Peningkatan Anggaran Kunker DPR Bisa Disalahgunakan
A
A
A
JAKARTA - Meningkatnya anggaran kunjungan kerja (kunker) bagi anggota DPR periode 2014-2019, berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan lain, selain tujuan kunker itu sendiri.
Hal demikian dikatakan peneliti Indonesia Budgeting Center (IBC) Roy Salam, dalam diskusi bertajuk 'Mengevaluasi Kinerja DPR masa sidang perdana di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Kamis 4 Desember 2014.
Sebab menurut dia, tidak ada transparansi dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR mengenai alasan penambahan anggaran itu.
Sekadar diketahui, Anggota DPR periode 2014-2019 bakal memperoleh biaya kunker sebesar Rp188,44 juta per orang pada setiap masa reses, mulai tahun 2015. Untuk tahun 2014, sebesar Rp160,91 juta per orang.
Anggaran kunker 2014 meningkat 47 persen dibandingkan alokasi anggaran tahun 2013 atau naik empat kali lipat (332 persen) dibandingkan tahun 2010.
Peningkatan anggaran terjadi karena tambahan jumlah kegiatan dalam setiap rangkaian kunker anggota DPR ke daerah pemilihan (dapil) menjadi 19 kegiatan.
"Adanya penambahan jumlah kegiatan setiap kali kunker terkesan suka-suka BURT. Sehingga berdampak pada pembengkakan anggaran tanpa ada ukuran hasil yang jelas dari penggunaan anggaran," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, model penganggaran kunker seperti itu akan menciptakan pemborosan. Sebab, tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan negara.
"Meningkatnya anggaran kunker DPR setiap tahun sejatinya meningkatkan kualitas representasi DPR dan memberi manfaat positif bagi konstituen di Dapil. Besarnya anggaran belum sebanding dengan manfaat reses," imbuhnya.
Dirinya menjelaskan, mayoritas 70 persen anggota DPR tidak melakukan kunjungan ke Dapil pada saat reses. Hal itu menurut data riset Formappi tahun 2014.
Dikatakannya, hanya 11 persen anggota yang melakukan kunjungan penuh, dan hanya 6 persen yang melakukan kunjungan selama tiga kali saat reses.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban kunker masih menjadi persoalan anggota DPR. Terlebih, belum menjadi keharusan anggota untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kunker ke publik.
"Belum banyak anggota DPR yang memiliki inisiatif dan bersedia menyampaikan laporan penggunaan dana reses. Baik itu mengenai pertanggungjawaban atas hasil penyerapan aspirasi konstituen maupun soal penggunaan anggaran," pungkasnya.
Hal demikian dikatakan peneliti Indonesia Budgeting Center (IBC) Roy Salam, dalam diskusi bertajuk 'Mengevaluasi Kinerja DPR masa sidang perdana di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Kamis 4 Desember 2014.
Sebab menurut dia, tidak ada transparansi dari Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR mengenai alasan penambahan anggaran itu.
Sekadar diketahui, Anggota DPR periode 2014-2019 bakal memperoleh biaya kunker sebesar Rp188,44 juta per orang pada setiap masa reses, mulai tahun 2015. Untuk tahun 2014, sebesar Rp160,91 juta per orang.
Anggaran kunker 2014 meningkat 47 persen dibandingkan alokasi anggaran tahun 2013 atau naik empat kali lipat (332 persen) dibandingkan tahun 2010.
Peningkatan anggaran terjadi karena tambahan jumlah kegiatan dalam setiap rangkaian kunker anggota DPR ke daerah pemilihan (dapil) menjadi 19 kegiatan.
"Adanya penambahan jumlah kegiatan setiap kali kunker terkesan suka-suka BURT. Sehingga berdampak pada pembengkakan anggaran tanpa ada ukuran hasil yang jelas dari penggunaan anggaran," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, model penganggaran kunker seperti itu akan menciptakan pemborosan. Sebab, tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan negara.
"Meningkatnya anggaran kunker DPR setiap tahun sejatinya meningkatkan kualitas representasi DPR dan memberi manfaat positif bagi konstituen di Dapil. Besarnya anggaran belum sebanding dengan manfaat reses," imbuhnya.
Dirinya menjelaskan, mayoritas 70 persen anggota DPR tidak melakukan kunjungan ke Dapil pada saat reses. Hal itu menurut data riset Formappi tahun 2014.
Dikatakannya, hanya 11 persen anggota yang melakukan kunjungan penuh, dan hanya 6 persen yang melakukan kunjungan selama tiga kali saat reses.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban kunker masih menjadi persoalan anggota DPR. Terlebih, belum menjadi keharusan anggota untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kunker ke publik.
"Belum banyak anggota DPR yang memiliki inisiatif dan bersedia menyampaikan laporan penggunaan dana reses. Baik itu mengenai pertanggungjawaban atas hasil penyerapan aspirasi konstituen maupun soal penggunaan anggaran," pungkasnya.
(maf)