Memudarnya Pesona Bintang
A
A
A
DR Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Pemerintahan Jokowi-JK sudah berjalan 100 hari. Ibarat pesawat, fase take off kerap membuat para penumpangnya waswas.
Keselamatan, kenyamanan, dan sampai tidaknya ke tujuan sangat ditentukan oleh peran dan tanggung jawab pilot bersama seluruh awak kabinnya. Pun demikian dengan bangsa besar bernama Indonesia yang kini dipimpin oleh Jokowi, rising star yang dimandati kekuasaan hingga lima tahun mendatang. Seratus hari bukanlah indikator yang pas untuk menyimpulkan sukses tidaknya pemerintahan.
Tetapi fase awal ini sangat krusial untuk menandai orientasi kekuasaan Jokowi. Percayakah publik akan kepiawaian Jokowi dalam mengelola tekanan? Tentu ini ujian awal yang bisa diberi nilai oleh khalayak guna menguatkan dukungan atau menjadi awal memudarnya pesona sang bintang.
Nalar Kritis
Hal menarik untuk diperhatikan dalam 100 hari Jokowi memerintah adalah arus balik media massa; dan media sosial menjadi kanal saluran kritik terhadap penguasa. Cukup lama Jokowi menjadi media darling. Sejak menjadi wali kota Solo sosoknya impresif menghiasi bingkai berita positif media.
Semakin kinclong dan kian memesona di pasar pemilih saat Jokowi mendapatkan panggung istimewa di Pilkada DKI 2012. Inilah lompatan karier politik Jokowi yang signifikan, karena dari Jakartalah sosok Jokowi memancar terang lewat beragam media yang mengidolakannya. Jokowi pun benarbenar menjadi Indonesian Idol saat memenangi kontes lima tahunan dan melenggang menuju kursi RI-1 dengan liputan media yang gegap gempita.
Banyak media yang larut dalam euforia pemilu, dan larut pula dalam arus besar dukungan kepada kedua kontestan, termasuk gegap gempitanya dukungan pada sosok Jokowi. Jokowi, yang tampak populis, memang memudahkan aspek resonansi media, wajar jika konstruksi realitas media turut menghadirkan kebintangan Jokowi di semua l a p i s a n masyarakat.
K i n i , setelah 100 hari, media massa mulai banyak yang memosisikan diri dalam fungsi sejatinya, yakni sebagai kekuatan kontrol sosial. Jagat politik yang keruh dan kisruh akibat konflik KPK vs Polri menjadi contoh nyata kebutuhan kita akan institusi media yang mampu mengabarkan, bukan mengaburkan. Media dengan spirit jurnalisme, bukan media propagandis.
Risiko Jokowi sebagai penguasa memang akan diingatkan banyak orang. Wujud kepedulian rakyat kepada pemimpinnya adalah melalui kritik dan masukan, agar penerima mandat tak tersesat di labirin kekuasaan. Di banyak sejarah kekuasaan, banyak pemimpin gagal karena kerap berkeinginan menyenangkan semua orang.
Banyak yang memprediksi bulan madu Jokowi dengan rakyatakanberjalancukuplama, tetapi realitas politik menghadirkan turbulensi lebih dini. Faktor yang membuat pesona bintang Jokowi mulai memudar di 100 hari pertamanya adalah kualitas proses pengisian jabatan. Kasatmata terbaca publik, betapa derasnya tekanan, terutama dari mereka yang merasa menjadi “investor” atau “pemegang saham”, di kekuasaan.
Saat Jokowi menawarkan konsep koalisi tanpa syarat di masa kampanye, hal ini menjadi oase di tengah kegersangan politik pragmatis dan memicu dukungan meski sebagian kelompok kritis skeptis atas niat Jokowi tersebut. Publik menuntut diterapkannya sistem meritokrasi dalam pengisian jabatan-jabatan publik sehingga pemerintahan Jokowi tak tersandera oleh sejumlah orang bermasalah.
Publik merespons positif saat Jokowi meminta masukan KPK dan PPATK dalam pengisian pos-pos kementrian, meskipun sesungguhnya hal tersebut hak prerogatif presiden. Sayangnya, hal yang sama tak dilakukan Jokowi saat pemilihan Jaksa Agung dan mengalami antiklimaks waktu mengusulkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon kepala Polri tunggal.
Guliran isu seputar pengisian jabatan ini memantik ketidakpuasan pada peran Jokowi yang sesungguhnya telah dipercaya mengemban amanah kekuasaan. Publik yang menyalurkan nalar kritisnya lewat media mulai “menggugat” kemampuan dan daya tahan Presiden sebagai pemimpin sejati (the real leader) sekaligus pengambil risiko (risk taker).
