Sistem Pembayaran dan Risiko Sistemik
A
A
A
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
Ben Bernanke, Timothy Geithner, dan Hank Paulson tengah dimintakan pertanggungjawaban atas kebijakan yang mereka ambil semasa menjabat di Amerika Serikat.
Pertanggungjawaban yang diminta seputar apakah kebijakan yang diambil saat krisis ekonomi global merupakan langkah untuk mengantisipasi risiko sistemik yang tengah terjadi. Pertanyaan tentang risiko sistemik menjadi sangat penting dalam kasus mereka. Jangan-jangan mereka hanya mencoba menolong perusahaan-perusahaan tertentu dan membangkrutkan perusahaan-perusahaan lain. Sementara mereka tidak pernah membereskan permasalahan utama dari risiko sistemik itu seperti kemudahan perizinan bagi produk keuangan yang berpotensi risiko sistemik.
Perdagangan produk keuangan hanya diizinkan pada pasar terorganisasi yang berfungsi sebagai pusat kliring (clearing house ). Transaksi yang sering disebut pembelian bebas (OTC), yang dapat dilakukan secara bilateral, harus dihapuskan. Langkah ini penting, di satu sisi, untuk memastikan transparansi yang layak di pasar. Di sisi lain, ini akan membantu menstabilisasi sistem keuangan.
Sebab itu, transaksi derivatif dengan volume yang besar diperdagangkan hanya melalui kontrak bilateral antar lembaga keuangan individual. Ini berlaku, contohnya, bagi pasarbesar untuk pertukaran kredit macet (credit default swaps/CDS). Kontrak ini dapat dilihat sebagai bentuk dari asuransi kredit terhadap kegagalan peminjam untuk membayar.
Satu pihak di kontrak membayar ke pihak lain jumlah premium atas penerimaan jumlah yang disepakati jika terjadi kredit macet (credit default). Sumber yang tepercaya mengindikasikan bahwa di beberapa tahun terakhir pasar CDS telah bertumbuh nilainya hingga lebih dari USD60 triliun atau sekitar output tahunan ekonomi global. Transaksi turunan lain juga ternyata berjumlah sangat besar.
Namun, ada masalah yang mengikuti transaksi OTC ini. Pertama, ketidakjelasan peserta pasar mana yang memegang posisi apa dan apakah ini cenderung berisiko sistemik dalam tingkat keseluruhan. Kedua, saat terjadi kebangkrutan dari salah satu mitra dagang OTC, ada risiko bahwa yang lain akan kehilangan cakupan asuransinya jika turunannya (derivatif) telah digunakan sebagai instrumen perlindungan nilai (hedging).
Pada masa lalu peserta pasar dengan membabibuta berasumsi bahwa mitra OTC akan selalu mampu menangani ke-bocoran hingga ke langkah yang diperlukan. Dasar pandangan ini adalah strategi bisnis telah diklasifikasikan aman jika seseorang menggunakan turunan untuk perlindungan nilai terhadap risiko meskidari sudut pandang makroekonomi seharusnya sudah sangat jelas bahwa tidak demikian keadaannya.
John Stuart Mill mengingatkan: “All the natural monopolies (meaning thereby those which are created by circumstances, and not by law) which produce or aggravate the disparities in the remuneration of different kinds of labour, operate similarly between different employments of capital.” Itulah yang akhirnya menjadi dasar ekonomi dari sistem pembayaran dan serah yang efisien.
Dalam operasi moneter di mana salah satu fungsi uang adalah alat pertukaran, operasi pembayaran dan penyerahan harus memperlancar arus barang dan jasa akibat pertukaran. Sistem moneter harus menjaga fungsi uang sebagai alat tukar secara efisien sehingga kebijakan moneter yang memengaruhi likuiditas perekonomian menjadi sangat efektif dalam menekan biaya tinggi yang mungkin disebabkan oleh sistem pembayaran dan penyerahan.
Bukanhanyaitu, banksentral juga berkewajiban menjaga agar sistem pembayaran dan penyerahan berlangsung secara likuid, transparan, dan efisien. Bank sentral harus menjamin bahwa proses gagal bayar dan/atau gagal serah dapat dilakukan seminimal mungkin dengan biaya yang juga seefisien mungkin.
Kepercayaan publik terhadap uang juga dipengaruhi seberapa andal sistem pembayaran dan penyerahan dalam mendukung fungsi uang sebagai alat pertukaran (termasuk alat tukar nonuang lain). Permasalahannya, kondisi Indonesia berpotensi akan mengalami inefisiensi. Trade off terjadi antara inefisiensi, pengawasan, dan risiko sistemik itu. Implikasinya, kelembagaan sistem pembayaran harus berorientasi tata kelola perusahaan yang baik sehingga secara sistem terjadi endogenisasi pengelolaan risiko.
Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham.
Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan seperti sudut pandang pemangku kepentingan yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak lain selain pemegang saham misalnya karyawan atau lingkungan. Kritik akan tata kelola perusahaan yang secara sempit hanya memperhatikan nilai pemegang saham telah berkembang cukup besar sejak krisis subprima.
Model manajemen perusahaan harus direintegrasikan ke dalam konteks sosial tertentu. Interaksi sejumlah pemegang saham di perusahaan terutama para pegawai tetapi juga tentunya pemegang saham menawarkan titik awal bagi manajemen perusahaan yang tidak hanya efisien, tetapi juga stabil. Tata kelola perusahaan dalam istilah ini didasarkan dari pendapat bahwa kesuksesan ekonomi perusahaan bergantung pada berbagai peserta yang juga harus memainkan peranan dalam manajemen perusahaan.
