(Proses) Transformasi Mental
A
A
A
Ketika Mochtar Lubis menuliskan ciri-ciri manusia Indonesia dua dekade lalu, satu watak negatif yang menonjol adalah sikap munafiknya. Maka itu, pertanyaan langsung untuk proses perubahannya mengarah ke jalan pendidikan dari transformasi mental kultural menjadi transformasi sikap menghayati kenyataan dan tindakan nyata.
Transformasi memuat sekaligus unsur mengolah watak-watak negatif yang bercokoldari cara pikirsampaicara bertindak. Pokok ini mengandaikan proses tidak bisa dikarbit atau dijalanpintaskan lantaran butuh internalisasi nilai, bukan hanya cukup pemahaman dan menyadari materi persoalan.
Ketika antropolog Koentjaraningrat meneliti sikap mentalitas mana yang cocok dan yang tidak cocok dengan pembangunan (baca: sebagai modernitas), ditunjuklah sikap malas dalam menghayati waktu dan ruang yang tidak cocok dengan sikap rajin, kreatif, dan dinamis menyerap serta daya eksplorasi.
Apakah jalan keluarnya mesti lewat pendidikan? Apakah pendidikan kesadaran yang tidak cukup untuk kognitif tahu lalu paham saja tanpa tindak laku nyata? Inilah ranah pertanyaan perubahan mentalitas pribadi atau perubahan sistemik bila strukturalisme memberi tahu bahwa manusia itu tidak hanya mengonstruksi kenyataan dengan sistem, namun ia juga dikonstruksi oleh sistem dengan catatan bahwa sistem merupakan konstruksi rasional manusia untuk menata sesuatu (a rational ordering of something).
Sejak kita memiliki sistem pendidikan akademik mulai dari TK, SD, dan seterusnya sampai di perguruan tinggi, kita sudah berasumsi bahwa manusialah subjek sadar yang mampu merefleksi aksinya dan mengolahnya hingga mau mengubah perilakunya menjadi semakin baik.
Pengandaian inilah yang menyumberi kenapa untuk perguruan tinggi, sebelum orangorang menjadi ahli di bidangnya (baca: profesional dan kompeten), dua dekade lalu ada studium generale yang merupakan ilmu humanis budaya (humaniora) untuk menyadarkan dan menegaskan bahwa ilmu-ilmu itu tidak bebas nilai, namun harus menjadi ranah sarana penyejahteraan manusia dengan harkatnya.
Artinya, humanisasi sebagai jalan budaya makin memanusiakan manusia itulah yang mengontrol pemakaian dan praksis ilmu-ilmu agar tidak menjadi dehumanis dan antibudaya hidup. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas, yang digarap sebagai sikap adalah rasionalitas tujuan dan bukan rasionalitas instrumentalis atau teknis belaka. Mengapa studium generale humaniora dilepaskan?
Mengapa kita mengeluh apabila yang berlaku adalah nilai pragmatis, teknis, dan praktis jangka pendek di antara pengambil- pengambil kebijakan dan tokoh-tokoh parpol serta intelektual kita? Mengapa pula transformasi perubahan mentalitas menjadi lebih dewasa, beradab, yang diharapkan dari pendidikan ternyata menghasilkan pragmatisme perilaku dan jalan pintas tidak menghargai proses, tetapi melulu berorientasi hasil? Jawabnya ada dua.
Pertama, karena nilai kehidupan berdasar pada proses sebagian yang hakiki dari kehidupan ini dilupakan. Lihatlah, kita dikandung sebelum lahir selama sembilan bulan. Kita menapaki proses dari anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut berbingkai proses dan proses.
Kedua, pendidikan menuntut syarat transformasi yang berarti perubahan proses kesadaran dan mentalitas serta mengolah nilai-nilai (yang baik, yang benar, yang suci dan yang indah dari kehidupan) agar membatin dan menjadi sikap perilakunya. Tidak cukup kognisi pengetahuan, tidak cukup tahu dan paham bila tanpa ranah olahan di budi, nurani dalam refleksi mengolah pengalaman-pengalaman hidup untuk menjadi aksi transformatif menuju peradaban dan bukan mundur ke kebiadaban.
Karena itu, harus disimak baik-baik penelitian Umar Kayam bahwa ciri negatif bangsa ini yang tidak mampu mengolah dalam refleksi dan tak mengontrolnya adalah cepat marah dan mengamuk bila berkonflik. Tidak pertama- tama diskusi dahulu bila konflik kepentingan, tetapi marah dahulu.
Lihatlah perilaku motor dan mobil di lalu lintas Jakarta, padahal mereka umumnya kelas menengah terdidik. Lihat para yang mulia dan terhormat anggota-ang gota DPR yang tidak mulia dan tidak pantas dihormati lagi akhirakhir ini saat berkelahi, menjungkir balik meja sidang.
Lalu? Hanya dengan kembali ke kesadaran nilai pokok hidup adalah proses merefleksiberaksi- merefleksi lagi untuk transformasi di sanalah harapan pada pendidikan mentalitas masih menemukan sinarnya. Hanya dengan teladan-teladan guru-guru kehidupan yang beri contohlah kita bisa mentransformasikan diri dalam mentalitas kita. Inikah sebabnya, karena waktu sudah mendesak, jargonnya dari evolusi menjadi revolusi mentalitas. Utopiakah? PR kita semua!
