Charlie Hebdo, Ekstrem Kanan dan Vatikan
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog
Lebih dari 700.000 orang di Prancis menggelar long march menyusul rentetan teror yang menewaskan 17 orang, Sabtu (10/1/2015) malam waktu setempat.
Presiden Prancis Francois Hollande, beberapa pemimpin dunia seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan lainnya dikabarkan ikut dalam aksi ini. Ulama-ulama muslim di Prancis juga mendorong warga muslim Prancis untuk ikut dalam aksi tersebut. Seruan ini disampaikan di lebih dari 2.300 masjid yang ada di seluruh wilayah Prancis. Terdapat sekitar 5 juta warga muslim di Prancis.
Demikian seperti dilansir AFP, Sabtu (10/1/2015). Aksi long march itu memang dilakukan untuk menghormati 17 korban dari dua pria bersenjata yang menyerbu masuk ke kantor mingguan satir Charlie Hebdo pada Rabu (7/1). Pemimpin redaksinya, Stephane Charbonnier yang kerap dipanggil Charb, salah satu yang tewas, bersama tiga kartunis lainnya. Jelas pemberitaan tentang mingguan satir Charlie Hebdo punya implikasi luas, termasuk bagi relasi Islam-Kristen.
Syukurlah, di tengah kondisi sulit ini, ada beberapatokoh, baikdari Islamatau Kristen yang menggarisbawahi bahwa agama tidak bisa disamakan atau didegradasi sebagai tindakan barbar terorisme. Misalnya Thareq Oubrou, imam mesjid di Bordeaux Prancis, yang sedang berkunjung ke Vatikan saat terjadi serangan ke Charlie Hebdo.
Dia mengajak umat muslim untuk turun ke jalan, memprotes serangan dua teroris yang justru dianggapnya menodai Islam sebagai agama damai. Dia bahkan menyebut serangan itu seperti serangan yang dilakukan terhadap Amerika pada 11 September 2001 yang menewaskan 3000 orang.
Vatikan mengutuk serangan ke Charlie Hebdo sekaligus mengecam tindakan mingguan itu yang gemar menghina ihwal yang dianggap suci oleh umat Islam. Atas nama kebebasan berekspresi yang begitu didewakan di Barat, junjungan umat Islam, Nabi Muhammad, dijadikan objek penghinaan atau olok-olok.
Serangan ke Charlie Hebdo diyakini sebagai aksi balasan pada mingguan yang pernah dinilai menghina Nabi Muhammad. Pada 2007 Charlie Hebdo harus membela diri di pengadilan sehubungan dengan kartun Nabi Muhammad, yang dicetak ulang di majalah itu, dan membuat marah umat muslim dunia.
Bagi Vatikan, kasus Charlie Hebdo menjadi tantangan apakah kita mau menyerah pada ekstremitas atau kebebasan berekspresi, dua ekstrem yang sering justru menjadi gangguan besar bagi upaya membangun dialog yang jujur antara Islam dan Kristen. Selama ini memang upaya membangun relasi setara dan saling menghargai seringkali justru terkendala oleh aksi para ekstremis.
Di Eropa misalnya kini muncul kekuatan ekstrem kanan dalam satu dekade terakhir. Sebagaimana cara teror yang digunakan para penyerang ke Charlie Hebdo, para pendukung ekstrem kanan juga setali tiga uang. Ini terlihat nyata dari kasus pembunuhan 92 orang (90- an lainnya terluka) di Pulau Utoeya, Norwegia oleh Anders Behring Breivik pada Juli 2011.
Kerusuhan di Inggris pada 2011 juga memicu ketidaksukaan para penganut ekstrem kanan pada kaum imigran, khususnya kaum pendatang muslim. Serangan ke Charlie Hebdo juga ditakutkan membangkitkan kebencian terhadap Islam. Islamofobia memang sudah lama muncul amat kuat di Eropa, namun kini Islamofobia nyata menjangkiti para penganut ekstrem kanan yang konservatif, anti- imigran, dan anti-Islam.
