2015, Bagaimana Nasib Pemerintahan Jokowi?
A
A
A
Bawono Kumoro
Peneliti Politik The Habibie Center
Tahun 2014 telah berakhir, berganti memasuki tahun 2015. Tidak dapat dimungkiri sepanjang 2014 situasi politik nasional penuh dengan berbagai kegaduhan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) kegaduhan politik berlanjut di Parlemen berupa pertikaian politik tajam antara partai-partai pendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (Koalisi Indonesia Hebat) dan partai-partai politik pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Koalisi Merah Putih).
Lalu bagaimana outlook politik Indonesia 2015, terutama nasib pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla? Meski politik bersifat dinamis, dapat dipastikan 2015 bukan tahun mudah bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Riak-riak kecil hingga gelombang besar politik sangat mungkin menerpa biduk pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla pada 2015 mengingat dukungan politik di tingkat elite terhadap mereka terbilang sangat lemah.
Koalisi Indonesia Hebat beranggotakan PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi). Apabila dijumlahkan, kursi lima partai politik Koalisi Indonesia Hebat tersebut tidak sampai separuh dari jumlah total 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketiadaan dukungan kuat di tingkat elite terhadap pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla diperparah dengan kelemahan Koalisi Indonesia Hebat di Parlemen dalam melakukan lobi dan komunikasi politik. Alhasil, dalam sejumlah kesempatan mereka kerapkali babak belur menghadapi kekompakan Koalisi Merah Putih sebagaimana saat pemilihan pimpinan DPR awal Oktober lalu.
Ketiadaan perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat dalam pimpinan DPR jelas semakin mempersulit Jokowi dan Jusuf Kalla untuk menjalankan pemerintahan dengan mulus. Akselerasi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan akan sangat lamban. Pemerintah tidak akan mudah memperoleh persetujuan politik Parlemen saat hendak menggulirkan berbagai rencana kebijakan.
Terbaru lihat saja bagaimana kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus bersiap menghadapi hadangan interpelasi di Parlemen. Hingga awal Desember, 240 anggota DPR telah membubuhkan tanda tangan dukungan penggunaan hak interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kemudian diajukan kepada pimpinan DPR seusai masa reses nanti.
Para anggota DPR penanda tangan hak interpelasi berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional. Dengan berkaca dari realitas politik di atas, ke depan mau tidak mau pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla beserta koalisi pendukung mereka harus lebih cermat dalam memperhitungkan aspek politik di setiap proses pembuatan kebijakan agar tidak menjadi sasaran tembak empuk kelompok oposisi di Parlemen.
Apalagi pada 2015 akan ada kepentingan strategis pemerintah agar pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berjalan mulus dan mendapatkan persetujuan politik seluruh kekuatan politik di Parlemen. Proses rekonsiliasi elite-elite politik di DPR dengan mengakomodasi anggota-anggota Koalisi Indonesia Hebat di alat-alat kelengkapan Dewan melalui perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahan tata tertib DPR mendesak untuk segera dituntaskan.
Selain itu, langkah politik strategis lain juga harus dilakukan Koalisi Indonesia Hebat dalam rangka memuluskan langkah pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dengan memperbaiki lobi dan komunikasi politik mereka. Melakukan pendekatan politik kepada Partai Demokrat yang memiliki 61 kursi patut dipertimbangkan lebih lanjut.
Sikap Partai Demokrat sebagai kekuatan politik penyeimbang dapat dimanfaatkan Koalisi Indonesia Hebat untuk memperkuat dukungan politik di Parlemen terhadap pemerintahan Jokowi dan JusufKalla, terutamasaathendak meloloskan sebuah kebijakan strategis seperti pengurangan subsidi BBM dan APBN.
Kekalahan telak dalam pemilihan pimpinan DPR tidak akan terjadi bila saat itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pimpinan Koalisi Indonesia Hebat melakukan komunikasi politik secara total dengan Partai Demokrat. Karena itu, pada masa mendatang diharapkan tidak ada lagi sikap jual mahal merasa tidak butuh dari PDIP terhadap Partai Demokrat.
Selain dapat membantu pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam menunaikan janjijanji politik untuk mewujudkan kesejahteraan, kedekatan antara PDIP dan Partai Demokrat juga dapat menghangatkan kembali relasi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagaimana saat mereka belum terlibat rivalitas pertarungan Pilpres 2004.
Kesamaan pandangan dan sikap politik terhadap Peraturan Presiden Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dapat menjadi awal dari kerja sama politik PDIP dan Partai Demokrat. Mungkinkah kedekatan dan kerja sama politik antardua partai itu akan terwujud pada 2015? Tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik.
