Perppu Pilkada Sah Jadi UU, Ini Kata Jimly Asshidiqie

Selasa, 20 Januari 2015 - 19:51 WIB
Perppu Pilkada Sah Jadi...
Perppu Pilkada Sah Jadi UU, Ini Kata Jimly Asshidiqie
A A A
JAKARTA - Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan pakar hukum tata negara mengenai Perppu Pilkada yang baru saja disahkan menjadi undang-undang (UU), salah satunya bersama Jimly Asshidiqie.

Jimly mengaku pertemuan itu diadakan karena Komisi II ingin menghimpun masukan-masukan tentang materi yang akan diadakan perbaikan dari peraturan itu. Dirinya mengakui banyak yang bisa mengganggu pelaksanaan pilkada dari adanya peraturan tersebut apabila tidak dilakukan perbaikan.

"Termasuk soal jadwalnya, tahapan yang sangat tidak efisien, ini kontra produktif untuk efisien," ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (20/1/2015).

Persoalan teknis lain yang perlu mengalami perubahan, kata dia, mengenai uji publik. Ia berpendapat, uji publik calon kepala daerah tidak perlu terlalu lama dilakukan.

"Uji publik yang sampai lima bulan kan bisa satu bulan saja. Itu hal-hal yang bisa diperbaiki menyangkut teknis," terangnya.

Lanjut Jimly, materi yang perlu mendapatkan penjelasan di dalam Perppu ialah mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengembalikan kewenangan perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi tugas mereka.

"Ini sangat serius berkaitan dengan hakikat pilkada itu sebagai pemilihan umum atau bukan. Kalau dia pemilihan umum, maka penyelenggaranya adalah KPU dan perselisihan hasilnya di MK."

"Tapi, kalau dia didefinisikan sebagai bukan pemilu, benar perselisihan hasilnya bukan lagi di MK. Tapi yang jadi masalah penyelenggaranya bukan lagi KPU, karena UUD sudah mendesain penyelenggara pemilu itu KPU, inilah yang tidak konsisten di Perppu," terangnya.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini pun menyarankan agar putusan MK mengenai hal ini dibaca kembali dengan keputusan MK tahun 2005 yang menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah itu ditentukan sebagai pemilihan umum atau bukan.

"Dibuka sebagai kebebasan pembentuk undang-undang dalam hal ini pemerintah bersama DPR. Yang penting konsistensi dan konsekuensi dari pilihan. Kalau dikatakan bukan pemilu penyelenggaranya juga tidak boleh KPU, tapi kalau pemilu, maka KPU menyelenggarakan, perselisihan hasilnya tetap harus MK."

"Pembentuk undang-undang punya kewenangan untuk mengatur hal itu dan MK tidak boleh menolak karena undang-undang hanya mengatur mengenai pelaksaan perselisihan hasil pemilukada," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0987 seconds (0.1#10.140)