Tidak heran bila Islam telah didegradasi oleh para penganut ekstrem kanan sebagai agama yang layak dipersalahkan atas situasi buruk yang terjadi di Eropa seperti kemiskinan dan pengangguran di kalangan warga “asli” Eropa. Kaum ekstrem kanan dengan sepihak menolak kehadiran orang asing di luar Eropa, khususnya orang Islam di wilayah yang batas-batasnya mereka tentukan sendiri. Batas itu konyolnyajugadiberilabelagama.
Mereka menyebut Eropa itu milik “Kristen”, sedangkan umat Islam tak ada tempatnya di Eropa meski populasi umat Islam merupakan 5% dari totalpendudukEropa. Ini tentu saja tak beda dengan pandangan kaum ekstremis mana pun dari agama apa pun, yang bahkan merasa seolah sang Pencipta ada di pihak mereka.
*** Dalam situasi seperti ini, Tahta Suci Vatikan, pusat bagi segenap umat Katolik di dunia, tetap menaruhempatidanpenghargaan untuk umat Islam. Vatikan mengutuk pandangan Islamofobia atau pandangan yang mereduksi Islam sebagai agama kekerasan. Lagipula, sikap apresiatif pada Islam, konsisten menjadi sikap resmi Vatikan sejak dekade 1960-an.
Memang dalam dokumen “Nostra Aetate“ yang menjadiajaranresmigereja, disebutkan Gereja Katolik mengakui kebenaran dalam agama-agama lain, termasuk Islam. Nah, lewat pendekatan seperti itu, Vatikan hendak mengajak umat beragama yang berkehendak baik untuk tidak memakai pendekatan konflik seperti diyakini para ekstremis.
Vatikan memang suka mengedepankan pendekatan kerja sama, dialog, serta cara-cara damai dan menghindari cara-cara kekerasan yang tidak bermartabat. Kita masih ingat ketika terjadi agresi tentara sekutu yang dimotori Amerika Serikat ke Irak, Vatikan paling menentang, karena yakin agresi atau perang hanya akan menjadi kekalahan bagi kemanusiaan dan cela bagi agama-agama.
Vatikan amat menaruh harapan pada kaum muda, khususnya mahasiswa dari negaranegara Islam, untuk memperjuangkan masa depan yang baik di dunia ini. Untuk itu, mereka juga diberi beasiswa untuk studi di Vatikan. Vatikan juga mendorong perguruan tinggi Katolik untuk mengajarkan Islam, dari sudut pandang Islam sendiri, dengan mengundang pakar-pakar Islam untuk menjadi dosen.
Ketika ribut-ribut soal pelarangan jilbab di Prancis, Gereja Katolik juga tampil sebagai penentang utamanya. Vatikan memang termasuk lantang dalam memperjuangkan kebebasan beragama sehingga dia mendorong dijadikannya Eropa sebagai kawasan kondusif bagi semua umat beragama, termasuk Islam sebagai agama damai dan menjunjung perdamaian. Bicara tentang perdamaian, bagi Vatikan, bukan sekadar menjadi wacana atau teori yang jauh dari praksis hidup.
Perdamaian harus menjadi pilihan kita bersama. Nah, langkahlangkah perdamaian atau sikap prodialog dari Vatikan sesungguhnya senada dengan pandangan “mainstream“ tokoh-tokoh Islam di negeri ini yang ratarata memang dikenal moderat, penuh toleransi, dan apresiasi.
Ini cocok dengan pandangan cendekiawan muslim Mohammed Arkoun yang mengimbau agar relasi Islam-Kristen jangan hanya difokuskan pada prinsip ideologi antagonisme seperti konflik atau perang saja, tetapi juga perlu dilihat pada berkah dan sumbangan-sumbangan positif yang sudah diberikan masing-masing umat. Sayangnya, Vatikan tidak memiliki kekuatan politik seperti negara-negara Eropa lainnya.
Vatikan hanya punya kekuatan moral bahwa sikap ekstrem dan eksklusif bertentangan dengan kehendak Tuhan yang menciptakan satu dunia agar para penghuninya saling menjalin relasi dan tali silaturahmi yang baik.
