Charlie, Kouachi dan Demokrasi

Kamis, 15 Januari 2015 - 10:45 WIB
Charlie, Kouachi dan Demokrasi
Charlie, Kouachi dan Demokrasi
A A A
Andar Nubowo
Alumni (EHESS) Paris Prancis, Direktur Eksekutif IndoStrategi


Rabu itu, 7 Januari 2015, 11.30 waktu Paris, Stephane Charbonnier memimpin sidang redaksi di ruang meja besar oval seperti biasanya.

Suasana rapat berlangsung akrab, hangat, dan sesekali guyonan meledak. Tiba-tiba dua orang merangsek masuk dan berteriak, “Charb?” Seketika, seseorang memuntahkan timah panas ke Pimred Charlie Hebdo. Seorang lagi berteriak, “vous allez payer, car vous avez insulté le Prophète” (Kalian akan membayar, karena kalian telah melecehkan Nabi Muhammad). Stephane Charbonnier dan 11 orang lainnya tersungkur tewas, termasuk Ahmed Merabet, polisi Prancis beragama Islam.

Merabet tewas ditembak Kalashnikov di kepalanya dari jarak dekat. Setelah naluri membunuhnya terlampiaskan, kakak beradik Said Kouachi dan Sherif Kouachi, berkata pongah, “on a venge, on a tue Charlie” (Kami telah balas dendam, kami telah membunuh Charlie).

Satirisme Charlie Hebdo

Charlie Hebdo masuk dalam daftar teratas yang paling dicari oleh kelompok radikal Islam. Mingguan Prancis beroplah 60.000 eksemplar ini dianggap menghina dan melecehkan Nabi Muhammad melalui karikatur satirenya. Seperti The Jylland Posten di Denmark, Charlie dan redakturnya diancam kematian. Pada 2011, kantor Charlie Hebdo di Paris dibom dan pemimpin redaksinya, Stephane Charbonnier, diancam mati.

Sejak itulah, Charbonnier dikawal oleh polisi Prancis selama 24 jam. Bagi Kouachi bersaudara, satirisme Charlie yang menghina Nabi Muhammad adalah musuh Islam. Pembunuhan terhadap mereka adalah sebuah kewajiban agama, seperti yang diserukan Faraj Fouda dalam Al- Faridha Al-Ghaibah: Djihad, l’obligation absente. Kouachi bersaudara dan komplotannya, bisa jadi, dianggap sebagai martir yang telah menjemput kesahidan atas nama Islam yang telah dicemooh Charlie.

Sebaliknya, pendukung demokrasi menyatakan satirisme Charlie adalah bagian integral dari demokrasi. Dalam logika ini, Kouachi bersaudara dan komplotannya adalah para vandalis agama yang tidak bisa berselaras dengan demokrasi. Maka itu, agama yang dianut Kouachi bersaudara tiada lain adalah sekumpulan dogmatisme tertutup yang tidak selaras dengan modernitas dan demokrasi.

Di luar itu, Charlie Hebdo dinilai memanfaatkan isu Islam dan politik Prancis untuk menaikkan oplah kecilnya. Jumlah muslim di Prancis yang terus meningkat memprovokasi Front Nasional (FN), partaiultranasionalis Prancis, untuk menjadikan isu “anti-islamisasi” sebagai program utamanya.

Diakibatkan oleh krisis ekonomi yang menahun, ide ultranasionalis Prancis atas Islam dan imigrasi semakin mendapat dukungan publik. Pada Pemilu Uni Eropa 2014 lalu, suara FN meningkat tajam dan di beberapa daerah mengalahkan Partai Sosialis (PS). Dalam perspektif ini, Charlie Hebdo disinyalir menunggangi popularitas FN dan tendensi politik ultranasionalis untuk tujuan ekonomi dan bisnisnya. Edisi terbarunya, misalnya, yang menampilkan karikatur Muhammad, yang dirilis pada 14 Januari, dicetak 3 juta eksemplar dalam 25 bahasa.

