Kasus BG Versus KPK
A
A
A
Romli Atmasasmita
Pengamat Kebijakan Publik (LPIKP), Guru Besar Ilmu Hukum
Bukanlah KPK jika tidak membuat kejutan-kejutan sejak kasus LHI sampai dengan kasus BG Kalemdiklat Mabes Polri yang terjadi pada tanggal 13 Januari 2015.
Kronologis peristiwa penetapan tersangka atas nama BG dimulai dari laporan transaksi mencurigakan (TKM) dari masyarakat, KPK menepis memperoleh LHA dari PPATK; sekitar bulan Juni sd agustus 2010.
Pada Juli 2013 KPK ekspose berbekal laporan pengaduan masyarakat (lap dumas) dan menelisik LHKPN BG. Juli 2014 KPK melakukan penyelidikan (lidik) terhadap BG dan hasil penyelidikan selama enam bulan telah ada lebih dari dua alat bukti TKM ketika BG menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri terhitung sejak Tahun 2004 sd 2006. (Kompas. com, 13/1).
Tanggal 12 Januari 2015 dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprintdik) atas nama BG sebagai tersangka. Fakta yang disampaikan KPK kepada publik menyimpulkan lima hal yaitu: (1) dasar penyelidikan KPK terhadap BG adalah lap. dumas dikuatkan dengan LHKPN yang telah menunjukkan perolehan harta kekayaan BG yang fantastis (tidak sertamerta mengandung unsur pidana).
(2) penetapan tersangka atas nama BG berdasarkan lebih dari dua alat bukti yang cukup tetapi dalam hal gratifikasi dan suap tidak mudah peroleh alat bukti dimaksud dalam waktu relatif singkat enam bulan. (3) status BG sebagai tersangka ketika menjabat kepala biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri.
(4) KPK tidak melakukan tugas koordinasi dan supervisi (Pasal 6 a UU KPK) jo Pasal 8 UU KPK untuk mengambil alih kasus BG dari Mabes Polri apalagi Tim Mabes Polri telah memeriksa rekening BG dan telah diumumkan tidak ada unsur pidana. (5) momentum pengumuman penetapan tersangka atas nama BG terjadi dua hari setelah BG diajukan Presiden sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR RI untuk memperoleh persetujuan.
*** Kelima fakta tersebut perlu dikaji lebih jauh dari aspek yuridis dan sosiologis. Dugaan KPK terhadap BG adalah pelanggaran pasal-pasal 12 a atau 12 b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 dan Pasal 12B UU Tipikor 1999/2001.
Keempat pasal tersebut terkait perbuatan suap dalam jabatan seorang penyelenggara negara atau lazim dikenal sebagai delik jabatan. Dari aspek yuridis, kasus ini merujuk pada dugaan suap yang telah dilakukan BG selaku kepala biro. Pertanyaan pertama, apakah secara yuridis, jabatan BG ketika itu termasuk penyelenggara negara sebagaimana dimaksudkan dalam UU Tipikor dan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN?
Merujuk pada kedua UU tersebut, BG adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memiliki atasan langsung. Pertanyaan kedua, apakah KPK telah meyakini dan memiliki bukti pihak pemberi suap/ gratifikasi yang seharusnya diumumkan juga kepada publik sebagai tersangka. KPK bersikukuh menyatakan telah diperoleh lebih dari dua alat bukti bahwa harta kekayaan BG berasal dari gratifikasi dan suap.
Pembuktian atas dugaan ini akan diuraikan dalam surat dakwaan dan proses pembuktian di sidang pengadilan. Dari aspek yuridis, yang penting dan patut diketahui adalah, bahwa keempat ketentuan tersebut termasuk delik jabatan dan perbedaan antara gratifikasi dan suap sangat tipis yaitu, pembuktian gratifikasi lebih dari nilai Rp10.000.000, dibebankan pada terdakwa; sedangkan pembuktian perbuatan suap dibebankan pada penuntut.
Jika secara teliti dikaji unsur-unsur yang harus dipenuhi di dalam kedua tindak pidana tersebut, adalah tidak berbeda signifikan.
Lihat saja kalimat, “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” (Pasal 12B), dan kalimat, “berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya” (Pasal 5 ayat 2), dan “karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatanya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”(Pasal 11); “untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatanna yang bertentangan dengan kewajibannya”( Pasal 12 a) idem Pasal 12 b.
Selain itu terdapat fakta bahwa kasus rekening atas nama BG telah disampaikan PPATK kepada Polri dan Polri telah membentuk tim gabungan (divisi hukum, Propam dan Inspektur Pengawasan) dengan hasil dinyatakan tidak ada unsur pidana dalam harta kekayaan yang dilaporkan PPATK kepada Polri.