Sekarang terserah pada kita, mau percaya pada kekuatan dialog seperti disodorkan Vatikan atau kekuatan prasangka buruk dari kaum ekstremis yang gemar memakai kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Jangan lupa, setiap kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Teolog
Lebih dari 700.000 orang di Prancis menggelar long march menyusul rentetan teror yang menewaskan 17 orang, Sabtu (10/1/2015) malam waktu setempat.
Presiden Prancis Francois Hollande, beberapa pemimpin dunia seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan lainnya dikabarkan ikut dalam aksi ini. Ulama-ulama muslim di Prancis juga mendorong warga muslim Prancis untuk ikut dalam aksi tersebut. Seruan ini disampaikan di lebih dari 2.300 masjid yang ada di seluruh wilayah Prancis. Terdapat sekitar 5 juta warga muslim di Prancis.
Demikian seperti dilansir AFP, Sabtu (10/1/2015). Aksi long march itu memang dilakukan untuk menghormati 17 korban dari dua pria bersenjata yang menyerbu masuk ke kantor mingguan satir Charlie Hebdo pada Rabu (7/1). Pemimpin redaksinya, Stephane Charbonnier yang kerap dipanggil Charb, salah satu yang tewas, bersama tiga kartunis lainnya. Jelas pemberitaan tentang mingguan satir Charlie Hebdo punya implikasi luas, termasuk bagi relasi Islam-Kristen.
Syukurlah, di tengah kondisi sulit ini, ada beberapatokoh, baikdari Islamatau Kristen yang menggarisbawahi bahwa agama tidak bisa disamakan atau didegradasi sebagai tindakan barbar terorisme. Misalnya Thareq Oubrou, imam mesjid di Bordeaux Prancis, yang sedang berkunjung ke Vatikan saat terjadi serangan ke Charlie Hebdo.
Dia mengajak umat muslim untuk turun ke jalan, memprotes serangan dua teroris yang justru dianggapnya menodai Islam sebagai agama damai. Dia bahkan menyebut serangan itu seperti serangan yang dilakukan terhadap Amerika pada 11 September 2001 yang menewaskan 3000 orang.
Vatikan mengutuk serangan ke Charlie Hebdo sekaligus mengecam tindakan mingguan itu yang gemar menghina ihwal yang dianggap suci oleh umat Islam. Atas nama kebebasan berekspresi yang begitu didewakan di Barat, junjungan umat Islam, Nabi Muhammad, dijadikan objek penghinaan atau olok-olok.
Serangan ke Charlie Hebdo diyakini sebagai aksi balasan pada mingguan yang pernah dinilai menghina Nabi Muhammad. Pada 2007 Charlie Hebdo harus membela diri di pengadilan sehubungan dengan kartun Nabi Muhammad, yang dicetak ulang di majalah itu, dan membuat marah umat muslim dunia.
Bagi Vatikan, kasus Charlie Hebdo menjadi tantangan apakah kita mau menyerah pada ekstremitas atau kebebasan berekspresi, dua ekstrem yang sering justru menjadi gangguan besar bagi upaya membangun dialog yang jujur antara Islam dan Kristen. Selama ini memang upaya membangun relasi setara dan saling menghargai seringkali justru terkendala oleh aksi para ekstremis.
Di Eropa misalnya kini muncul kekuatan ekstrem kanan dalam satu dekade terakhir. Sebagaimana cara teror yang digunakan para penyerang ke Charlie Hebdo, para pendukung ekstrem kanan juga setali tiga uang. Ini terlihat nyata dari kasus pembunuhan 92 orang (90- an lainnya terluka) di Pulau Utoeya, Norwegia oleh Anders Behring Breivik pada Juli 2011.
Kerusuhan di Inggris pada 2011 juga memicu ketidaksukaan para penganut ekstrem kanan pada kaum imigran, khususnya kaum pendatang muslim. Serangan ke Charlie Hebdo juga ditakutkan membangkitkan kebencian terhadap Islam. Islamofobia memang sudah lama muncul amat kuat di Eropa, namun kini Islamofobia nyata menjangkiti para penganut ekstrem kanan yang konservatif, anti- imigran, dan anti-Islam.