Generasi Galau

Said Kouachi dan Sherif Kouachi adalah generasi ketiga imigran muslim di Prancis. Sebagaimana laiknya, mereka dilahirkan, dibesarkan, dan dididik di Negeri Napoleon Bonaparte ini. Mereka juga “dipaksa” untuk mengalami dan menjalani “dua kehidupan”: nilai dan budaya Islam di rumah, sekularisme dan demokrasi di luar rumah.

Tak ayal, banyak generasi muda imigran muslim mengalami keterbelahan jiwa, terjebak pada persoalan identitas agama, rasial, dan nasional: sebagai muslim, sebagai Arab atau sebagai warga negara Prancis. Karena kebingungan psikologis ini, mereka yang tidak berhasil menemukan jawabannya akan lari pada kriminalitas, pelacuran, dan peredaran narkoba.

Karena itu, sebagian besar penghuni penjara-penjara di Prancis adalah muslim. Sebagian lainnya jatuh pada buaian dan seruan radikalisme keagamaan. Tipe kaum muda ini, biasanya, adalah mereka yang mengalami kegagalan memahami identitas dirinya antara Islam dan demokrasi (Mahnaz Shirali, 2007). Krisis ekonomi di Prancis dan Eropa menyuburkan radikalisme agama yang diperankan Kouachi bersaudara.

Ekstremitas agama ini menunggangi situasi krisis ekonomi dan politik yang menimpa negara demokrasi Barat. Sebagaimana ultranasionalisme FN dan satirisme Charlie Hebdo, radikalisme agama adalah gerakan ekstrem yang gagal bersaing dalam arus sekularisme, modernitas, serta demokrasi.

Selain menyalahkan pihak lain dan mencari kambing hitam dari problem modernitas yang dihadapi, radikalisme agama adalah eskapisme, lari dari realitas. Kalah dalam kompetisi ekonomi, politik, dan profesional, kaum muda muslim imigran yang galau ini terkesima dengan khotbah agen-agen radikalisme Islam. Mereka menjadi gandrung pada khotbah kaum radikal yang, galibnya, memburuk dan menjelekkan kegagalan sistem politik, ekonomi, dan demokrasi Barat.

Di mata mereka, Barat justru menggunakan agenda sekularisme dan demokrasi untuk menggapai ambisi dan tujuan politik ekonomi dan militer: pengurasan sumber daya alam, minyak dan gas bumi di negara-negara muslim melalui proyek demokrasi hingga operasi militer. Duo Kouachi adalah contoh terbaik dari pemuda muslim imigran yang mengalami–pinjam istilah Olivier Roy (2006), reborn again Muslim.

Kouachi bersaudara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Islam dan sekuler. Mereka mengalami kebingungan identitas, Islam, Arab atau Prancis. Gagal memahami, akhirnya, keduanya jatuh pada radikalisme. Kouachi bersaudara ini meyakini bahwa laku kesahidan dengan membunuh penghina Islam dan figur sentralnya akan berbuah keadilan dan ketenteraman di dunia maupun di akhirat.

Tragis, Kouachi bersaudara justru mati di tangan polisi khusus Prancis. Kecuali pemuja radikalisme, tindakan mereka dikecam oleh mayoritas umat Islam di Prancis dan dunia. Terdapat jutaan imigran muslim di Prancis dan di Eropa. Tentu, bagi yang cerdas, kaum muda imigran muslim mampu bertahan dan keluar dari jerat problem identitas dan beradaptasi dengan sistem demokrasi.

Mereka bekerja, bergaul, dan berpartisipasi pada bangsa dan negara yang telah membesarkannya. Karim Benzema, Samir Nasri, dan Anggun C Sasmi adalah kaum muda imigran muslim yang dengan sukses dan bangga mengatakan, “saya muslim dan warga Prancis!”.

Dus, Kouachi bersaudara adalah sebuah elegi dan tragedi pergulatan keras antara Islam, demokrasi, dan modernitas. Wallahu alam.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7092 seconds (0.1#10.140)