Fuad Amin, Tradisi Madura, dan KPK

Sabtu, 20 Desember 2014 - 11:03 WIB
Fuad Amin, Tradisi Madura, dan KPK
Fuad Amin, Tradisi Madura, dan KPK
A A A
Banyak orang terkejut ketika KPK menangkap KH Fuad Amin Imron, tokoh Islam kharismatik Madura karena kasus suap dirumahnya, di Bangkalan, Madura, Jatim (2/12/014).

Betapa tidak— Fuad adalah orang yang sangat dihormati masyarakat tradisional muslim Madura karena darah birunya yang amat kuat. Ia cicit Kiai Kholil (1835-1925) dari Bangkalan, Madura, seorang “mahaguru” dari tokoh-tokoh Islam di Pulau Jawa. Seorang murid Kiai Kholil adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri jamaah Nahdlatul Ulama (NU).

Begitu terhormatnya Kiai Kholil sehingga masyarakat tradisional Madura menyebutnya Syaikhona Kholil (syekh kita Kholil). Ini artinya Kiai Kholil sudah dianggap sebagai “Bapak Terhormat” untuk masyarakat tradisional Madura. Itulah sebabnya, keturunan Kiai Kholil seperti Fuad Amin Imron sangat dihormati masyarakat tradisional Madura.

Lebih dari itu, karena Kiai Kholil adalah guru Kiai Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah (pendiriPesantrenTambakBeras, Jombang), KH Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar, Jombang), KH Ma’shum(pendiri Pesantren Lasem, Rembang), dan KH Bisri Mustofa (pendiri Pesantren Rembang), keturunan Kiai Kholil tidak hanya dihormati di Jawa, tapi juga di seluruh Indonesia, khususnya di kalangan warga Nahdliyin se- Tanah Air.

Dalam masyarakat Islam tradisional, penghormatan terhadap guru adalah sebuah keharusan. Pinjam kata-kata Sayyidina Ali—guru atau ustad tidak ternilai jasanya bagi manusia. “Kita bisa mengaji dan membaca Alquran adalah berkat piwulangguru”. Setiap huruf yang diajarkan guru mempunyai arti yang sangat penting bagi pemahaman seseorang terhadap agama Islam. Karena itu, guru adalah sosokyangsangat mulia dan harus dihormati murid-muridnya.

Bukan hanya itu, semua keturunan dan atribut guru juga wajib dihormati dan dimuliakan karena menghormati dan memuliakan guru adalah sebuah kewajiban yang telah dicontohkan para ulama sejak zaman Rasulullah sampai sekarang.

Dengan ada “doktrin” seperti itu, anak keturunan kiai—apalagi sekelas Kiai Kholil Bangkalan— amat dihormati masyarakat tradisional muslim. Orang seperti Gus Dur (almarhum Kiai Abdurrahman Wahid) misalnya ketika masih hidup tiap tahun berziarah ke makam Kiai Kholil. Gus Dur amat menghormati kiai Kholil dananak cucunya karena kakeknya, Kiai Hasyim Asy’ari— pendiri NU—adalah murid Kiai Kholil.

*** Privilese yang diperoleh anak cucu ulama besar seperti Kiai Kholil inilah yang kadang dimanfaatkan anak cucunya. Jika saja mereka memanfaatkannya untuk dakwah dan membangun pendidikan Islam tradisional, niscaya pintu suksesnya sudah terbuka lebar karena privilese tersebut. Tapi, tak sedikit di antara mereka memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan.

Apa yang dilakukan Fuad Amin misalnya memanfaatkan privilese “darah biru” Kiai Kholil untuk kekuasaan politik. Masyarakat tradisional Islam Madura yang notabene sangat hormat dan patuh pada keturunan Syaikhona Kholil niscaya akan memilihnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilihan anggota legislatif (pileg). Fenomena inilah yang kini marak di Madura dan Jawa— memanfaatkan privilese tradisional untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Privilese inilah yang tampaknya dimanfaatkan Fuad Amin— cicit Kiai Kholil Madura. Ia dengan mudah terpilih menjadi bupati Bangkalan dua periode berturut-turut (2003-2013). Seandainya undang-undang membolehkan jabatan bupati lebihdari duakalidipegangorang yang sama, niscaya Fuad Amin akan terpilih lagi. Namun, undang-undang itu bisa disiasati yaitu mencalonkan anak atau istrinya untuk menggantikan dia sebagai bupati.

Fuad misalnya mencalonkan anaknya, Makmun Ibnu Fuad, untuk menggantikannya sebagai bupati Bangkalan. Sementara Fuad—usai menjabat bupati selama dua periode—masih terus memburu kekuasaan politik dengan mencalonkan diri jadi anggota legislatif dari Partai Gerindra. Setelah “niscaya” terpilih, dia pun terpilih lagi sebagai ketua DPRD Kabupaten Bangkalan (2014-2019).

Terbayang: pemerintahan macam apa jika sang bupati adalah anaknya dan sang ketua DPR adalah bapaknya? Bagi masyarakat tradisional Islam Madura, kondisi seperti itu niscaya jika yang menjabat (bupati dan ketua DPRD)-nya adalah keturunan Syaikhona Kholil.

*** Persoalannya, memerintah sebuah negara demokrasi modern tentu saja butuh manajemen modern. Transparansi dan antikorupsi adalah sebuah keharusan. Manajemen modern sebuah pemerintahan tentu saja tidak bisa beriringan dengan “manajemen privilese” dari orang-orang yang diuntungkan garis keturunan. Di situlah problem yang menimpa Fuad Amin dan Ibnu Fuad.

Privilese keturunan Syaikhona Kholil yang semestinya dimanfaatkan untuk dakwah Islamiyah, ia manfaatkan untuk kekuasaan politik. Yang namanya politik dan kekuasaan— pinjam istilah Hannah Arendt—adalah “lembah setan”. Jika orang itu tak mampu mengusir setan, ia akan dimanfaatkan setan. Fuad tampaknya tidak mampu mengusir setan tersebut. Akhirnya ia pun dimanfaatkan setan untuk memperkokoh kekuasaannya dengan segala cara.

Salah satunya menumpuk harta dengan cara korupsi. Di pihak lain, KPK sebagai lembaga antirasuah yang legitimate, tidak pernah memandang siapa koruptor yang harus ditangkapnya. Bagi KPK, koruptor tetaplah koruptor meski dia pejabat daerah atau keturunan darah biru ulama tradisional. Ketika memasuki dunia pemerintahan modern, Fuad, sang ketua DPRD Kabupaten Bangkalan, adalah pejabatpublikyangharusdiawasi sepak terjangnya.

Dari pengawasan itulah, kemudian Fuad terbukti melakukan banyak kesalahan, terutama korupsi, dengan menggunakan wewenangnya sebagai “penguasa”—bukan wewenang sebagai keturunan Syaikhona. Akhirnya kasus Fuad menjadi pelajaran bahwa privilese seorang anak manusia berdasarkan garis keturunan bukanlah segalanya dan bisa dimanfaatkan untuk segalanya.

Perbuatan baik tetaplah menjadi yang terbaik bagi manusia. Allah telah menyatakan dalam Alquran bahwa nilai seseorang ditentukan takwanya. ”Sungguh orang yang paling mulia dari kalian adalah orang yang paling bertakwa” (Al- Hujurot: 13). Bukan karena keturunannya!

M Bambang Pranowo
Guru Besar UIN Ciputat/Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7634 seconds (0.1#10.140)