Konsekuensi Penenggelaman Kapal
A
A
A
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan sumber daya alam dan wilayah perairan luas. Namun, patroli laut yang dimiliki Indonesia tidak maksimal sehingga sering terdapat kapal nelayan asing yang tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan secara diam-diam di wilayah perairan Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa lemahnya pengawasan wilayah perairan mengakibatkan Indonesia merugi hingga triliunan rupiah per tahun. Pemerintahan Jokowi-JK ingin melakukan pembenahan dan penegakan hukum di wilayah kedaulatan Indonesia.
Namun, langkah yang ditempuh pemerintahan Jokowi-JK dianggap cukup kontroversial dengan melakukan tindakan pembakaran, pengeboman, penembakan, dan penenggelaman terhadap kapal nelayan asing yang melanggar kedaulatan RI. Kalau tindakan itu dianggap “shock therapy“, itu hanya dilakukan sementara saja.
Dalam waktu lama harus dilakukan cara yang sesuai dengan due process of law. Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), suatu negara memiliki kedaulatan di dalam wilayah laut teritorial, zona tambahan, landas kontinen, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan perairan pedalaman.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS memiliki kewenangan dan kedaulatan untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan kepentingan dalam negeri di wilayah perairan perbatasan dengan negara lain. Dalam upaya penegakan hukum tersebut, Indonesia harus menyelaraskan ketentuan hukum nasional dengan ketentuan hukum internasional.
Terlebih usulan untuk melakukan penenggelaman kapal nelayan asing yang mencuri ikan secara melanggar hukum oleh Pemerintah RI juga harus mengikuti ketentuan hukum internasional. Harus dipikirkan dampaknya karena upaya penenggelaman kapal nelayan asing tersebut dapat menimbulkan ketegangan politis yang dapat berujung terciptanya konflik bersenjata di wilayah perairan yang berbatasan dengan negara tetangga. Hal itu tentu saja harus dicegah mengingat Indonesia menganut politik bebas dan aktif.
Aturan Yang Berlaku
Tindakan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin serta mengeksploitasi kekayaan alam di dalamnya tentu melanggar kedaulatan negara Indonesia. Untuk itu, harus ada penegakan hukum yang tegas berupa penangkapan nelayan asing beserta kapalnya untuk diproses secara hukum di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 UU Nomor 45/ 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan), bahwa kapal pengawas perikanan yang bertugas mengawasi dan menegakkan hukum di bidang perikanan harus mempunyai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan tindakan membawa kapal ke pelabuhan terdekat yang dicurigai melakukan pencurian ikan.
Apabila kapal berbendera asing itu tidak memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) untuk menangkap ikan di perairan Indonesia dan diyakini melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia, barulah dapat dilakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan tadi.
Penenggelaman kapal tentu dilakukan setelah awak kapal atau nelayan asing tersebut diselamatkan dan diproses hukum. Tindakan ini diperlukan agar tidak mengulang terjadinya pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (4) huruf (k) dan Pasal 73 UNCLOS, Indonesia sebagai negara kepulauan memang diberi hak untuk menegakkan hukum didalam wilayah ZEE apabila adanya atau terciptanya pelanggaran hukum di dalam wilayah tersebut.
Namun, Pasal 73 (3) UNCLOS mengatur hukuman yang dijatuhkan negara pantai terhadap tindak pidana di wilayah ZEE tidak boleh mencakup hukuman badan: “Coastal state penalties for violations of fisheries lawsandregulationsintheexclusive economic zone may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the StatesConcerned, oranyotherform of corporal punishment.”
Indonesia hanya dapat memberlakukan hukuman badan kalau sudah menandatangani perjanjian bilateral dengan negara lain. Kapal nelayan asing yang melakukan pencurian ikan dapat didenda dan kemudian nelayan asing kapal tersebut dapat dideportasi ke negara asalnya. Tindakan tersebut disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 73 ayat (4) yang menyatakan dalam hal terjadi penangkapan nelayan kapal asing sebelumnya harus melakukan pemberitahuan secara resmi kepada negara asal nelayan kapal asing.
Pemberitahuan secara resmi tersebut antara lain menyatakan bahwa telah terjadi tindakan pencurian oleh nelayan negara terkait dan hukuman telah dijatuhkan kepada nelayan negara terkait yang melakukan pencurian ikan. Jadi, menenggelamkan kapal pencuri ikan asing adalah upaya terakhir (ultimum remedium) setelah kapal itu mencoba melarikan diri setelah diberi peringatan dan mencoba melawan dengan menembak balik kapal pengawas perikanan milik Indonesia.
Perlu diingat juga bahwa perbuatan penembakan terhadap kapal milik negara lain juga menyalahi ketentuan Piagam PBB yang mengikat Indonesia sebagai anggota PBB. Sebagai “peace loving country“, Indonesia harus menyelesaikan setiap konflik yang timbul secara damai. Karena itu, bentuk penembakan dan penenggelaman kapal milik asing jelas bukan merupakan cara menyelesaikan konflik dengan damai dan bukan merupakan ciri dari negara yang beradab (civilized nation).
