Shock Jelang Akhir Tahun
A
A
A
Perekonomian dunia mengalami tiga guncangan (shock) menjelang berakhirnya tahun 2014. Ketiga isu ini diprediksi tidak hanya memengaruhi kinerja perekonomian dunia pada kuartal IV 2014 saja, melainkan juga akan sangat menentukan situasi perekonomian dunia sepanjang tahun 2015.
Hampir semua negara, baik maju maupun berkembang, saat ini terus mewaspadai arah dan pergerakan ketiga isu besar dan berancang-ancang sekaligus merumuskan policyresponses sebagai bentuk mitigasi dampak terhadap perekonomian negara mereka. Bagi Indonesia, ketigaisubesar ini juga perlu kita waspadai meskipun dampaknya berbeda antara satu isu dengan lainnya.
Isu pertama mengenai rencana The Fed untuk menyesuaikan suku bunga acuan setelah berakhirnya kebijakan quantitative easing III. Minggu lalu, menjelang pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) 16-17 Desember, kekhawatiran bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan telah menciptakan guncangan pasar keuangan dunia. Spekulasi akan hal ini meningkatkan capitaloutflow dari negara emerging dan berkembang sehingga nilai tukar mata uang di banyak negara melemah.
Baik otoritas moneter maupun fiskal di banyak negara sangat fokus untuk merumuskan kebijakan yang tepat dan terukur guna menahan kejatuhan nilai tukar mata uang dan tidak membahayakan fundamental ekonomi mereka. Kejatuhan nilai tukar mata uang juga dialami Indonesia. Nilai tukar rupiah pada perdagangan minggu lalu tepatnya 15-17 Desember 2014 mengalami tekanan dan terdepresiasi di rentang 1-2%.
Bahkan tercatat sesi perdagangan 16 Desember 2014 mata uang rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS sebesar 2,3%. Depresiasi nilai tukar rupiah yang hampir menyentuh level Rp13.000 per dolar AS merupakan yang terendah sejak Juni 1998 yangberada dilevel Rp16.650 perdolar AS.
Apabila kita bandingkan dengan situasi selama krisis subprimemortgage pada 2008, nilai tukar rupiah minggu lalu terdepresiasi lebih dalam dibandingkan dengan periode November 2008 yang berada pada level Rp12.650 per dolar AS. Kita bersyukur, ternyata rapat FOMC minggu lalu menyepakati untuk menunda pengumuman kenaikan suku bunga acuan.
Pernyataan The Fed menenangkan pasar dan membuat capital-inflow terjadi sehingga nilai tukar rupiah mulai stabil di level Rp12.500 per dolar dan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga menguat pada perdagangan Kamis (18/12) dan Jumat (19/12). Namun tentunya kita perlu terus mewaspadai isu ini mengingat The Fed hanya menunda dan ketika waktunya dianggap tepat, keputusan menaikkan suku bunga acuan sebagai bentuk normalisasi kebijakan moneter akan dilakukan pada 2015.
Ketika keputusan itu suatu saat diambil, kita semua harus bersiap diri untuk memitigasi baik dari sisi moneter, fiskal maupun sektor riil. Isu kedua mengenai jatuhnya harga minyak mentah dunia hingga di bawah USD60 per barel. Bahkan tercatat pada perdagangan 17/12, WTI crude oil price pada posisi USD55,50 per barel dan harga acuan Eropa, Brent crude oil price , berada pada posisi USD59,90 per barel.
Harga minyak mentah dunia jatuh akibat persaingan antarnegara produsen utama minyak dari Timur Tengah, utamanya Arab Saudi, untuk mengalahkan biaya keekonomian shaleoil di Amerika Serikat. Dengan dipertahankannya volume produksi di saat permintaan dunia melemah, otomatis harga minyak mentah dunia akan jatuh.
Pertemuan OPEC terakhir tahun ini memutuskan untuk mempertahankan volume produksi agar membuat biaya eksplorasi shale-oil di Amerika Serikat menjadi lebih mahal. Seperti kita ketahui biaya keekonomian shale-oil di AS mencapai USD70 per barel. Maka ketika harga minyak mentah dunia berada di bawah USD60 per barel, seperti harga saat ini, diharapkan tidak banyak eksplorasi shale-oil yang dilakukan di AS.
Isu ketiga adalah krisis ekonomi yang dialami Rusia. Baru-baru ini Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga acuan sebesar 650 basis poin hingga di level 17%. Suku bunga acuan di Rusia saat ini adalah yang tertinggi sejak krisis ekonomi Rusia pada 1998. Keputusan ini tentunya mengagetkan banyak negara, utamanya Eropa dan negara-negara mitra strategis dengan Rusia baik perdagangan maupun investasi.
