Remisi Napi Korupsi Mengiris Hati

Sabtu, 27 Desember 2014 - 14:13 WIB
Remisi Napi Korupsi Mengiris Hati
Remisi Napi Korupsi Mengiris Hati
A A A
Ketika harapan rakyat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan mampu memberantas korupsi sampai ke akarnya, aksi yang diambil di bidang penegakan hukum berbicara sebaliknya.

Salah satu sarana untuk menimbulkan efek jera terhadap koruptor yang sudah menyengsarakan rakyat melalui hukuman kurungan badan (penjara) ternyata masih memberikan ruang yang cukup besar bagi para koruptor untuk mendapatkan kemudahan. Remisi masih diobral untuk para narapidana tindak pidana korupsi.

Seperti berita yang diturunkan harian ini, total ada 49 napi korupsi yang mendapatkan remisi Natal. Bahkan dalam rangka obral remisi ini ada dua napi yang akhirnya bebas. Pemberian remisi terhadap koruptor ini bak menggarami luka menganga. Rasa keadilan masyarakat langsung tersakiti ketika mengetahui para koruptor yang jelas sudah menyengsarakan rakyat tetap diberikan berbagai privilese. Memang remisi adalah hak semua narapidana.

Para napi koruptor bukannya terlepas haknya sebagai manusia yang memiliki hak asasi manusia (HAM) dalam negara yang menganut demokrasi ini. Remisi dan beberapa hak narapidana diatur dalam UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan dan PP Nomor 28/2006 tentang Perubahan PP Nomor 32/1999.

Namun, pemerintah bisa saja mengatur agar tindak pidana yang termasuk dalam extraordinary crime ini mendapatkan penanganan hukuman yang spesial. Sebelumnya kita pernah mengalami polemik terkait aturan pengetatan pembebasan bersyarat untuk koruptor.

Namun, akhirnya pada 7 Maret 2012 aturan pengetatan pembebasan bersyarat untuk koruptor dianggap tidak bisa dijalankan lagi oleh majelis hakim pengadilan tata usaha negara (PTUN). Menurut majelis hakim PTUN, aturan pengetatan pembebasan bersyarat untuk koruptor yang tertuang dalam SK Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH- 07.PK.01.05.04 tertanggal 16 November 2011 itu tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Salah satu pertimbangan hukumnya, SK tersebut ditetapkan dengan PP Nomor 32/1999 yang sudah tidak berlaku. Namun ada satu hal yang harus digarisbawahi dari kegagalan pemerintah menekan remisi koruptor, yaitu dasar hukumnya kurang kuat, bukan karena tidak bisa. Para koruptor pun pasti orang-orang yang pandai berhitung.

Umumnya mereka orang yang selalu memperhitungkan risk and reward dari aksi curang yang mereka lakukan. Mereka akan memperhitungkan berapa uang yang akan mereka korup, lalu apa risiko yang akan mereka hadapi jika tertangkap. Para koruptor akan melihat bahwa sekalipun tertangkap hukuman yang ada sekarang belum akan memiskinkan mereka karena masih ada banyak celah yang bisa dimanfaatkan.

Bahkan sampai saat ini pelaksanaan asas pembuktian terbalik masih mendapatkan tentangan, terutama dari sisi HAM. Ketika akhirnya terkena hukuman badan alias masuk ke hotel prodeo, mereka juga akan berhitung potensi mereka keluar dari penjara lebih cepat dari putusan hakim dengan celah remisi dan pembebasan bersyarat.

Ada satu hal yang sering dibicarakan dalam membedakan Jokowi dan SBY, yaitu keberanian dalam mengambil keputusan. Dalam bahasa politiknya adalah kemauan politik (political will ). Mantan Presiden SBY selama ini dikenal sangat mempertimbangkan segala langkahnya sehingga terkesan sangat lama dalam mengambil keputusan, sementara Presiden Jokowi dikenal sangat spontan dan ketika ada peraturan yang dirasanya tidak cocok maka dia ambil perubahan.

Nah , remisi ini adalah hal yang dimungkinkan diubah dengan sebuah political will untuk menjerakan para koruptor. Memang aturan remisi bersandar pada undang-undang, yaitu UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan, namun pemerintah bisa saja merevisi PP Nomor 28/2006 tentang Perubahan PP Nomor 32/ 1999.

Langkah pemerintahan SBY, yang pernah merevisi aturan tersebut dan akhirnya dibatalkan PTUN, bisa menjadi masukan untuk menguatkan revisi untuk menjerakan koruptor. Semoga pemerintahan Jokowi-JK memang punya political will untuk menjerakan para koruptor seraya terus mendorong peningkatan pengembalian kerugian negara akibat korupsi.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6638 seconds (0.1#10.140)