Aksi tersebut dapat mengakibatkan tegangnya hubungan politis seperti layaknya yang terjadi pada Filipina dengan Taiwan pada 2013 dan Republik Rakyat China (RRC) dengan Vietnam pada tahun yang sama. Apabila ketegangan politis terus berlanjut, bukan tidak mungkin potensi konflik bersenjata akan terjadi yang tentunya tidak diinginkan karena kita sedang giat melakukan pembangunan nasional dan APBN kita masih defisit.
Penegakan Kedaulatan
Pemerintah RI melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan terobosan-terobosan yang baik sejak dikendalikan di bawah kepemimpinan Jokowi-JK. Namun, perlu diperhatikan bahwa masyarakat nasional dan internasional terus memantau sehingga sebaiknya dalam menegakkan kedaulatan negara di wilayah perairannya, RI sebagai negara hukum (rechtsstaat) haruslah menggunakan cara-cara yang sesuai dengan proses penegakan hukum yang wajar dan tidak main hakim sendiri.
Sudah bukan rahasia lagi kita menerapkan standar ganda terhadap hukuman mati, ketika WNI melakukan kejahatan di luar negeri kita berteriak keras minta hukuman mati dihilangkan, tetapiketikaorangasingmelakukan kejahatan di Indonesia kita ingin segera dieksekusi untuk mengurangi dan menanggulangi kejahatan.
Persetujuan pemerintahmengeksekusi80narapidana yang dihukum mati barubaru ini perlu diperhatikan apakah mereka telah menjalani hukuman penjara 10 tahun atau lebih. Kalau ada, maka kita telah melanggar sila kedua Pancasila tentang kemanusiaan yang adil dan beradab karena mereka telah dihukum dua kali dan di luar perikemanusiaan.
Penembakan terhadap kapal dan para pencuri ikan asing oleh karena itu harus dilakukan sesuai dengan hukum nasional dan internasional. Tindakan menembak dan menenggelamkan kapal pencuri ikan asing juga harus memperhitungkan bahwa kapal nelayan kita yang beroperasi di wilayah negara pantai tetangga akan diperlakukan sama.
Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap potensi terjadinya ketegangan politik yang rentan hadir apabila memilih cara-cara yang tidak beradab untuk menyelesaikan konflik. Karena jika tidak, ketegangan politik dapat tercipta sehingga dapat memicu pecahnya konflik bersenjata atau bahkan perang antara Indonesia dan negara tetangga. Akhir kata, tindakan tegas perlu diambil dengan proses hukum yang memenuhi due process of law dan beradab.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa lemahnya pengawasan wilayah perairan mengakibatkan Indonesia merugi hingga triliunan rupiah per tahun. Pemerintahan Jokowi-JK ingin melakukan pembenahan dan penegakan hukum di wilayah kedaulatan Indonesia.
Namun, langkah yang ditempuh pemerintahan Jokowi-JK dianggap cukup kontroversial dengan melakukan tindakan pembakaran, pengeboman, penembakan, dan penenggelaman terhadap kapal nelayan asing yang melanggar kedaulatan RI. Kalau tindakan itu dianggap “shock therapy“, itu hanya dilakukan sementara saja.
Dalam waktu lama harus dilakukan cara yang sesuai dengan due process of law. Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), suatu negara memiliki kedaulatan di dalam wilayah laut teritorial, zona tambahan, landas kontinen, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan perairan pedalaman.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS memiliki kewenangan dan kedaulatan untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan kepentingan dalam negeri di wilayah perairan perbatasan dengan negara lain. Dalam upaya penegakan hukum tersebut, Indonesia harus menyelaraskan ketentuan hukum nasional dengan ketentuan hukum internasional.
Terlebih usulan untuk melakukan penenggelaman kapal nelayan asing yang mencuri ikan secara melanggar hukum oleh Pemerintah RI juga harus mengikuti ketentuan hukum internasional. Harus dipikirkan dampaknya karena upaya penenggelaman kapal nelayan asing tersebut dapat menimbulkan ketegangan politis yang dapat berujung terciptanya konflik bersenjata di wilayah perairan yang berbatasan dengan negara tetangga. Hal itu tentu saja harus dicegah mengingat Indonesia menganut politik bebas dan aktif.
Aturan Yang Berlaku
Tindakan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin serta mengeksploitasi kekayaan alam di dalamnya tentu melanggar kedaulatan negara Indonesia. Untuk itu, harus ada penegakan hukum yang tegas berupa penangkapan nelayan asing beserta kapalnya untuk diproses secara hukum di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 UU Nomor 45/ 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan), bahwa kapal pengawas perikanan yang bertugas mengawasi dan menegakkan hukum di bidang perikanan harus mempunyai bukti permulaan yang cukup untuk melakukan tindakan membawa kapal ke pelabuhan terdekat yang dicurigai melakukan pencurian ikan.
Apabila kapal berbendera asing itu tidak memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) untuk menangkap ikan di perairan Indonesia dan diyakini melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia, barulah dapat dilakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan tadi.