Bahkan Kapolri Bambang Hendarso Danuri ketika itu telah menyampaikan hal ini di hadapan DPR RI. Dalam peristiwa tersebut, terdapat “missing link“ koordinasi dan supervisi KPK terhadap Polri dalam menangani peristiwa terkait rekening BG.
*** Dari aspek sosiologis, masyarakat luas berharap penuntasan peristiwa “rekening gendut” sejak tahun 2010 oleh KPK namun tuntutan tersebut tidak dilaksanakan institusi tersebut. Baru pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 melaksanakan penyelidikan dan pada tanggal 12 Januari 2015 menetapkan BG sebagai tersangka.
Pertanyaan publik, mengapa untuk menetapkan BG, KPK harus menunggu waktu kurang lebih empat tahun? Untuk pembuktian suap/ gratifikasi harus diperlukan bukti atau ditemukan siapa pemberi dan penerima suap/ gratifikasi karena baik penerima mapun pemberi suap adalah merupakan pelaku (dader) eks Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) atau Pasal 12 B UU Tipikor 1999/ 2001.
Yang menarik perhatian khusus adalah KPK telah melanggar ketentuan Pasal 6 huruf a UU KPK yaitu tugas koordinasi dan supervisi terhadap hasil temuan Tim Gabungan Mabes Polri dalam menindaklanjuti LHA PPATK yang disampaikan kepada Polri.
Solusi yang diusulkan sesuai dengan asas-asas kepemimpinan KPK antara lain akuntabilitas, integritas dan profesionalisme (Pasal 5 UU KPK) maka perlu ada gelar perkara bersama KPK dan Barreskrim Polri bersamasama mendalami kasus BG. Atau alternatif lain, Presiden merujuk pada kasus BC (cicak v buaya) dapat membentuk tim pencari fakta atas keterlibatan BG dalam perbuatan suap/gratifikasi yang bersifat independen karena BG telah diajukan sebagai calon kapolri oleh Presiden.
Solusi ini untuk bersama-sama memelihara dan menjaga martabat sesama lembaga negara terutama lembaga kepresidenan dan DPR RI termasuk KPK dan Polri di hadapan masyarakat dalam dan luar negeri.
Pengamat Kebijakan Publik (LPIKP), Guru Besar Ilmu Hukum
Bukanlah KPK jika tidak membuat kejutan-kejutan sejak kasus LHI sampai dengan kasus BG Kalemdiklat Mabes Polri yang terjadi pada tanggal 13 Januari 2015.
Kronologis peristiwa penetapan tersangka atas nama BG dimulai dari laporan transaksi mencurigakan (TKM) dari masyarakat, KPK menepis memperoleh LHA dari PPATK; sekitar bulan Juni sd agustus 2010.
Pada Juli 2013 KPK ekspose berbekal laporan pengaduan masyarakat (lap dumas) dan menelisik LHKPN BG. Juli 2014 KPK melakukan penyelidikan (lidik) terhadap BG dan hasil penyelidikan selama enam bulan telah ada lebih dari dua alat bukti TKM ketika BG menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri terhitung sejak Tahun 2004 sd 2006. (Kompas. com, 13/1).
Tanggal 12 Januari 2015 dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprintdik) atas nama BG sebagai tersangka. Fakta yang disampaikan KPK kepada publik menyimpulkan lima hal yaitu: (1) dasar penyelidikan KPK terhadap BG adalah lap. dumas dikuatkan dengan LHKPN yang telah menunjukkan perolehan harta kekayaan BG yang fantastis (tidak sertamerta mengandung unsur pidana).
(2) penetapan tersangka atas nama BG berdasarkan lebih dari dua alat bukti yang cukup tetapi dalam hal gratifikasi dan suap tidak mudah peroleh alat bukti dimaksud dalam waktu relatif singkat enam bulan. (3) status BG sebagai tersangka ketika menjabat kepala biro Pembinaan Karir PSDM Mabes Polri.
(4) KPK tidak melakukan tugas koordinasi dan supervisi (Pasal 6 a UU KPK) jo Pasal 8 UU KPK untuk mengambil alih kasus BG dari Mabes Polri apalagi Tim Mabes Polri telah memeriksa rekening BG dan telah diumumkan tidak ada unsur pidana. (5) momentum pengumuman penetapan tersangka atas nama BG terjadi dua hari setelah BG diajukan Presiden sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR RI untuk memperoleh persetujuan.
