AirAsia dan Kerja Sama Internasional

Rabu, 31 Desember 2014 - 09:16 WIB
AirAsia dan Kerja Sama...
AirAsia dan Kerja Sama Internasional
A A A
Menjelang penutupan tahun 2014, sebuah pesawat AirAsia QZ8501 mengalami musibah hilang di kawasan Asia Tenggara. Pada beberapa bulan lalu, pesawat Malaysia Airlines MH370 juga hilang dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Beijing.

Kita boleh bersyukur bahwa nasib pesawat AirAsia telah dapat dipastikan menyusul ditemukannya serpihan pesawat dan penumpangnya di dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Sayangnya, bersamaan dengan itu, duka meruah dan karena itu saya pun turut mengirimkan doa dan belasungkawa bagi keluarga penumpang pesawat.

Kolom kali ini menyoroti kerja sama internasional yang terjalin terkait upaya penemuan pesawat AirAsia tersebut. Segera setelah ada breaking news mengenai hilang kontaknya pesawat QZ8501, regu pencari dan penyelamat berlomba dengan waktu untuk segera menemukan pesawat tersebut.

Alasannya, selain kemanusiaan, juga teknis karena sumber energi alat-alat keamanan pesawat seperti emergency locator transmitter (ELT) hanya bisa aktif 48 jam dan underwater locator beacon terbatas hanya untuk 30 hari. Beberapa negara segera menawarkan bantuan dan dimintai bantuannya oleh Pemerintah Indonesia.

Pemerintah melaporkan telah memberi izin kepada kapal laut dan pesawat dari Singapura, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan China untuk membantu pencarian pesawat di bawah koordinasi Indonesia. Tawaran bantuan dari negara-negara sahabat tersebut adalah peristiwa diplomatik yang wajar.

Sebelumnya, dalam kasus hilangnya MH370, hampir seluruh anggota ASEAN ditambah dengan Amerika Serikat, Prancis, Australia, dan China terlibat dalam pencarian tersebut. Tiap negara mengerahkan segala kemampuan dan peralatan canggih yang dimiliki untuk menemukan pesawat tersebut. Meskipun hingga saat ini pesawat secara utuh belum ditemukan, kerja sama internasional tersebut adalah yang terbesar selama dekade terakhir ini.

Kerja sama internasional macam ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi pergaulan internasional, negara-negara yang memiliki maskapai penerbangan nasional terikat dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional Tahun 1944. Hampir seluruh negara anggota PBB yang berjumlah 193 mengikatkan dirinya pada perjanjian ini kecuali tiga negara, yakni Dominika, Liechtenstein, dan Tuvalu.

Salah satu penyebab negara tersebut tidak terikat adalah karena wilayah daratan dan penduduknya yang relatif rendah dan sedikitnya frekuensi penerbangan ke negara tersebut. Dominika dan Tuvalu adalah negara-negara yang masingmasing memiliki penduduk 73.000 dan 11.000 jiwa. Lebih kecil dibandingkan penduduk Kecamatan Jatinegara di Jakarta Timur.

Sementara Liechtenstein sendiri adalah sebuah negara kecil (microstate ) yang berbatasan dengan Swiss di wilayah barat-selatan dan Austria di sisi timur-utara. Liechtenstein telah meminta Swiss untuk mengaplikasikan konvensi itu bagi wilayah udara negara mereka. Setiap negara perlu meratifikasi konvensi tersebut agar dapat didarati oleh pesawat penerbangan internasional dari negara lain.

Konvensi itu penting karena memuat segala peraturan dan syarat-syarat penerbangan internasional. Selain mengatur tentang sistem internasional untuk penerbangan, konvensi ini juga mengatur prosedur untuk melakukan pencarian dan penyelamatan apabila terjadi insiden ataupun kecelakaan (accident ) pesawat. Dalam konvensi tersebut ada istilah “contracting state “ dan “party“.

Menurut Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 , (f) “contracting state” berarti negara yang telah sepakat untuk terikat oleh perjanjian, terlepas dari apakah perjanjian tersebut ditegakkan atau pun tidak, sementara itu (g) “party” berarti negara yang telah sepakat untuk terikat pada perjanjian dan ketika perjanjian tersebut ditegakkan.