Penenggelaman kapal tentu dilakukan setelah awak kapal atau nelayan asing tersebut diselamatkan dan diproses hukum. Tindakan ini diperlukan agar tidak mengulang terjadinya pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (4) huruf (k) dan Pasal 73 UNCLOS, Indonesia sebagai negara kepulauan memang diberi hak untuk menegakkan hukum didalam wilayah ZEE apabila adanya atau terciptanya pelanggaran hukum di dalam wilayah tersebut.
Namun, Pasal 73 (3) UNCLOS mengatur hukuman yang dijatuhkan negara pantai terhadap tindak pidana di wilayah ZEE tidak boleh mencakup hukuman badan: “Coastal state penalties for violations of fisheries lawsandregulationsintheexclusive economic zone may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the StatesConcerned, oranyotherform of corporal punishment.”
Indonesia hanya dapat memberlakukan hukuman badan kalau sudah menandatangani perjanjian bilateral dengan negara lain. Kapal nelayan asing yang melakukan pencurian ikan dapat didenda dan kemudian nelayan asing kapal tersebut dapat dideportasi ke negara asalnya. Tindakan tersebut disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 73 ayat (4) yang menyatakan dalam hal terjadi penangkapan nelayan kapal asing sebelumnya harus melakukan pemberitahuan secara resmi kepada negara asal nelayan kapal asing.
Pemberitahuan secara resmi tersebut antara lain menyatakan bahwa telah terjadi tindakan pencurian oleh nelayan negara terkait dan hukuman telah dijatuhkan kepada nelayan negara terkait yang melakukan pencurian ikan. Jadi, menenggelamkan kapal pencuri ikan asing adalah upaya terakhir (ultimum remedium) setelah kapal itu mencoba melarikan diri setelah diberi peringatan dan mencoba melawan dengan menembak balik kapal pengawas perikanan milik Indonesia.
Perlu diingat juga bahwa perbuatan penembakan terhadap kapal milik negara lain juga menyalahi ketentuan Piagam PBB yang mengikat Indonesia sebagai anggota PBB. Sebagai “peace loving country“, Indonesia harus menyelesaikan setiap konflik yang timbul secara damai. Karena itu, bentuk penembakan dan penenggelaman kapal milik asing jelas bukan merupakan cara menyelesaikan konflik dengan damai dan bukan merupakan ciri dari negara yang beradab (civilized nation).
Aksi tersebut dapat mengakibatkan tegangnya hubungan politis seperti layaknya yang terjadi pada Filipina dengan Taiwan pada 2013 dan Republik Rakyat China (RRC) dengan Vietnam pada tahun yang sama. Apabila ketegangan politis terus berlanjut, bukan tidak mungkin potensi konflik bersenjata akan terjadi yang tentunya tidak diinginkan karena kita sedang giat melakukan pembangunan nasional dan APBN kita masih defisit.
Penegakan Kedaulatan
Pemerintah RI melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan terobosan-terobosan yang baik sejak dikendalikan di bawah kepemimpinan Jokowi-JK. Namun, perlu diperhatikan bahwa masyarakat nasional dan internasional terus memantau sehingga sebaiknya dalam menegakkan kedaulatan negara di wilayah perairannya, RI sebagai negara hukum (rechtsstaat) haruslah menggunakan cara-cara yang sesuai dengan proses penegakan hukum yang wajar dan tidak main hakim sendiri.
Sudah bukan rahasia lagi kita menerapkan standar ganda terhadap hukuman mati, ketika WNI melakukan kejahatan di luar negeri kita berteriak keras minta hukuman mati dihilangkan, tetapiketikaorangasingmelakukan kejahatan di Indonesia kita ingin segera dieksekusi untuk mengurangi dan menanggulangi kejahatan.
Persetujuan pemerintahmengeksekusi80narapidana yang dihukum mati barubaru ini perlu diperhatikan apakah mereka telah menjalani hukuman penjara 10 tahun atau lebih. Kalau ada, maka kita telah melanggar sila kedua Pancasila tentang kemanusiaan yang adil dan beradab karena mereka telah dihukum dua kali dan di luar perikemanusiaan.
Penembakan terhadap kapal dan para pencuri ikan asing oleh karena itu harus dilakukan sesuai dengan hukum nasional dan internasional. Tindakan menembak dan menenggelamkan kapal pencuri ikan asing juga harus memperhitungkan bahwa kapal nelayan kita yang beroperasi di wilayah negara pantai tetangga akan diperlakukan sama.
Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap potensi terjadinya ketegangan politik yang rentan hadir apabila memilih cara-cara yang tidak beradab untuk menyelesaikan konflik. Karena jika tidak, ketegangan politik dapat tercipta sehingga dapat memicu pecahnya konflik bersenjata atau bahkan perang antara Indonesia dan negara tetangga. Akhir kata, tindakan tegas perlu diambil dengan proses hukum yang memenuhi due process of law dan beradab.
(bbg)