Bola Membara di Tangan Jokowi

Jum'at, 30 Januari 2015 - 09:37 WIB
Bola Membara di Tangan...
Bola Membara di Tangan Jokowi
A A A
Seratus hari pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditandai dengan turbulensi politik mengenai pemilihan calon kapolri.

Sebagai pemegang kursi kekuasaan, Jokowi ikut tersedot dalam pusaran konflik. Sejauh mana dia bisa menyelesaikan persoalan yang membelitnya, hal itu akan menjadi tolok ukur Jokowi sebagai seorang pemimpin. Jika gagal, kredibilitasnya menjadi taruhan dan residu yang akan muncul bakal membelenggu harihari pemerintahannya ke depan.

Sejauh ini, semenjak secara resmi mencalonkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutarman (12/1) dan kemudian diikuti konflik “cicak versus buaya” jilid III, Jokowi belum menampakkan solusi seperti apa yang akan diambil. Langkahnya membentuk Tim 9 dan menemui pesaingnya dalam Pilpres 2014, Prabowo Subianto, justru membuat turbulensi kian kencang dan bahkan menyambar dan meretakkan soliditas kekuatan rezim gotong royong ini.

Sebagai presiden, mantan Wali Kota Solo itu harus diakui belum menunjukkan posisi sesungguhnya sebagai seorang decision maker. Kesan yang muncul adalah kecenderungannya melempar bola panas ke orang lain. Hal itu tampak ketika dia memberikan satu pilihan sulit dengan mengusung calon tunggal kapolri kontroversial kepada DPR dan kemudian melemparkan lagi kepada Tim 9.

Turbulensi yang terjadi juga membuka persepsi yang pernah muncul selama episode pro-kontra kampanye pilpres bahwa Jokowi tidak akan lebih dari seorang petugas partai. Posisinya sebagai presiden hanya sebatas simbol, sementara power sebagai esensi dari kekuasaan politik berada di tangan kekuatan aktor-aktor politik yang punya andil mengantarkannya sebagai presiden.

Pengakuan status ini secara tidak langsung muncul saat Tim 9 menyimpulkan Jokowi dalam tekanan politik parpol. Persepsi sementara yang muncul pada 100 hari pertama kepemimpinannya pada akhirnya bermuara pada pertanyaan tentang kapasitas Jokowi sebagai seorang presiden. Keraguan muncul bahwa pengalaman yang belum tuntas sebagai wali kota Solo dan gubernur DKI belum cukup sebagai bekal memimpin negeri seluas dan sekompleks ini.

Keraguan juga muncul atas kewibawaannya untuk bertarung dengan pemain politik di level nasional. Hingga kemudian yang terlihat kebingungan dan ketidakjelasan Jokowi dalam menentukan langkahnya. Sikap seperti apa yang harus diambil Jokowi memang tidak mudah. Rekomendasi Tim 9 seperti melemparkan kembali bola membara– bukan sekedar bola panas–ke tangan Jokowi karena menghadapkannya pada pilihan yang sama-sama sulit.

Jika Jokowi mengikuti rekomendasi dengan tidak melantik Budi Gunawan, itu sama halnya akan membenturkan Jokowi dengan kekuatan internal pendukung, dalam hal ini Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla yang disebut-sebut berkepentingan dengan posisi kapolri. Secara tidak langsung hal tersebut memaksa Jokowi menggoreskan luka kepada Polri karena keberpihakannya pada manuver KPK.

Sebaliknya, jika tetap melantik Budi Gunawan, Jokowi akan membenturkan dirinya dengan kelompok LSM yang selama ini memberikan dukungan kepadanya dan floating mass yang berharap setinggi langit akan adanya gaya kepemimpinan baru. Jokowi akan dicap mengingkari janji pemberantasan korupsi dan diposisikan sebagai pihak yang berseberangan dengan aliansi pendukung SaveKPK.

Namun sesulit apa pun pilihan yang harus diambil, Jokowi adalah presiden. Jokowi harus menunjukkan seperti apa yang disampaikan Carl Gustav Jung, psikolog asal Swiss, bahwa the true leader is always led.

Keputusan apa pun yang bakal diambil haruslah muncul dari kesadarannya sebagai seorang pemimpin yang memahami persoalan dan mempunyai kewibawaan. Yang pasti, pilar pendukung Jokowi—parpol Koalisi Indonesia Hebat (KIH), LSM, media massa, dan pengusaha—mustahil utuh lagi.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0740 seconds (0.1#10.140)