*** Kelima fakta tersebut perlu dikaji lebih jauh dari aspek yuridis dan sosiologis. Dugaan KPK terhadap BG adalah pelanggaran pasal-pasal 12 a atau 12 b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 dan Pasal 12B UU Tipikor 1999/2001.
Keempat pasal tersebut terkait perbuatan suap dalam jabatan seorang penyelenggara negara atau lazim dikenal sebagai delik jabatan. Dari aspek yuridis, kasus ini merujuk pada dugaan suap yang telah dilakukan BG selaku kepala biro. Pertanyaan pertama, apakah secara yuridis, jabatan BG ketika itu termasuk penyelenggara negara sebagaimana dimaksudkan dalam UU Tipikor dan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN?
Merujuk pada kedua UU tersebut, BG adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memiliki atasan langsung. Pertanyaan kedua, apakah KPK telah meyakini dan memiliki bukti pihak pemberi suap/ gratifikasi yang seharusnya diumumkan juga kepada publik sebagai tersangka. KPK bersikukuh menyatakan telah diperoleh lebih dari dua alat bukti bahwa harta kekayaan BG berasal dari gratifikasi dan suap.
Pembuktian atas dugaan ini akan diuraikan dalam surat dakwaan dan proses pembuktian di sidang pengadilan. Dari aspek yuridis, yang penting dan patut diketahui adalah, bahwa keempat ketentuan tersebut termasuk delik jabatan dan perbedaan antara gratifikasi dan suap sangat tipis yaitu, pembuktian gratifikasi lebih dari nilai Rp10.000.000, dibebankan pada terdakwa; sedangkan pembuktian perbuatan suap dibebankan pada penuntut.
Jika secara teliti dikaji unsur-unsur yang harus dipenuhi di dalam kedua tindak pidana tersebut, adalah tidak berbeda signifikan.
Lihat saja kalimat, “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” (Pasal 12B), dan kalimat, “berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya” (Pasal 5 ayat 2), dan “karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatanya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”(Pasal 11); “untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatanna yang bertentangan dengan kewajibannya”( Pasal 12 a) idem Pasal 12 b.
Selain itu terdapat fakta bahwa kasus rekening atas nama BG telah disampaikan PPATK kepada Polri dan Polri telah membentuk tim gabungan (divisi hukum, Propam dan Inspektur Pengawasan) dengan hasil dinyatakan tidak ada unsur pidana dalam harta kekayaan yang dilaporkan PPATK kepada Polri.
Bahkan Kapolri Bambang Hendarso Danuri ketika itu telah menyampaikan hal ini di hadapan DPR RI. Dalam peristiwa tersebut, terdapat “missing link“ koordinasi dan supervisi KPK terhadap Polri dalam menangani peristiwa terkait rekening BG.
*** Dari aspek sosiologis, masyarakat luas berharap penuntasan peristiwa “rekening gendut” sejak tahun 2010 oleh KPK namun tuntutan tersebut tidak dilaksanakan institusi tersebut. Baru pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 melaksanakan penyelidikan dan pada tanggal 12 Januari 2015 menetapkan BG sebagai tersangka.
Pertanyaan publik, mengapa untuk menetapkan BG, KPK harus menunggu waktu kurang lebih empat tahun? Untuk pembuktian suap/ gratifikasi harus diperlukan bukti atau ditemukan siapa pemberi dan penerima suap/ gratifikasi karena baik penerima mapun pemberi suap adalah merupakan pelaku (dader) eks Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) atau Pasal 12 B UU Tipikor 1999/ 2001.
Yang menarik perhatian khusus adalah KPK telah melanggar ketentuan Pasal 6 huruf a UU KPK yaitu tugas koordinasi dan supervisi terhadap hasil temuan Tim Gabungan Mabes Polri dalam menindaklanjuti LHA PPATK yang disampaikan kepada Polri.
Solusi yang diusulkan sesuai dengan asas-asas kepemimpinan KPK antara lain akuntabilitas, integritas dan profesionalisme (Pasal 5 UU KPK) maka perlu ada gelar perkara bersama KPK dan Barreskrim Polri bersamasama mendalami kasus BG. Atau alternatif lain, Presiden merujuk pada kasus BC (cicak v buaya) dapat membentuk tim pencari fakta atas keterlibatan BG dalam perbuatan suap/gratifikasi yang bersifat independen karena BG telah diajukan sebagai calon kapolri oleh Presiden.
Solusi ini untuk bersama-sama memelihara dan menjaga martabat sesama lembaga negara terutama lembaga kepresidenan dan DPR RI termasuk KPK dan Polri di hadapan masyarakat dalam dan luar negeri.
(ars)