Rupiah & IHSG Kompak
A
A
A
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan indeks harga saham gabungan (IHSG) kompak melemah. Nilai rupiah terkulai dari level Rp12.410 pada penutupan akhir pekan lalu ke level Rp12.705 per USD dan IHSG longsor 52 poin yang dipicu aksi jual investor asing senilai Rp771 miliar pada penutupan perdagangan kemarin.
Mengawali perdagangan awal pekan ini, keperkasaan dolar AS terhadap sejumlah mata uang sudah tidak terbendung. Rupiah langsung melemah pada level Rp12.600 per USD. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS kali ini mencapai titik terendah sejak Agustus 1998. Pelemahan IHSG seperti terkontaminasi oleh kondisi nilai tukar rupiah yang loyo.
Menandai awal perdagangan, indeks langsung anjlok sebesar 36,17 poin atau 0,7% kelevel5.124 seiring dengan koreksi yang cukup dalam pada bursa dunia Wall Street. Posisi indeks makin terjepit hingga penutupan perdagangan pada sesi pertama yang hanya bertengger di level 5.114 atau longsor 45,593 poin atau 0,88%. Investor saham berharap, memasuki perdagangan pada sesi kedua, indeks bakal berbalik, tetapi yang terjadi penurunan makin dalam hingga mencapai 52.001 poin atau 1,01% ke level 5.108 pada penutupan perdagangan kemarin.
Keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam itu tidak hanya terhadap rupiah, tetapi juga dialami mata uang sejumlah negara. Pelemahan nilai kurs rupiah terhadap dolar AS menurut sejumlah analis ekonomi termasuk masih rendah dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia. Dilihat dari sisi year to date rupiah melemah sekitar 3%, sedangkan ringgit Malaysia sudah menembus 7% dan yen Jepang telah mencapai 16%.
Namun dari sisi nilai pelemahan rupiah yang makin lebar, sangat mengganggu. Pelemahan rupiah yang cukup dalam tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi internal dimana risiko perekonomian nasional meningkat akibat laju angka inflasi yang tinggi. Sebagaimana diprediksi Bank Indonesia (BI), laju angka inflasi akan bertengger di level 7,7 % hingga 8,1% sebagai dampak kenaikan dari harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp2.000 per liter pada bulan lalu.
Selain itu juga dipicu sejumlah perusahaan yang ramai-ramai membeli dolar sebelum akhir tahun. Faktor lainnya, sedang terjadi penarikan dana oleh investor asing. Dalam dua pekan pada Desember ini, berdasarkan data Kementerian Keuangan, penarikan dana investor terjadi pada pasar obligasi yang mencapai Rp10,09 triliun atau sebesar USD 801 juta.
Sementara itu, keperkasaan dolar AS dari sisi eksternal, pemicunya cukup kompleks. Mulai dari kecemasan para investor global akan potensi kenaikan suku bunga di AS yang semakin dekat, yang memaksa investor berburu mata uang dolar AS, hingga faktor yang tak bisa dihindari, yaitu anjloknya harga minyak dunia yang merupakan indikasi pelemahan ekonomi global.
Fakta lain yang sulit terbantahkan adalah mulai bangkit kembalinya perekonomian AS yang sempat terpuruk akibat terjangan krisis finansial pada 2008. Sebuah survei yang digelar Thomson Reuters/University of Michigan melansir penciptaan lapangan kerja semakin pesat dalam delapan tahun terakhir ini di AS. Pelemahan nilai tukar rupiah yang begitu tajam dinilai sudah tahap mengkhawatirkan.
Mengutip pernyataan ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetiantono, rupiah sudah berada pada level yang tidak wajar. Pemerintah harus mencari solusi yang tepat untuk menarik nilai tukar rupiah pada posisi ideal sekitar Rp12.500 per USD. Namun kenyataannya pemerintah masih terlihat tenang meski rupiah kini sudah tembus pada level Rp12.700 per USD.
Simak saja komentar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) yang menyatakan pelemahan rupiah ini menimbulkan dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Bahkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memprediksi nilai tukar akan menguat ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 sudah disepakati DPR.
Pernyataan Wapres JK yang terkesan santai soal nilai tukar rupiah itu memang tidak salah karena baik buat eksportir dan negatif bagi importir yang pada ujungnya bisa menekan defisit neraca perdagangan. Tapi, jangan lupa, sisi lain dari pelemahan rupiah yang perlu diwaspadai adalah potensi peningkatan risiko perusahaan swasta di Indonesia. Pasalnya, utang luar negeri perusahaan swasta semakin besar belakangan ini yang menembus sekitar USD159 miliar per September 2014.
