SDM Kita Berlimpah
A
A
A
Ketika menghadapi berbagai macam masalah, harusnya pemerintah fokus untuk mengerahkan segala perhatiannya demi tercapainya suatu solusi, bukannya mengeluarkan berbagai macam statement yang membuat publik jengah.
Kurang lebih begitulah idealnya suatu pemerintahan bekerja ketika ada di dalam suatu krisis baik besar maupun kecil. Saat ini bisa dikatakan Indonesia sedang menghadapi krisis walaupun belum serius dan kita selalu berharap tak akan bereskalasi menjadi serius. Lihat saja rupiah terpuruk, DPR terbelah, bencana alam, parpol konflik, inflasi tinggi mengintai, masalah-masalah sosial yang mencuat, dan berbagai masalah lain.
Rupanya alih-alih bekerja keras memperbaiki masalah bangsa, rupanya pemerintah kian gemar mengumbar pernyataan kontroversial. Isu yang paling baru adalah mengenai kemungkinan pengisian jajaran direksi BUMN oleh warga negara asing (WNA). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno baru-baru ini melempar wacana WNA bisa duduk di jajaran direksi BUMN jika berhasil lolos dalam proses seleksi.
Alasan yang dikemukakan adalah penilaian utama sektor kompetensi dan profesionalitas. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang akan datang dijadikan alasan klasik oleh Menteri BUMN karena menurutnya BUMN harus tangguh menghadapi pasar bebas.
Tentu seluruh bangsa ini akan setuju BUMN yang ada harus tangguh dan kalau bisa mengambil keuntungan dan merajai pasar ASEAN saat MEA 2015 dimulai. Namun ketika untuk mencapai kejayaan tersebut kita harus bergantung pada WNA yang dalam konteks ini sepertinya dianggap berpotensi untuk lebih kompeten dan profesional dalam mengurus BUMN dibanding WNI.
Apakah dengan pernyataan bahwa BUMN membutuhkan orangorang yang kompeten dan profesional bisa kita anggap pemerintah menilaibahwadari 250jutakepaladinegeri ini, kitamasihkekurangan orang-orang kompeten untuk mengisi jajaran BUMN? Rasanya tidak bahkan bisa dikatakan terlalu naif jika logikanya seperti itu. Negara-negara pos-kolonialisme umumnya mengidap sindrom inferiority complex.
Pada sindrom ini warga negaranya merasa lebih rendah kemampuannya dibanding warga negara asing. Hal ini terjadi karena ada di bawah pemerintahan tangan besi penjajah. Dengan menganggap WNA lebih besar kemungkinannya untuk profesional dan kompeten dibandingkan WNI bisa dikatakan pemerintahan Jokowi-JK mengidap sindrom tersebut.
Jika kita bicara Indonesia di masa awal-awal kemerdekaan mungkin masih wajar jika sindrom itu muncul, namun saat ini kita sudah 69 tahun merdeka, apa kita tidak malu pada para founding fathers masih juga merasa inferior? Apalagi sangat banyak insan-insan bangsa yang sukses di luar negeri.
Fenomena ini bisa kita lihat pada diaspora Indonesia yang rupanya ada dalam berbagai sektor, menghapus pandangan kita hanya kuat di sektor tenaga kerja rumah tangga. Selaindiaspora yang tersebar diberbagai negara, didalamnegeri pun SDM kita sangat berlimpah.
Kalaupun tidak dari dalam mesin birokrasi atau internal BUMN, masih sangat banyak anak bangsa yang menunjukkan kemampuan manajerial yang sangat mumpuni dalam membesarkanberbagaijenisperusahaanswastadinegeri ini. Kenapatidak mereka saja yang dikaryakan? Kenapa kita harus memaksa diri untuk melirik pada orang asing.
Apalagi beberapa BUMN selama ini dibebani oleh public service obligation (PSO) sementara sebagian lainnya memegang informasi penting negara. Urgensi kedua hal tersebut dan berbagai kepentingan negara lainnya tentu tak akan diresapi oleh WNA. Yang dibutuhkan adalah penyeleksian direksi BUMN yang kompeten, profesional, memiliki rekam jejak yang baik serta tak diragukan pengabdiannya pada negara ini.
Selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN seringkali menjadi sapi perah pihak-pihak penggemar rente di negeri ini. Banyak direksi BUMN yang dihantui setoran ke para pemburu rente yang memegang kekuasaan sehingga menahan laju perkembangan BUMN yang dipimpinnya.
Menteri BUMN Rini Soemarno dan juga Jokowi-JK beserta jajarannya harus sadar bahwa MEA 2015 yang akan datang adalah masa untuk kian mendorong mutiara-mutiara terbaik bangsa ini untuk maju. Ketika beberapa tempat orang-orang terbaik di negeri ini diisi olah WNA tentu kesempatan bangsa ini untuk maju berkurang.