Tidak heran bila Islam telah didegradasi oleh para penganut ekstrem kanan sebagai agama yang layak dipersalahkan atas situasi buruk yang terjadi di Eropa seperti kemiskinan dan pengangguran di kalangan warga “asli” Eropa. Kaum ekstrem kanan dengan sepihak menolak kehadiran orang asing di luar Eropa, khususnya orang Islam di wilayah yang batas-batasnya mereka tentukan sendiri. Batas itu konyolnyajugadiberilabelagama.
Mereka menyebut Eropa itu milik “Kristen”, sedangkan umat Islam tak ada tempatnya di Eropa meski populasi umat Islam merupakan 5% dari totalpendudukEropa. Ini tentu saja tak beda dengan pandangan kaum ekstremis mana pun dari agama apa pun, yang bahkan merasa seolah sang Pencipta ada di pihak mereka.
*** Dalam situasi seperti ini, Tahta Suci Vatikan, pusat bagi segenap umat Katolik di dunia, tetap menaruhempatidanpenghargaan untuk umat Islam. Vatikan mengutuk pandangan Islamofobia atau pandangan yang mereduksi Islam sebagai agama kekerasan. Lagipula, sikap apresiatif pada Islam, konsisten menjadi sikap resmi Vatikan sejak dekade 1960-an.
Memang dalam dokumen “Nostra Aetate“ yang menjadiajaranresmigereja, disebutkan Gereja Katolik mengakui kebenaran dalam agama-agama lain, termasuk Islam. Nah, lewat pendekatan seperti itu, Vatikan hendak mengajak umat beragama yang berkehendak baik untuk tidak memakai pendekatan konflik seperti diyakini para ekstremis.
Vatikan memang suka mengedepankan pendekatan kerja sama, dialog, serta cara-cara damai dan menghindari cara-cara kekerasan yang tidak bermartabat. Kita masih ingat ketika terjadi agresi tentara sekutu yang dimotori Amerika Serikat ke Irak, Vatikan paling menentang, karena yakin agresi atau perang hanya akan menjadi kekalahan bagi kemanusiaan dan cela bagi agama-agama.
Vatikan amat menaruh harapan pada kaum muda, khususnya mahasiswa dari negaranegara Islam, untuk memperjuangkan masa depan yang baik di dunia ini. Untuk itu, mereka juga diberi beasiswa untuk studi di Vatikan. Vatikan juga mendorong perguruan tinggi Katolik untuk mengajarkan Islam, dari sudut pandang Islam sendiri, dengan mengundang pakar-pakar Islam untuk menjadi dosen.
Ketika ribut-ribut soal pelarangan jilbab di Prancis, Gereja Katolik juga tampil sebagai penentang utamanya. Vatikan memang termasuk lantang dalam memperjuangkan kebebasan beragama sehingga dia mendorong dijadikannya Eropa sebagai kawasan kondusif bagi semua umat beragama, termasuk Islam sebagai agama damai dan menjunjung perdamaian. Bicara tentang perdamaian, bagi Vatikan, bukan sekadar menjadi wacana atau teori yang jauh dari praksis hidup.
Perdamaian harus menjadi pilihan kita bersama. Nah, langkahlangkah perdamaian atau sikap prodialog dari Vatikan sesungguhnya senada dengan pandangan “mainstream“ tokoh-tokoh Islam di negeri ini yang ratarata memang dikenal moderat, penuh toleransi, dan apresiasi.
Ini cocok dengan pandangan cendekiawan muslim Mohammed Arkoun yang mengimbau agar relasi Islam-Kristen jangan hanya difokuskan pada prinsip ideologi antagonisme seperti konflik atau perang saja, tetapi juga perlu dilihat pada berkah dan sumbangan-sumbangan positif yang sudah diberikan masing-masing umat. Sayangnya, Vatikan tidak memiliki kekuatan politik seperti negara-negara Eropa lainnya.
Vatikan hanya punya kekuatan moral bahwa sikap ekstrem dan eksklusif bertentangan dengan kehendak Tuhan yang menciptakan satu dunia agar para penghuninya saling menjalin relasi dan tali silaturahmi yang baik.
Sekarang terserah pada kita, mau percaya pada kekuatan dialog seperti disodorkan Vatikan atau kekuatan prasangka buruk dari kaum ekstremis yang gemar memakai kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Jangan lupa, setiap kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
(ars)