Mengawali perdagangan awal pekan ini, keperkasaan dolar AS terhadap sejumlah mata uang sudah tidak terbendung. Rupiah langsung melemah pada level Rp12.600 per USD. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS kali ini mencapai titik terendah sejak Agustus 1998. Pelemahan IHSG seperti terkontaminasi oleh kondisi nilai tukar rupiah yang loyo.
Menandai awal perdagangan, indeks langsung anjlok sebesar 36,17 poin atau 0,7% kelevel5.124 seiring dengan koreksi yang cukup dalam pada bursa dunia Wall Street. Posisi indeks makin terjepit hingga penutupan perdagangan pada sesi pertama yang hanya bertengger di level 5.114 atau longsor 45,593 poin atau 0,88%. Investor saham berharap, memasuki perdagangan pada sesi kedua, indeks bakal berbalik, tetapi yang terjadi penurunan makin dalam hingga mencapai 52.001 poin atau 1,01% ke level 5.108 pada penutupan perdagangan kemarin.
Keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam itu tidak hanya terhadap rupiah, tetapi juga dialami mata uang sejumlah negara. Pelemahan nilai kurs rupiah terhadap dolar AS menurut sejumlah analis ekonomi termasuk masih rendah dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia. Dilihat dari sisi year to date rupiah melemah sekitar 3%, sedangkan ringgit Malaysia sudah menembus 7% dan yen Jepang telah mencapai 16%.
Namun dari sisi nilai pelemahan rupiah yang makin lebar, sangat mengganggu. Pelemahan rupiah yang cukup dalam tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi internal dimana risiko perekonomian nasional meningkat akibat laju angka inflasi yang tinggi. Sebagaimana diprediksi Bank Indonesia (BI), laju angka inflasi akan bertengger di level 7,7 % hingga 8,1% sebagai dampak kenaikan dari harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp2.000 per liter pada bulan lalu.
Selain itu juga dipicu sejumlah perusahaan yang ramai-ramai membeli dolar sebelum akhir tahun. Faktor lainnya, sedang terjadi penarikan dana oleh investor asing. Dalam dua pekan pada Desember ini, berdasarkan data Kementerian Keuangan, penarikan dana investor terjadi pada pasar obligasi yang mencapai Rp10,09 triliun atau sebesar USD 801 juta.
Sementara itu, keperkasaan dolar AS dari sisi eksternal, pemicunya cukup kompleks. Mulai dari kecemasan para investor global akan potensi kenaikan suku bunga di AS yang semakin dekat, yang memaksa investor berburu mata uang dolar AS, hingga faktor yang tak bisa dihindari, yaitu anjloknya harga minyak dunia yang merupakan indikasi pelemahan ekonomi global.
Fakta lain yang sulit terbantahkan adalah mulai bangkit kembalinya perekonomian AS yang sempat terpuruk akibat terjangan krisis finansial pada 2008. Sebuah survei yang digelar Thomson Reuters/University of Michigan melansir penciptaan lapangan kerja semakin pesat dalam delapan tahun terakhir ini di AS. Pelemahan nilai tukar rupiah yang begitu tajam dinilai sudah tahap mengkhawatirkan.
Mengutip pernyataan ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetiantono, rupiah sudah berada pada level yang tidak wajar. Pemerintah harus mencari solusi yang tepat untuk menarik nilai tukar rupiah pada posisi ideal sekitar Rp12.500 per USD. Namun kenyataannya pemerintah masih terlihat tenang meski rupiah kini sudah tembus pada level Rp12.700 per USD.
Simak saja komentar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) yang menyatakan pelemahan rupiah ini menimbulkan dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Bahkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memprediksi nilai tukar akan menguat ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 sudah disepakati DPR.
Pernyataan Wapres JK yang terkesan santai soal nilai tukar rupiah itu memang tidak salah karena baik buat eksportir dan negatif bagi importir yang pada ujungnya bisa menekan defisit neraca perdagangan. Tapi, jangan lupa, sisi lain dari pelemahan rupiah yang perlu diwaspadai adalah potensi peningkatan risiko perusahaan swasta di Indonesia. Pasalnya, utang luar negeri perusahaan swasta semakin besar belakangan ini yang menembus sekitar USD159 miliar per September 2014.
(bbg)