Intelektual Koruptor

Jum'at, 12 Desember 2014 - 09:47 WIB
Intelektual Koruptor
Intelektual Koruptor
A A A
Sebanyak 10 profesor dan 200 doktor terjebak kasus korupsi. Demikian fakta yang diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas saat menjadi pembicara disebuah acara di Yogyakarta(10/12).

Siapa pun yang membaca berita tersebut sudah pasti serta-merta mengernyitkan dahi. Korupsi memang sudah menjadi kelaziman bagi bangsa ini. Sudah banyak kepala daerah, pejabat, politisi, ataupun pengusaha yang dijebloskan ke penjara karena mengambil dan turut menikmati uang haram. Tapi, jika korupsi dilakukan oleh mereka yang mempunyai predikat intelektual, tentu patut menjadi keprihatinan.

Apalagi korupsi bukan hanya dilakukan di luar kampus, tapi juga di dalam kampus yang notabene center of excellence. Mereka yang sudah matang secara keilmuan pun masih mudah silau dengan godaan materi, termasuk mengambil atau menikmati materi yang bukan haknya. Itu sekaligus menunjukkan korupsi sudah seperti kanker ganas yang menggerogoti bangsa ini.

Akibat keganasan korupsi tersebut, banyak orang kehilangan nurani dan rasionalitasnya, termasuk kaum intelektual. Padahal, korupsi itu memalukan dan bisa membawa aib yang bakal menghantui sepanjang hidup mereka yang mendapat stempel koruptor. Almamater yang membesarkan mereka pun ikut terseret dan tercemar.

Keterlibatan para intelektual dalam tindak pidana korupsi menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satunya, bagaimana mereka bisa alpa dari tuntutan integritas yang melekat pada statusnya sehingga nekat menabrak rambu-rambu hukum dan moralitas yang sejatinya sudah sangat mereka pahami? Umumnya, jawaban berkisar pada dua asumsi.

Pertama, sistem terutama politik dan birokrasi di negara ini sudah sedemikian prokorupsi sehingga para intelektual yang terjun di dalamnya tidak punya pilihan lain selain harus mengikuti irama yang terbangun dari sistem tersebut. Kedua, perilaku tersebut kembali pada individu karena intelektualitas tidak selalu linear dengan integritas. Tetapi, bagi seorangdengancapintelektual, apapunkondisinya sangat tidak bisa dipahami bahkan dimaafkan bila mereka terjebak korupsi karena etika dan tanggung jawab yang melekat kepada mereka.

Noam Chomsky mengingatkan tanggung jawab intelektual jauh lebih dalam ketimbang orang biasa. Sharif Shaary, budayawan negeri jiran, menyebut intelektual adalah mereka mengembangkan dan menyumbang gagasan untuk kesejahteraan masyarakat. Intelektual adalah mereka yang mengenali dan memperjuangkan kebenaran meski menghadapi tekanan dan ancaman.

Berangkat dari pemahaman ini, para intelektual sudah sepatutnya menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai orientasi utama. Dengan demikian, mereka sudah seharusnya menjadi oposan kontrakorupsi yang sudah jelas menghancurkan kesejahteraan masyarakat dan sendi kehidupan bangsa ini. Di mana pun mereka berada, tak boleh goyah memperjuangkan tuntutan kebenaran.

Para intelektual yang memilih tetap di kampus harus menanamkan budaya antikorupsi kepada anak didik dan menyebarkannya ke khalayak melalui buah pikiran. Intelektual yang terjun di politik atau birokrasi hendaknya memimpin transformasi, termasuk membangun budaya antikorupsi dan mendesain sistem yang bisa menetralisasi perilaku koruptif.

Namun, tidak mudah mewujudkan tuntutan idealitas tersebut. Fakta yang dibeber KPK menunjukkan dengan mudahnya intelektual terbawa arus koruptif. Itu sekaligus menjadi peringatan intelektual lain untuk tidak ikut-ikutan mengkhianati intelektualitasnya. Kecuali, ada yang juga ingin mendapat status intelektual koruptor.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0521 seconds (0.1#10.140)