Transformasi memuat sekaligus unsur mengolah watak-watak negatif yang bercokoldari cara pikirsampaicara bertindak. Pokok ini mengandaikan proses tidak bisa dikarbit atau dijalanpintaskan lantaran butuh internalisasi nilai, bukan hanya cukup pemahaman dan menyadari materi persoalan.
Ketika antropolog Koentjaraningrat meneliti sikap mentalitas mana yang cocok dan yang tidak cocok dengan pembangunan (baca: sebagai modernitas), ditunjuklah sikap malas dalam menghayati waktu dan ruang yang tidak cocok dengan sikap rajin, kreatif, dan dinamis menyerap serta daya eksplorasi.
Apakah jalan keluarnya mesti lewat pendidikan? Apakah pendidikan kesadaran yang tidak cukup untuk kognitif tahu lalu paham saja tanpa tindak laku nyata? Inilah ranah pertanyaan perubahan mentalitas pribadi atau perubahan sistemik bila strukturalisme memberi tahu bahwa manusia itu tidak hanya mengonstruksi kenyataan dengan sistem, namun ia juga dikonstruksi oleh sistem dengan catatan bahwa sistem merupakan konstruksi rasional manusia untuk menata sesuatu (a rational ordering of something).
Sejak kita memiliki sistem pendidikan akademik mulai dari TK, SD, dan seterusnya sampai di perguruan tinggi, kita sudah berasumsi bahwa manusialah subjek sadar yang mampu merefleksi aksinya dan mengolahnya hingga mau mengubah perilakunya menjadi semakin baik.
Pengandaian inilah yang menyumberi kenapa untuk perguruan tinggi, sebelum orangorang menjadi ahli di bidangnya (baca: profesional dan kompeten), dua dekade lalu ada studium generale yang merupakan ilmu humanis budaya (humaniora) untuk menyadarkan dan menegaskan bahwa ilmu-ilmu itu tidak bebas nilai, namun harus menjadi ranah sarana penyejahteraan manusia dengan harkatnya.
Artinya, humanisasi sebagai jalan budaya makin memanusiakan manusia itulah yang mengontrol pemakaian dan praksis ilmu-ilmu agar tidak menjadi dehumanis dan antibudaya hidup. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas, yang digarap sebagai sikap adalah rasionalitas tujuan dan bukan rasionalitas instrumentalis atau teknis belaka. Mengapa studium generale humaniora dilepaskan?
Mengapa kita mengeluh apabila yang berlaku adalah nilai pragmatis, teknis, dan praktis jangka pendek di antara pengambil- pengambil kebijakan dan tokoh-tokoh parpol serta intelektual kita? Mengapa pula transformasi perubahan mentalitas menjadi lebih dewasa, beradab, yang diharapkan dari pendidikan ternyata menghasilkan pragmatisme perilaku dan jalan pintas tidak menghargai proses, tetapi melulu berorientasi hasil? Jawabnya ada dua.
Pertama, karena nilai kehidupan berdasar pada proses sebagian yang hakiki dari kehidupan ini dilupakan. Lihatlah, kita dikandung sebelum lahir selama sembilan bulan. Kita menapaki proses dari anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut berbingkai proses dan proses.
Kedua, pendidikan menuntut syarat transformasi yang berarti perubahan proses kesadaran dan mentalitas serta mengolah nilai-nilai (yang baik, yang benar, yang suci dan yang indah dari kehidupan) agar membatin dan menjadi sikap perilakunya. Tidak cukup kognisi pengetahuan, tidak cukup tahu dan paham bila tanpa ranah olahan di budi, nurani dalam refleksi mengolah pengalaman-pengalaman hidup untuk menjadi aksi transformatif menuju peradaban dan bukan mundur ke kebiadaban.
Karena itu, harus disimak baik-baik penelitian Umar Kayam bahwa ciri negatif bangsa ini yang tidak mampu mengolah dalam refleksi dan tak mengontrolnya adalah cepat marah dan mengamuk bila berkonflik. Tidak pertama- tama diskusi dahulu bila konflik kepentingan, tetapi marah dahulu.
Lihatlah perilaku motor dan mobil di lalu lintas Jakarta, padahal mereka umumnya kelas menengah terdidik. Lihat para yang mulia dan terhormat anggota-ang gota DPR yang tidak mulia dan tidak pantas dihormati lagi akhirakhir ini saat berkelahi, menjungkir balik meja sidang.
Lalu? Hanya dengan kembali ke kesadaran nilai pokok hidup adalah proses merefleksiberaksi- merefleksi lagi untuk transformasi di sanalah harapan pada pendidikan mentalitas masih menemukan sinarnya. Hanya dengan teladan-teladan guru-guru kehidupan yang beri contohlah kita bisa mentransformasikan diri dalam mentalitas kita. Inikah sebabnya, karena waktu sudah mendesak, jargonnya dari evolusi menjadi revolusi mentalitas. Utopiakah? PR kita semua!
(bbg)