Rusia menghadapi tiga tekanan ekonomi sekaligus, yaitu kejatuhan harga minyak mentah dunia yang memukul ekspor Rusia, embargo ekonomi akibat krisis di Ukraina, dan kejatuhan mata uang rubel. Bank Sentral Rusia telah menghabiskan tidak kurang dari USD80 miliar untuk operasi pasar menahan kejatuhan rubel. Meski Rusia masih memiliki cadangan devisa yang cukup besar, eskalasi memburuknya situasi regional dan nasional tidak mampu menahan jatuhnya mata uang negara itu.
Bila dibandingkan dengan posisi rubelakhirtahunlalu(31/12/13) yang berada pada posisi 32,87 per dolar AS, dengan posisi rubel yang mencapai 69,09 (16/12/14), nilai tukar mata uang tersebut telah terdepresiasi lebih dari 100%. Situasi di Rusia memang tidak akan berdampak langsung terhadap perekonomian nasional. Namun situasi krisis di Rusia akan sedikit banyak memengaruhi negara-negara di Eropa yang menjadi mitra strategis kegiatan ekspor dan investasi bagi Indonesia.
Selain itu, ketidakpastian akan arah perekonomian dunia akibat rencana The Fed menaikkan suku bunga, anjloknya harga minyak mentah dunia, dan krisis ekonomi Rusia masih akan sangat tinggi. Mengenai anjloknya harga minyak mentah dunia, sejumlah negara eksportir minyak mentah dunia seperti Nigeria dan Venezuela berada dalam situasi sulit atas jatuhnya sumber penerimaan utama negara mereka.
Tidak membaiknya harga minyak mentah dunia dikhawatirkan akan menambah jumlah negara baru yang akan masuk dalam krisis ekonomi. Seperti halnya negara lain, bagi Indonesia, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan dan koordinasi antarlembaga untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan terukur sepanjang tahun 2015.
Kita perlu optimistis apabila kita mampu memitigasi dampak krisis subprime-mortgage pada 2008- 2009, kita juga akan mampu secara baik melewati ekonomi 2015 di tengah ketidakpastian global. Memang bukan pekerjaan yang sederhana, tetapi ketika otoritas moneter dan fiskal secara aktif melakukan koordinasi dan harmonisasi kebijakan, sektor riil dan target pencapaian perekonomian nasional sepanjang 2015 akan tetap terjaga.
Hampir semua negara, baik maju maupun berkembang, saat ini terus mewaspadai arah dan pergerakan ketiga isu besar dan berancang-ancang sekaligus merumuskan policyresponses sebagai bentuk mitigasi dampak terhadap perekonomian negara mereka. Bagi Indonesia, ketigaisubesar ini juga perlu kita waspadai meskipun dampaknya berbeda antara satu isu dengan lainnya.
Isu pertama mengenai rencana The Fed untuk menyesuaikan suku bunga acuan setelah berakhirnya kebijakan quantitative easing III. Minggu lalu, menjelang pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) 16-17 Desember, kekhawatiran bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan telah menciptakan guncangan pasar keuangan dunia. Spekulasi akan hal ini meningkatkan capitaloutflow dari negara emerging dan berkembang sehingga nilai tukar mata uang di banyak negara melemah.
Baik otoritas moneter maupun fiskal di banyak negara sangat fokus untuk merumuskan kebijakan yang tepat dan terukur guna menahan kejatuhan nilai tukar mata uang dan tidak membahayakan fundamental ekonomi mereka. Kejatuhan nilai tukar mata uang juga dialami Indonesia. Nilai tukar rupiah pada perdagangan minggu lalu tepatnya 15-17 Desember 2014 mengalami tekanan dan terdepresiasi di rentang 1-2%.
Bahkan tercatat sesi perdagangan 16 Desember 2014 mata uang rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS sebesar 2,3%. Depresiasi nilai tukar rupiah yang hampir menyentuh level Rp13.000 per dolar AS merupakan yang terendah sejak Juni 1998 yangberada dilevel Rp16.650 perdolar AS.
Apabila kita bandingkan dengan situasi selama krisis subprimemortgage pada 2008, nilai tukar rupiah minggu lalu terdepresiasi lebih dalam dibandingkan dengan periode November 2008 yang berada pada level Rp12.650 per dolar AS. Kita bersyukur, ternyata rapat FOMC minggu lalu menyepakati untuk menunda pengumuman kenaikan suku bunga acuan.