Di dalam Lampiran 12 konvensi telah disebutkan bahwa contracting state wajib mengoordinasikan organisasi pencarian dan penyelamatan bersama dengan negara tetangga yang berdekatan dengan contracting state. Secara prosedural, pelibatan negara-negara tetangga tersebut juga harus didasarkan atas permintaan.

Dalam kasus QZ8501, walaupun telah banyak negara yang menawarkan bantuan untuk mencari pesawat, Indonesia tetap harus membuat surat permintaan kepada negaranegara tersebut. Isinya tentang detail dari misi penyelamatan, kebutuhan yang diperlukan, syarat-syarat tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan serta bagaimana cara berkoordinasi dengan Basarnas.

Negara-negara yang terlibat juga perlu melaporkan berapa jumlah personel, jenis kendaraan atau alat yang dibawanya pada saat akan membantu. Oleh sebab itu kita dapat membayangkan kerumitan langkah dan prosedur dalam situasi genting. Kedua, kerja sama antarnegara juga dapat dikaitkan dari sisi ekonomi, penting untuk mencari tahu penyebab hilangnya pesawat QZ8501 karena pesawat yang berjenis AirbusA320- 200 ini juga banyak digunakan negara-negara lain.

Pesawat ini termasuk keluarga Airbus A320. Jumlah pemesanan dari keluarga A320 ini mencapai 6.300 unit dan telah dikirim lebih dari 3.500 pesawat untuk 280 operator di seluruh dunia. Pesawat ini dirakit sebagian besar di Prancis, tetapi dengan sejumlah fasilitas produksi yang menyebar di Jerman, Spanyol dan Inggris.

Tahun 2009, China adalah salah satu negara yang mendapat kesempatan untuk mendirikan fasilitas akhir perakitan Airbus di luar daratan Eropa. Hal ini dapat terjadi karena China termasuk pembeli terbesar produk-produk Airbus. Jumlah pemesanan untuk jenis Airbus A320 mencapai 351 unit untuk 12 operator. AirAsia sendiri telah memesan 184 dan telah dipenuhi 157 buah.

Pemesanan ini cocok dengan strategi bisnis AirAsia yang membidik pasar penerbangan jangka menengah yang memiliki jangkauan 6.150 km. Satu harga pesawat A320-200 diperkirakan mencapai USD94 juta atau sekitar Rp1,1 triliun. Dalam musibah QZ8501, Indonesia juga diminta melakukan introspeksi dalam hal prosedur keselamatan penerbangan.

Sejumlah komentator mengingatkan status rendahnya kualitas keselamatan penerbangan kita seperti pada tahun 2007 ketika Komisi Uni Eropa melarang seluruh penerbangan dari maskapai Indonesia mendarat di Eropa. Saat itu tingkat kecelakaan fatal maskapai penerbangan Indonesia lebih tinggi dari rata-rata dunia.

Rata-rata kecelakaan fatal dunia untuk tiap 1 juta take-off hanyalah 0,25, sementara skor Indonesia 3,77. Mengingat ke depan permintaan terhadap transportasi yang membantu mobilitas penduduk akan terus meningkat, termasukjugamoda transportasi udara, Pemerintah Indonesia diingatkan untuk bergegas membenahi sistem dan kualitas keselamatan penerbangan.

Hal ini mencakup kondisi kelayakan pesawat udara, sumber daya manusia yang menerbangkan, menjadi awak, serta mengawal lalu lintas penerbangan, juga prosedur ketika sampai terjadi musibah. Kerja sama internasional untuk mencari solusi ketika sampai terjadi musibah terbukti berjalan cukup baik, prosedurnya pun cukup jelas. Artinya perhatian untuk perbaikan justru perlu diarahkan ke dalam diri sendiri. Semoga instansi terkait berhasil menciptakan rasa aman yang sempat terkoyak karena musibah QZ8501.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0869 seconds (0.1#10.140)