Tak dinafikan, salah satu kekhawatiran publik pada sosok Jokowi saat kampanye a d a l a h k e s u n g - guhannya keluar dari bayang - bayang Megawati dan juga elite parpol yang menjadi pengusung Jokowi-JK saat pilpres. Karenanya, hal yang mestinya diperlihatkan Jokowi di awal kekuasaannya adalah pembuktian nyata bahwa dirinya tak tersubordinasi siapa pun dan pihak mana pun.
Media pun sangat tajam mengkritik blunder sejumlah orangdilingkaranJokowi. Misalnya yang terhangat adalah pernyataan Menko Pulhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang menyangsikan kelompok-kelompok yang mendukung KPK. Orang-orang kunci di sekitar Jokowi harusnya piawai menjadi pengurai masalah (problem solver) di tengah ketegangan-ketegangan yang mengemuka.
Peran Media
Masih ada waktu bagi Jokowi untukberbenah dan mendengarkan suara rakyat, salah satunya yang tergambar di media massa. Jalan terjal dan bising ini harus dikawal lewat fungsionalisasi media sebagai ruang publik demokratis. James Curran dalam The Liberal Theory of Press Freedom (1991), menyebutkanpalingtidak ada enam fungsi yang dapat diperankan oleh jurnalis dalam upayapengembangandemokrasi.
Pertama, media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian, media menjadi ruang publik demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang mengemuka di masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar berlebihan. Kedua, media dapat mengartikulasikan pendapat umum.
Dalam konteks ini, ada upaya menyistematisasikan berbagai keinginan dan tuntutan yang berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu penyikapan yang jelas dan terarah. Ketiga, media memaksa pemerintah Jokowi mempertimbangkan apa-apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh rakyat. Keempat, media bisa mendidik warga negara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan.
Ini artinya, media harus turut serta dalam upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warga negara. Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda- beda.
Keenam , media dapat membantu individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Beragam kritik yang difasilitasi media massa dan juga media sosial di 100 hari pertama Jokowi bisa jadi mulai memudarkan pesona kebintangannya.
Tetapi, harusnya hal ini dimaknai positif, yakni Jokowi harus bangkit dan menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu merawat harapan publik. Jokowi kini mengayuh di tengah banyak tekanan dan punya kewajiban untuk membuktikan pada sejarah republik ini, layakkah dia mendapat bintang
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Pemerintahan Jokowi-JK sudah berjalan 100 hari. Ibarat pesawat, fase take off kerap membuat para penumpangnya waswas.
Keselamatan, kenyamanan, dan sampai tidaknya ke tujuan sangat ditentukan oleh peran dan tanggung jawab pilot bersama seluruh awak kabinnya. Pun demikian dengan bangsa besar bernama Indonesia yang kini dipimpin oleh Jokowi, rising star yang dimandati kekuasaan hingga lima tahun mendatang. Seratus hari bukanlah indikator yang pas untuk menyimpulkan sukses tidaknya pemerintahan.
Tetapi fase awal ini sangat krusial untuk menandai orientasi kekuasaan Jokowi. Percayakah publik akan kepiawaian Jokowi dalam mengelola tekanan? Tentu ini ujian awal yang bisa diberi nilai oleh khalayak guna menguatkan dukungan atau menjadi awal memudarnya pesona sang bintang.
Nalar Kritis
Hal menarik untuk diperhatikan dalam 100 hari Jokowi memerintah adalah arus balik media massa; dan media sosial menjadi kanal saluran kritik terhadap penguasa. Cukup lama Jokowi menjadi media darling. Sejak menjadi wali kota Solo sosoknya impresif menghiasi bingkai berita positif media.
Semakin kinclong dan kian memesona di pasar pemilih saat Jokowi mendapatkan panggung istimewa di Pilkada DKI 2012. Inilah lompatan karier politik Jokowi yang signifikan, karena dari Jakartalah sosok Jokowi memancar terang lewat beragam media yang mengidolakannya. Jokowi pun benarbenar menjadi Indonesian Idol saat memenangi kontes lima tahunan dan melenggang menuju kursi RI-1 dengan liputan media yang gegap gempita.
Banyak media yang larut dalam euforia pemilu, dan larut pula dalam arus besar dukungan kepada kedua kontestan, termasuk gegap gempitanya dukungan pada sosok Jokowi. Jokowi, yang tampak populis, memang memudahkan aspek resonansi media, wajar jika konstruksi realitas media turut menghadirkan kebintangan Jokowi di semua l a p i s a n masyarakat.
