menekankan aspek integritas.
Visi misi, rekam jejak, perjalanan karier, dan catatan masa lalu seorang calon penyelenggara negara harus sudah clear di depan. Jangan sampai catatan buruk masa lalu seorang calon penyelenggara dijadikan senjata rahasia yang sewaktu- waktu bisa diledakkan sesuai dengan kebutuhan. Sepanjang calon itu menguntungkan akan didiamkan. Tapi begitu si calon ini mulai mengancam kepentingan, bom waktu itu diledakkan.
Akan terjadi situasi saling sandera yang melelahkan yang tentu akan mengorbankan kepentingan negara yang lebih besar. Karena itu akan sering muncul pertanyaan: kenapa baru sekarang diungkap? Para penyelenggara negara pasti sudah menyiapkan jawaban berlapis untuk menjawab pertanyaan yang menggelitik itu. Kemudian terjadilah perdebatan panjang dari para aparat penegak hukum, praktisi maupun pengamat hukum yang pada intinya pasti ada yang pro dan yang kontra.
Dalil dan argumentasi hukum dari pihak pro sangat meyakinkan. Demikian pula dari pihak yang kontra juga tak kalah dahsyat sehingga rakyat makin bingung, mana yang benar, Polri atau KPK? Mana yang pantas didukung, Polri atau KPK? Save Polri atau saveKPK? Jangankan masyarakat awam, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun bingung menentukan mana yang harus diikuti, gerakan #SavePolri atau #SaveKPK atau membuat gerakan sendiri #SaveIndonesia?
Presiden pun tersandera oleh pertarungan ketat dua kutub lembaga penegak hukum yang diametral. Apalagi kedua kutub ini memiliki kekuatan yang kurang lebih sama. Maka semakin bingunglah mau berpihak ke yang mana? Konflik KPK versus Polri bukanlah kali pertama. Tapi sudah kesekian kali suksesi di tubuh Polri tidak mulus alias penuh ganjalan. Anehnya, ketiga kasus gesekan KPK-Polri ini selalu diselesaikan dengan cara-cara ad hoc dengan membentuk tim independen.
Belum terlihat ada usaha serius yang sistematis untuk menata ulang koordinasi dan hubungan Polri dan KPK yang memiliki kewenangan yang sama dalam penegakan hukum. Masyarakat berharap gesekan Polri-KPK yang ketiga kalinya ini adalah yang terakhir. Publik tidak mau mendengar lagi ada ribut-ribut lagi di masa-masa datang.
Keinginan ini tentu saja bukan persoalan yang mudah untuk dipenuhi. KPK, Polri, dan kejaksaan, juga DPR dan pemerintah, harus benar-benardiisidandikelolaolehorang-orangyangmemilikiintegritas tinggi yang menjunjung tinggi etika dan moral yang luhur. Negara kita tidak kekurangan para ahli hukum, politikus andal, birokrat profesional, dan para pakar berbagai bidang.
Tapi begitu mereka masuk ke sistemnegara, profesionalitas mereka luntur karena godaan yang sulit dihindari. Hanya mereka yang menjunjung tinggi integritas yang mampu menjalankan amanah sebagai negarawan sejati.
(ars)