Urgensi Eksekusi Mati Terpidana Narkoba

Jum'at, 16 Januari 2015 - 10:29 WIB
Urgensi Eksekusi Mati Terpidana Narkoba
Urgensi Eksekusi Mati Terpidana Narkoba
A A A
Enam terpidana mati menghitung hari menikmati udara di dunia yang fana ini. Hal ini setelah Jaksa Agung HM Prasetyo mengumumkan akan mengeksekusi terpidana kasus narkoba tersebut secara serentak pada 18 Januari 2015 di Pulau Nusakambangan, Cilacap dan Boyolali, Jawa Tengah.

Eksekusi mati dilaksanakan setelah permohonan grasi keenam terpidana mati itu ditolak pada 30 Desember 2014. Bersama mereka, Presiden Joko Widodo juga menolak permohonan grasi 58 terpidana narkoba lainnya. Nasib mereka pun sama. Hanya, masalah mengantre kapan harus berdiri di hadapan regu tembak.

Keputusan pemerintah tetap menjalankan eksekusi mati patut diapresiasi, sebab tidak mudah mengambil sikap hukum menyangkut hak hidup manusia. Belum lagi harus menghadapi prokontra dengan beribu argumen hukum yang sama kuatnya. Sebagian besar kalangan LSM, termasuk Komnas HAM, secara tegas mengatakan tidak sepakat dengan hukuman mati.

Komnas HAM, misalnya, menyebut sejumlah argumentasi seperti adanya seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebut hukuman mati bertentangan dengan hak hidup manusia, kewenangan mencabut nyawa hak Tuhan bukan negara, dan hukuman mati menutup peluang terpidana memperbaiki kesalahannya. Namun, berbagai argumen kelompok HAM dimentahkan kalangan agamawan.

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah secara tegas mendukung hukuman mati. Pimpinan NU mendukung dengan alasan sesuai UUD 1945 dan keyakinan orang yang berbuat rusak di muka bumi harus dibunuh. Namun dengan catatan, hukuman mati diberlakukan hanya untuk pengedar dan bandar. Adapun pimpinan Muhammadiyah berdasarkan pertimbangan dampak narkoba terhadap generasi muda.

Perdebatan urgensi pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana narkoba di Tanah Air tentu harus berdasar dan berkesesuaian dengan kondisi faktual. Dalam hal berangkat dari pertanyaan, sejauh mana ancaman bahaya narkoba di negeri sehingga hukuman mati patut dilakukan? Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, rata-rata per hari korban tewas akibat narkoba di Tanah Air mencapai 50 orang per hari.

Di level global, berdasarkan World Drug Report 2013 yang dirilis Organisasi Dunia Penanganan Narkoba dan Kriminal (UNODC), korban narkoba mencapai 200 juta orang per tahun. Sebagian besar korban meninggal, termasuk pengguna, adalah mereka yang berusia produktif. Selain mengakibatkan korban jiwa, narkoba juga menimbulkan kerugian ekonomi.

BNN pada 2014 lalu menyebut kerugian yang dialami negara di kawasan ASEAN mencapai Rp100 triliun, dan hampir separuhnya—Rp48 triliun—dialami Indonesia. Kerugian terjadi karena pembelian narkoba, biaya terapi, rehabilitasi, produktivitas yang hilang, kematian, dan tindakan kriminal. Padahal, uang sebesar itu bisa sangat bermanfaat, seperti untuk pendidikan.

Besarnya korban jiwa dan kerugian di sisi lain adalah kemenangan para pengedar dan bandar narkoba. Pasalnya, semakin besar korban adalah semakin besar orang yang mengalami kebergantungan dan keuntungan pun melimpah.

Data ini sekaligus menunjukkan, Indonesia adalah lahan subur bagi peredaran narkoba. Para pengedar dan bandar narkoba—termasuk mafia internasional, menjadikan Indonesia sasaran utama bisnis haram tersebut. Berbagai penangkapan terhadap jaringan narkoba Iran, Afrika, China, Vietnam, Australia, Belanda, dan lainnya tidak pernah membuat mereka jera, tapi malah kian menggila.

Terakhir, BNN membongkar penyelundupan narkoba terbesar di ASEAN, yakni 800 kg sabu-sabu dengan tersangka Wong Chi Ping, penjahat kelas kakap dikejar oleh tujuh negara. Berdasarkan pemahaman ini, tidak dapat dimungkiri Indonesia sudah darurat narkoba.

Hukuman mati dan eksekusi mati adalah perlawanan sepadan terhadap mereka yang tertawa dan mengeruk keuntungan dari penderitaan korban narkoba dan kehancuran bangsa.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4304 seconds (0.1#10.140)