K i n i , setelah 100 hari, media massa mulai banyak yang memosisikan diri dalam fungsi sejatinya, yakni sebagai kekuatan kontrol sosial. Jagat politik yang keruh dan kisruh akibat konflik KPK vs Polri menjadi contoh nyata kebutuhan kita akan institusi media yang mampu mengabarkan, bukan mengaburkan. Media dengan spirit jurnalisme, bukan media propagandis.
Risiko Jokowi sebagai penguasa memang akan diingatkan banyak orang. Wujud kepedulian rakyat kepada pemimpinnya adalah melalui kritik dan masukan, agar penerima mandat tak tersesat di labirin kekuasaan. Di banyak sejarah kekuasaan, banyak pemimpin gagal karena kerap berkeinginan menyenangkan semua orang.
Banyak yang memprediksi bulan madu Jokowi dengan rakyatakanberjalancukuplama, tetapi realitas politik menghadirkan turbulensi lebih dini. Faktor yang membuat pesona bintang Jokowi mulai memudar di 100 hari pertamanya adalah kualitas proses pengisian jabatan. Kasatmata terbaca publik, betapa derasnya tekanan, terutama dari mereka yang merasa menjadi “investor” atau “pemegang saham”, di kekuasaan.
Saat Jokowi menawarkan konsep koalisi tanpa syarat di masa kampanye, hal ini menjadi oase di tengah kegersangan politik pragmatis dan memicu dukungan meski sebagian kelompok kritis skeptis atas niat Jokowi tersebut. Publik menuntut diterapkannya sistem meritokrasi dalam pengisian jabatan-jabatan publik sehingga pemerintahan Jokowi tak tersandera oleh sejumlah orang bermasalah.
Publik merespons positif saat Jokowi meminta masukan KPK dan PPATK dalam pengisian pos-pos kementrian, meskipun sesungguhnya hal tersebut hak prerogatif presiden. Sayangnya, hal yang sama tak dilakukan Jokowi saat pemilihan Jaksa Agung dan mengalami antiklimaks waktu mengusulkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai calon kepala Polri tunggal.
Guliran isu seputar pengisian jabatan ini memantik ketidakpuasan pada peran Jokowi yang sesungguhnya telah dipercaya mengemban amanah kekuasaan. Publik yang menyalurkan nalar kritisnya lewat media mulai “menggugat” kemampuan dan daya tahan Presiden sebagai pemimpin sejati (the real leader) sekaligus pengambil risiko (risk taker).
Tak dinafikan, salah satu kekhawatiran publik pada sosok Jokowi saat kampanye a d a l a h k e s u n g - guhannya keluar dari bayang - bayang Megawati dan juga elite parpol yang menjadi pengusung Jokowi-JK saat pilpres. Karenanya, hal yang mestinya diperlihatkan Jokowi di awal kekuasaannya adalah pembuktian nyata bahwa dirinya tak tersubordinasi siapa pun dan pihak mana pun.
Media pun sangat tajam mengkritik blunder sejumlah orangdilingkaranJokowi. Misalnya yang terhangat adalah pernyataan Menko Pulhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang menyangsikan kelompok-kelompok yang mendukung KPK. Orang-orang kunci di sekitar Jokowi harusnya piawai menjadi pengurai masalah (problem solver) di tengah ketegangan-ketegangan yang mengemuka.
Peran Media
Masih ada waktu bagi Jokowi untukberbenah dan mendengarkan suara rakyat, salah satunya yang tergambar di media massa. Jalan terjal dan bising ini harus dikawal lewat fungsionalisasi media sebagai ruang publik demokratis. James Curran dalam The Liberal Theory of Press Freedom (1991), menyebutkanpalingtidak ada enam fungsi yang dapat diperankan oleh jurnalis dalam upayapengembangandemokrasi.
Pertama, media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian, media menjadi ruang publik demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang mengemuka di masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar berlebihan. Kedua, media dapat mengartikulasikan pendapat umum.
Dalam konteks ini, ada upaya menyistematisasikan berbagai keinginan dan tuntutan yang berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu penyikapan yang jelas dan terarah. Ketiga, media memaksa pemerintah Jokowi mempertimbangkan apa-apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh rakyat. Keempat, media bisa mendidik warga negara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan.
Ini artinya, media harus turut serta dalam upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warga negara. Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda- beda.
Keenam , media dapat membantu individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Beragam kritik yang difasilitasi media massa dan juga media sosial di 100 hari pertama Jokowi bisa jadi mulai memudarkan pesona kebintangannya.
Tetapi, harusnya hal ini dimaknai positif, yakni Jokowi harus bangkit dan menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu merawat harapan publik. Jokowi kini mengayuh di tengah banyak tekanan dan punya kewajiban untuk membuktikan pada sejarah republik ini, layakkah dia mendapat bintang
(ars)