Kurang lebih begitulah idealnya suatu pemerintahan bekerja ketika ada di dalam suatu krisis baik besar maupun kecil. Saat ini bisa dikatakan Indonesia sedang menghadapi krisis walaupun belum serius dan kita selalu berharap tak akan bereskalasi menjadi serius. Lihat saja rupiah terpuruk, DPR terbelah, bencana alam, parpol konflik, inflasi tinggi mengintai, masalah-masalah sosial yang mencuat, dan berbagai masalah lain.
Rupanya alih-alih bekerja keras memperbaiki masalah bangsa, rupanya pemerintah kian gemar mengumbar pernyataan kontroversial. Isu yang paling baru adalah mengenai kemungkinan pengisian jajaran direksi BUMN oleh warga negara asing (WNA). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno baru-baru ini melempar wacana WNA bisa duduk di jajaran direksi BUMN jika berhasil lolos dalam proses seleksi.
Alasan yang dikemukakan adalah penilaian utama sektor kompetensi dan profesionalitas. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang akan datang dijadikan alasan klasik oleh Menteri BUMN karena menurutnya BUMN harus tangguh menghadapi pasar bebas.
Tentu seluruh bangsa ini akan setuju BUMN yang ada harus tangguh dan kalau bisa mengambil keuntungan dan merajai pasar ASEAN saat MEA 2015 dimulai. Namun ketika untuk mencapai kejayaan tersebut kita harus bergantung pada WNA yang dalam konteks ini sepertinya dianggap berpotensi untuk lebih kompeten dan profesional dalam mengurus BUMN dibanding WNI.
Apakah dengan pernyataan bahwa BUMN membutuhkan orangorang yang kompeten dan profesional bisa kita anggap pemerintah menilaibahwadari 250jutakepaladinegeri ini, kitamasihkekurangan orang-orang kompeten untuk mengisi jajaran BUMN? Rasanya tidak bahkan bisa dikatakan terlalu naif jika logikanya seperti itu. Negara-negara pos-kolonialisme umumnya mengidap sindrom inferiority complex.
Pada sindrom ini warga negaranya merasa lebih rendah kemampuannya dibanding warga negara asing. Hal ini terjadi karena ada di bawah pemerintahan tangan besi penjajah. Dengan menganggap WNA lebih besar kemungkinannya untuk profesional dan kompeten dibandingkan WNI bisa dikatakan pemerintahan Jokowi-JK mengidap sindrom tersebut.
Jika kita bicara Indonesia di masa awal-awal kemerdekaan mungkin masih wajar jika sindrom itu muncul, namun saat ini kita sudah 69 tahun merdeka, apa kita tidak malu pada para founding fathers masih juga merasa inferior? Apalagi sangat banyak insan-insan bangsa yang sukses di luar negeri.
Fenomena ini bisa kita lihat pada diaspora Indonesia yang rupanya ada dalam berbagai sektor, menghapus pandangan kita hanya kuat di sektor tenaga kerja rumah tangga. Selaindiaspora yang tersebar diberbagai negara, didalamnegeri pun SDM kita sangat berlimpah.
Kalaupun tidak dari dalam mesin birokrasi atau internal BUMN, masih sangat banyak anak bangsa yang menunjukkan kemampuan manajerial yang sangat mumpuni dalam membesarkanberbagaijenisperusahaanswastadinegeri ini. Kenapatidak mereka saja yang dikaryakan? Kenapa kita harus memaksa diri untuk melirik pada orang asing.
Apalagi beberapa BUMN selama ini dibebani oleh public service obligation (PSO) sementara sebagian lainnya memegang informasi penting negara. Urgensi kedua hal tersebut dan berbagai kepentingan negara lainnya tentu tak akan diresapi oleh WNA. Yang dibutuhkan adalah penyeleksian direksi BUMN yang kompeten, profesional, memiliki rekam jejak yang baik serta tak diragukan pengabdiannya pada negara ini.
Selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN seringkali menjadi sapi perah pihak-pihak penggemar rente di negeri ini. Banyak direksi BUMN yang dihantui setoran ke para pemburu rente yang memegang kekuasaan sehingga menahan laju perkembangan BUMN yang dipimpinnya.
Menteri BUMN Rini Soemarno dan juga Jokowi-JK beserta jajarannya harus sadar bahwa MEA 2015 yang akan datang adalah masa untuk kian mendorong mutiara-mutiara terbaik bangsa ini untuk maju. Ketika beberapa tempat orang-orang terbaik di negeri ini diisi olah WNA tentu kesempatan bangsa ini untuk maju berkurang.
(bbg)