Papua Butuh Keberpihakan

Sabtu, 10 Januari 2015 - 13:47 WIB
Papua Butuh Keberpihakan
Papua Butuh Keberpihakan
A A A
“Jangan ada lagi kekerasan”, demikian kata Presiden Jokowi saat peringatan Natal Nasional di Jayapura, Papua, Sabtu malam, 27 Desember 2014. Jokowi pun mengimbau, “Agar saudara kita yang masih di dalam hutan, di atas gunung-gunung, marilah bersama membangun Papua sebagai tanah yang damai.

” Menurutnya, masalah yang ada di Papua tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, atau politik, namun terutama adalah tidak ada saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya. Meski agak berbeda, Pater Neles Tebay, koordinator Jaringan Papua Damai (JPD), mengakui “Papua masih bermasalah”.

Dalam beberapa tahun terakhir, insiden berdarah di Tanah Papua masih saja terjadi, terakhir di Kabupaten Painai. Ibarat api dalam sekam, pergolakan di Tanah Papua menyimpan bara yang setiap saat bisa meletup dengan meminta korban jiwa jika tidak dilakukan tindakan preventif.

Tebay merekomendasikan tiga hal demi perdamaian yaitu pengakuan TPN-Papua Barat/ OPM bukanlah sebuah kelompok kriminal bersenjata karena sejatinya memiliki motivasi dan tujuannya politik; semua khususnya pemerintah dan OPM perlu mengadakan pertemuan informal guna mengurangi kecurigaan dalam mengidentifikasi masalah dan menetapkan solusi politik secara bersama; serta pemerintah perlu mempercepat pembangunan sambil mencari solusi politik dan berupaya menyembuhkan memori yang terluka.

Kepada Presiden Jokowi, diusulkan perlunya satu unit kerja di Kantor Presiden yang bersifat ad hoc, bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan berfungsi sementara hingga Papua menjadi tanah damai dan pembangunan dilaksanakan tanpa gangguan. Kenyataannya, kondisi riil Tanah Papua saat ini, dipenuhi oleh berbagai hal yang kontradiktif.

Di satu sisi, seperti yang didendangkan Franky Sahilatu sebagai “surga kecil jatuh ke bumi”, Tanah Papua memiliki tiga modal dasar yang bisa menjadi faktor utama pembawa kesejahteraan yaitu sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, kawasan ekosistem yang luas dan kaya, serta jumlah penduduk yang relatif sedikit, sekitar empat juta jiwa.

Modal dasar tersebut semakin diperkuat dengan ada transfer dana dari pusat berupa pembagian hasil eksplorasi SDA dan dana otonomi khusus (otsus) yang, sejak diberlakukan otsus 12 tahun lalu, berjumlah lebih dari Rp30 triliun. Namun, di sisi lain, potensi modal dasar yang demikian besar tidak membawa hasil yang sebanding. Persentase kemiskinan di Tanah Papua misalnya masih di atas 20%, jauh di atas rata-rata nasional.

Provinsi Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia. Hal yang sama juga berlaku terkait indeks pembangunan manusia (IPM). IPM Provinsi Papua menempati peringkat juru kunci, sementara IPM Provinsi Papua Barat berada pada posisi ke-29 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari kondisi tersebut, yang menjadi keprihatinan luas adalah kenyataan bahwa mayoritas orang asli Papua (OAP) sebagai pemilik awal “surga kecil” ini masih berkutat dalam kemiskinan dan “keterbelakangan”.

Usia harapan hidup, lama pendidikan, dan kondisi kesehatan penduduk asli misalnya jauh lebih rendah dibandingkan pendatang. Pada saat bersamaan, secara bertahap OAP pun tergusur dari sentra-sentra ekonomi di kawasan perkotaan. Kondisi kontradiktif tersebut patut dicemaskan akan terus memunculkan berbagai ekspresi ketidakpuasan dan konflik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan Tanah Papua.

Mengaca pada Aceh, dibutuhkan dialog perdamaian sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik di Tanah Papua dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan yang masih mengganjal. Secara umum sumber-sumber konflik di Tanah Papua bisa dikelompokkan dalam empat permasalahan berikut ini (LIPI, 2009). Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi OAP oleh pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Tanah Papua sejak 1970.

Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, ada kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara pada masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua, terutama terhadap korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum.

Selain itu, terdapat tiga kepentingan OAP seperti yang diamanatkan oleh UU Otsus yang selama ini belum sepenuhnya diimplementasikan oleh pemerintah (Ridha, 2011) yaitu (1) kepentingan substansial, menyangkut hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya; (2) kepentingan formal prosedural terkait pengakuan konkret terhadap peran lembaga adat dan Majelis Rakyat Papua (MRP) serta dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pengadilan HAM; dan (3) kepentingan psikologis menyangkut pengakuan terhadap eksistensi dan simbol-simbol budayanya.

Sebenarnya, dalam UU No 21/2001, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang 35/2008 terkait Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, telah disebutkan agar dalam proses pembangunan di dua provinsi tersebut perlu memperhatikan keberpihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap penduduk asli Papua.

Tiga alasan tersebut menjadi pertimbangan bagi sebuah pendekatan baru dalam mempercepat proses pembangunan yang membawa kesejahteraan bagi mayoritas OAP yang masih terpinggirkan, tanpa melupakan penduduk miskin lain. Dalam batasan tertentu, secara konkret kebijakan pembangunan di Tanah Papua sebenarnya telah “berpihak” pada OAP.

Selain posisi gubernur, bupati, dan wali kota yang mengharuskan dijabat oleh penduduk asli, sistem kuota pun diberlakukan dalam penerimaan pegawai di jajaran pemerintahan, sekolah, dan universitas. Namun, lebih dari itu, keberpihakan harus berupa kepekaan terhadap budaya dan zona ekosistem Tanah Papua yang memengaruhi budaya, mata pencaharian, dan pola hidup penduduk asli Papua.

Banyak pihak meyakini, berhasil dan tidak pembangunan di Tanah Papua sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan perencanaan pembangunan yang peka terhadap budaya dan geografi tempat tinggal OAP. Selama ini pertumbuhan perekonomian Tanah Papua lebih bertumpu pada sektor pertambangan, keuangan, dan usaha padat modal yang kurang memberikan kontribusi terhadap perluasan lapangan pekerjaan.

Konkretnya, pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membawa dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan mayoritas OAP yang bekerja di sektor pertanian yang selama ini terbengkalai. Karena itu, menjadi sebuah keniscayaan untuk menyusun perencanaan pembangunan berbasis budaya, memprioritaskan sektor pertanian yang menjadi penyumbang lapangan pekerjaan terbesar, serta mengacu kondisi geografis tepat tinggal OAP.

Keberpihakan terhadap mayoritas OAP yang masih berada dalam kondisi miskin perlu dilakukan tanpa melupakan kelompokkelompok sosial lain, termasuk perempuan yang juga terpinggirkan dalam proses pembangunan. Hal tersebut diyakini akan menjadi langkah awal agar “surga kecil” yang sedang membara ini bisa kembali damai dalam kesejahteraan bagi semua. Semoga!
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7803 seconds (0.1#10.140)