Pernyataan The Fed menenangkan pasar dan membuat capital-inflow terjadi sehingga nilai tukar rupiah mulai stabil di level Rp12.500 per dolar dan indeks harga saham gabungan (IHSG) juga menguat pada perdagangan Kamis (18/12) dan Jumat (19/12). Namun tentunya kita perlu terus mewaspadai isu ini mengingat The Fed hanya menunda dan ketika waktunya dianggap tepat, keputusan menaikkan suku bunga acuan sebagai bentuk normalisasi kebijakan moneter akan dilakukan pada 2015.
Ketika keputusan itu suatu saat diambil, kita semua harus bersiap diri untuk memitigasi baik dari sisi moneter, fiskal maupun sektor riil. Isu kedua mengenai jatuhnya harga minyak mentah dunia hingga di bawah USD60 per barel. Bahkan tercatat pada perdagangan 17/12, WTI crude oil price pada posisi USD55,50 per barel dan harga acuan Eropa, Brent crude oil price , berada pada posisi USD59,90 per barel.
Harga minyak mentah dunia jatuh akibat persaingan antarnegara produsen utama minyak dari Timur Tengah, utamanya Arab Saudi, untuk mengalahkan biaya keekonomian shaleoil di Amerika Serikat. Dengan dipertahankannya volume produksi di saat permintaan dunia melemah, otomatis harga minyak mentah dunia akan jatuh.
Pertemuan OPEC terakhir tahun ini memutuskan untuk mempertahankan volume produksi agar membuat biaya eksplorasi shale-oil di Amerika Serikat menjadi lebih mahal. Seperti kita ketahui biaya keekonomian shale-oil di AS mencapai USD70 per barel. Maka ketika harga minyak mentah dunia berada di bawah USD60 per barel, seperti harga saat ini, diharapkan tidak banyak eksplorasi shale-oil yang dilakukan di AS.
Isu ketiga adalah krisis ekonomi yang dialami Rusia. Baru-baru ini Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga acuan sebesar 650 basis poin hingga di level 17%. Suku bunga acuan di Rusia saat ini adalah yang tertinggi sejak krisis ekonomi Rusia pada 1998. Keputusan ini tentunya mengagetkan banyak negara, utamanya Eropa dan negara-negara mitra strategis dengan Rusia baik perdagangan maupun investasi.
Rusia menghadapi tiga tekanan ekonomi sekaligus, yaitu kejatuhan harga minyak mentah dunia yang memukul ekspor Rusia, embargo ekonomi akibat krisis di Ukraina, dan kejatuhan mata uang rubel. Bank Sentral Rusia telah menghabiskan tidak kurang dari USD80 miliar untuk operasi pasar menahan kejatuhan rubel. Meski Rusia masih memiliki cadangan devisa yang cukup besar, eskalasi memburuknya situasi regional dan nasional tidak mampu menahan jatuhnya mata uang negara itu.
Bila dibandingkan dengan posisi rubelakhirtahunlalu(31/12/13) yang berada pada posisi 32,87 per dolar AS, dengan posisi rubel yang mencapai 69,09 (16/12/14), nilai tukar mata uang tersebut telah terdepresiasi lebih dari 100%. Situasi di Rusia memang tidak akan berdampak langsung terhadap perekonomian nasional. Namun situasi krisis di Rusia akan sedikit banyak memengaruhi negara-negara di Eropa yang menjadi mitra strategis kegiatan ekspor dan investasi bagi Indonesia.
Selain itu, ketidakpastian akan arah perekonomian dunia akibat rencana The Fed menaikkan suku bunga, anjloknya harga minyak mentah dunia, dan krisis ekonomi Rusia masih akan sangat tinggi. Mengenai anjloknya harga minyak mentah dunia, sejumlah negara eksportir minyak mentah dunia seperti Nigeria dan Venezuela berada dalam situasi sulit atas jatuhnya sumber penerimaan utama negara mereka.
Tidak membaiknya harga minyak mentah dunia dikhawatirkan akan menambah jumlah negara baru yang akan masuk dalam krisis ekonomi. Seperti halnya negara lain, bagi Indonesia, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan dan koordinasi antarlembaga untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan terukur sepanjang tahun 2015.
Kita perlu optimistis apabila kita mampu memitigasi dampak krisis subprime-mortgage pada 2008- 2009, kita juga akan mampu secara baik melewati ekonomi 2015 di tengah ketidakpastian global. Memang bukan pekerjaan yang sederhana, tetapi ketika otoritas moneter dan fiskal secara aktif melakukan koordinasi dan harmonisasi kebijakan, sektor riil dan target pencapaian perekonomian nasional sepanjang 2015 akan tetap terjaga.
(bbg)