Peneliti Politik The Habibie Center
Tahun 2014 telah berakhir, berganti memasuki tahun 2015. Tidak dapat dimungkiri sepanjang 2014 situasi politik nasional penuh dengan berbagai kegaduhan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pemilihan umum (pemilu).
Usai pemilu legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) kegaduhan politik berlanjut di Parlemen berupa pertikaian politik tajam antara partai-partai pendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (Koalisi Indonesia Hebat) dan partai-partai politik pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Koalisi Merah Putih).
Lalu bagaimana outlook politik Indonesia 2015, terutama nasib pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla? Meski politik bersifat dinamis, dapat dipastikan 2015 bukan tahun mudah bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Riak-riak kecil hingga gelombang besar politik sangat mungkin menerpa biduk pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla pada 2015 mengingat dukungan politik di tingkat elite terhadap mereka terbilang sangat lemah.
Koalisi Indonesia Hebat beranggotakan PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi), Partai NasDem (35 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi). Apabila dijumlahkan, kursi lima partai politik Koalisi Indonesia Hebat tersebut tidak sampai separuh dari jumlah total 560 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ketiadaan dukungan kuat di tingkat elite terhadap pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla diperparah dengan kelemahan Koalisi Indonesia Hebat di Parlemen dalam melakukan lobi dan komunikasi politik. Alhasil, dalam sejumlah kesempatan mereka kerapkali babak belur menghadapi kekompakan Koalisi Merah Putih sebagaimana saat pemilihan pimpinan DPR awal Oktober lalu.
Ketiadaan perwakilan dari Koalisi Indonesia Hebat dalam pimpinan DPR jelas semakin mempersulit Jokowi dan Jusuf Kalla untuk menjalankan pemerintahan dengan mulus. Akselerasi lembaga eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan akan sangat lamban. Pemerintah tidak akan mudah memperoleh persetujuan politik Parlemen saat hendak menggulirkan berbagai rencana kebijakan.
Terbaru lihat saja bagaimana kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus bersiap menghadapi hadangan interpelasi di Parlemen. Hingga awal Desember, 240 anggota DPR telah membubuhkan tanda tangan dukungan penggunaan hak interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi untuk kemudian diajukan kepada pimpinan DPR seusai masa reses nanti.
Para anggota DPR penanda tangan hak interpelasi berasal dari Koalisi Merah Putih seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional. Dengan berkaca dari realitas politik di atas, ke depan mau tidak mau pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla beserta koalisi pendukung mereka harus lebih cermat dalam memperhitungkan aspek politik di setiap proses pembuatan kebijakan agar tidak menjadi sasaran tembak empuk kelompok oposisi di Parlemen.
Apalagi pada 2015 akan ada kepentingan strategis pemerintah agar pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berjalan mulus dan mendapatkan persetujuan politik seluruh kekuatan politik di Parlemen. Proses rekonsiliasi elite-elite politik di DPR dengan mengakomodasi anggota-anggota Koalisi Indonesia Hebat di alat-alat kelengkapan Dewan melalui perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta perubahan tata tertib DPR mendesak untuk segera dituntaskan.
Selain itu, langkah politik strategis lain juga harus dilakukan Koalisi Indonesia Hebat dalam rangka memuluskan langkah pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dengan memperbaiki lobi dan komunikasi politik mereka. Melakukan pendekatan politik kepada Partai Demokrat yang memiliki 61 kursi patut dipertimbangkan lebih lanjut.
Sikap Partai Demokrat sebagai kekuatan politik penyeimbang dapat dimanfaatkan Koalisi Indonesia Hebat untuk memperkuat dukungan politik di Parlemen terhadap pemerintahan Jokowi dan JusufKalla, terutamasaathendak meloloskan sebuah kebijakan strategis seperti pengurangan subsidi BBM dan APBN.
Kekalahan telak dalam pemilihan pimpinan DPR tidak akan terjadi bila saat itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pimpinan Koalisi Indonesia Hebat melakukan komunikasi politik secara total dengan Partai Demokrat. Karena itu, pada masa mendatang diharapkan tidak ada lagi sikap jual mahal merasa tidak butuh dari PDIP terhadap Partai Demokrat.
Selain dapat membantu pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam menunaikan janjijanji politik untuk mewujudkan kesejahteraan, kedekatan antara PDIP dan Partai Demokrat juga dapat menghangatkan kembali relasi Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagaimana saat mereka belum terlibat rivalitas pertarungan Pilpres 2004.
Kesamaan pandangan dan sikap politik terhadap Peraturan Presiden Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dapat menjadi awal dari kerja sama politik PDIP dan Partai Demokrat. Mungkinkah kedekatan dan kerja sama politik antardua partai itu akan terwujud pada 2015? Tidak ada yang tidak mungkin di dalam politik.
(bhr)