President Director Center for Banking Crisis
Ben Bernanke, Timothy Geithner, dan Hank Paulson tengah dimintakan pertanggungjawaban atas kebijakan yang mereka ambil semasa menjabat di Amerika Serikat.
Pertanggungjawaban yang diminta seputar apakah kebijakan yang diambil saat krisis ekonomi global merupakan langkah untuk mengantisipasi risiko sistemik yang tengah terjadi. Pertanyaan tentang risiko sistemik menjadi sangat penting dalam kasus mereka. Jangan-jangan mereka hanya mencoba menolong perusahaan-perusahaan tertentu dan membangkrutkan perusahaan-perusahaan lain. Sementara mereka tidak pernah membereskan permasalahan utama dari risiko sistemik itu seperti kemudahan perizinan bagi produk keuangan yang berpotensi risiko sistemik.
Perdagangan produk keuangan hanya diizinkan pada pasar terorganisasi yang berfungsi sebagai pusat kliring (clearing house ). Transaksi yang sering disebut pembelian bebas (OTC), yang dapat dilakukan secara bilateral, harus dihapuskan. Langkah ini penting, di satu sisi, untuk memastikan transparansi yang layak di pasar. Di sisi lain, ini akan membantu menstabilisasi sistem keuangan.
Sebab itu, transaksi derivatif dengan volume yang besar diperdagangkan hanya melalui kontrak bilateral antar lembaga keuangan individual. Ini berlaku, contohnya, bagi pasarbesar untuk pertukaran kredit macet (credit default swaps/CDS). Kontrak ini dapat dilihat sebagai bentuk dari asuransi kredit terhadap kegagalan peminjam untuk membayar.
Satu pihak di kontrak membayar ke pihak lain jumlah premium atas penerimaan jumlah yang disepakati jika terjadi kredit macet (credit default). Sumber yang tepercaya mengindikasikan bahwa di beberapa tahun terakhir pasar CDS telah bertumbuh nilainya hingga lebih dari USD60 triliun atau sekitar output tahunan ekonomi global. Transaksi turunan lain juga ternyata berjumlah sangat besar.
Namun, ada masalah yang mengikuti transaksi OTC ini. Pertama, ketidakjelasan peserta pasar mana yang memegang posisi apa dan apakah ini cenderung berisiko sistemik dalam tingkat keseluruhan. Kedua, saat terjadi kebangkrutan dari salah satu mitra dagang OTC, ada risiko bahwa yang lain akan kehilangan cakupan asuransinya jika turunannya (derivatif) telah digunakan sebagai instrumen perlindungan nilai (hedging).
Pada masa lalu peserta pasar dengan membabibuta berasumsi bahwa mitra OTC akan selalu mampu menangani ke-bocoran hingga ke langkah yang diperlukan. Dasar pandangan ini adalah strategi bisnis telah diklasifikasikan aman jika seseorang menggunakan turunan untuk perlindungan nilai terhadap risiko meskidari sudut pandang makroekonomi seharusnya sudah sangat jelas bahwa tidak demikian keadaannya.
John Stuart Mill mengingatkan: “All the natural monopolies (meaning thereby those which are created by circumstances, and not by law) which produce or aggravate the disparities in the remuneration of different kinds of labour, operate similarly between different employments of capital.” Itulah yang akhirnya menjadi dasar ekonomi dari sistem pembayaran dan serah yang efisien.
Dalam operasi moneter di mana salah satu fungsi uang adalah alat pertukaran, operasi pembayaran dan penyerahan harus memperlancar arus barang dan jasa akibat pertukaran. Sistem moneter harus menjaga fungsi uang sebagai alat tukar secara efisien sehingga kebijakan moneter yang memengaruhi likuiditas perekonomian menjadi sangat efektif dalam menekan biaya tinggi yang mungkin disebabkan oleh sistem pembayaran dan penyerahan.
Bukanhanyaitu, banksentral juga berkewajiban menjaga agar sistem pembayaran dan penyerahan berlangsung secara likuid, transparan, dan efisien. Bank sentral harus menjamin bahwa proses gagal bayar dan/atau gagal serah dapat dilakukan seminimal mungkin dengan biaya yang juga seefisien mungkin.
Kepercayaan publik terhadap uang juga dipengaruhi seberapa andal sistem pembayaran dan penyerahan dalam mendukung fungsi uang sebagai alat pertukaran (termasuk alat tukar nonuang lain). Permasalahannya, kondisi Indonesia berpotensi akan mengalami inefisiensi. Trade off terjadi antara inefisiensi, pengawasan, dan risiko sistemik itu. Implikasinya, kelembagaan sistem pembayaran harus berorientasi tata kelola perusahaan yang baik sehingga secara sistem terjadi endogenisasi pengelolaan risiko.
Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham.
Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan seperti sudut pandang pemangku kepentingan yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak lain selain pemegang saham misalnya karyawan atau lingkungan. Kritik akan tata kelola perusahaan yang secara sempit hanya memperhatikan nilai pemegang saham telah berkembang cukup besar sejak krisis subprima.
Model manajemen perusahaan harus direintegrasikan ke dalam konteks sosial tertentu. Interaksi sejumlah pemegang saham di perusahaan terutama para pegawai tetapi juga tentunya pemegang saham menawarkan titik awal bagi manajemen perusahaan yang tidak hanya efisien, tetapi juga stabil. Tata kelola perusahaan dalam istilah ini didasarkan dari pendapat bahwa kesuksesan ekonomi perusahaan bergantung pada berbagai peserta yang juga harus memainkan peranan dalam manajemen perusahaan.
(bbg)