Nasib Industri Kreatif Tanpa Menteri
A
A
A
RAMA DATAU GOBEL
Ketua Umum Hipmi Jaya
Pengusaha muda mengapresiasi penunjukan beberapa menteri baru di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Terutama untuk menterimenteri ekonomi yang bersentuhan langsung dengan sektor riil seperti menteri per-dagangan, menteri perindustrian, dan menteri koperasi dan usaha kecil menengah.
Namun, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) juga ikut memberi catatan yakni sektor ekonomi kreatif yang dulu satu payung dengan sektor pariwisata kini tidak jelas di bawah binaan siapa meski industri ini jadi ”jualan” terdepan pasangan Jokowi-JK pada pemilihan presiden (pipres) lalu.
Sebagaimana kebiasaan pengusaha yang tidak suka berlama- lama melihat masalah, Hipmi pun punya pikiran atau solusi yakni bagaimana bila sektor ekonomi kreatif ini dikelola oleh badan atau lembaga sendiri. Sebelum penyusunan struktur kabinet, kami bahkan sempat melempar ide agar ekonomi kreatif ini punya menteri atau badan sendiri biar lebih fokus dan tajam pengelolaannya. Informasi terakhir, ekonomi kreatif akan ”dilindungi” oleh suatu badan.
Kontribusi
Apa pun lembaga pelindung industri ini, pada Era Informasi ekonomi kreatif tidak bisa lagi dipandang sebelah mata kontribusinya atas perekonomian nasional. Data menunjukkan bahwa ekonomi kreatif tidak kalah dibandingkan sektor ekonomi lain dalam berkontribusi terhadap perekonomian di republik ini.
Sektorsektor yang sebelumnya menjadi andalan kini bahkan berangsur- angsur menurun peranannya bagi perekonomian seperti minyak dan gas (migas) dan pertambangan. Mari kita lihat seksinya sektor ini. Saking seksinya, pemerintah menargetkan pertumbuhan di sektor ini mencapai 10% pada 2014.
Terhadap PDB, industri ini ditargetkan menjadi tiga besar kontributor untuk product domestic bruto (PDB). Sebelumnya, ekonomi kreatif menempati posisi ketujuh dari 10 sektor ekonomi nasional dengan menyumbang PDB sebesar 6,9% atau senilai Rp573,89 triliun dari total kontribusi ekonomi nasional.
Tak hanya itu, peranannya dalam penciptaan lapangan kerja juga kian strategis. Ekonomi kreatif menempati posisi keempat dari 10 sektor ekonomi dalam kategori jumlah tenaga kerja pada 2012. Ekonomi kreatif menyumbang 11.799.568 orang atau 10,65% pada total angkatan kerja nasional yang sebesar 110.808.154 orang.
Perkiraan kami menunjukkan usaha di industri ini terdiri atas sekitar 10% dari total jumlah usaha di Indonesia saat ini. Periode 2010-2013 industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari total angkatan kerja nasional. Itu didorong oleh pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri kreatif pada periode tersebut sebesar 1%.
Dengan begitu, jumlah industri kreatif pada 2013 tercatat sebanyak 5,4 juta usaha yang menyerap angkatan kerja sebanyak 12 juta jiwa serta memberikan kontribusi terhadap devisa negara sebesar Rp19 triliun atau sebesar 5,72% dari total ekspor nasional. Di pertengahan tahun ekspor karya kreatif Indonesia sudah mencapai Rp63,1 triliun atau tumbuh sebesar 7,27% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Tantangannya
Terlepas dari ”hilangnya” payung lembaga industri kreatif ini, sejumlah tantangan sudah menanti pemerintah dan dunia usaha di antaranya, pertama, minimnya akses finansial atau pembiayaan terhadap industri ini. Seperti usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lainnya, industri ini belum menjadi primadona bagi lembaga-lembaga keuangan formal untuk dibiayai.
Kerap tidak punya aset dan potensi yang tangible, perbankan takut menyalurkan kredit bagi industri kreatif, apalagi di bidang seni dan perfilman. Ini berbeda dengan pemilik usaha kerajinan tangan yang relatif lebih mudah mendapatkan bantuan pembiayaan dari perbankan ketimbang pelaku usaha kreatif di bidang seni.
Sebab itu, kami mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan dan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) lekas-lekas berembuk mencari formula atau skema khusus pembiayaan agar industri kreatif masuk sebagai sektor yang bankable (memenuhi syarat perbankan). Jangan sampai hanya sebab mandeknya pembiayaan, banyak potensi ekonomi dari sektor ini yang menguap atau bahkan ditangkap oleh negara tetangga seperti Singapura.
Kedua, teknologi yang masih mahal dan susah diakses. Teknologi memang mahal. Namun, teknologi akan semakin mahal lagi dengan minimnya pasokan pembiayaan di atas. Ketiga, akses pasar. Akses pasar industri kreatif dikuasai oleh negara-negara tertentu sehingga produsennya di Indonesia tidak langsung dapat menjual ke negaranegara end user.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi dalam pengembangan industri kreatif terbaik di kawasan ASEAN maupun pasar dunia. Ini tidak terlepas dari potensi bahan baku di Indonesia yang melimpah. Kendati demikian, kemampuan SDM Indonesia dalam alih teknologi dan kreativitas masih relatif rendah. Ini berdampak pada perkembangan industri kreatif yang cenderung lamban.
Keempat, kendala kelembagaan. Kementrian dan lembaga yang berkepentingan dengan industri kreatif sangat banyak. Akibat itu, birokrasi dan pembinaan industri makin panjang dan meluas serta tidak fokus. Sebab itu, Hipmi pernah mengusulkan agar urusan perizinan dan pembinaan industri ini cukup satu pintu dan ditangani satu badan atau kementrian saja.
Lebih mutakhir lagi, kami mengusulkan agar perizinan sudah mencakup semua jenis izin dengan satu lembar perizinan. Penyederhanaan perizinan ini sangat penting untuk membantu pelaku industri melakukan efisiensi waktu dan biaya. Bayangkan, sebagian besar pelaku usaha industri kreatif merupakan pelaku UKM yang modalnya sangat minim.
Mereka inilah yang harus mengurus seabrek perizinan sebagai berikut: Tanda daftar perusahaan, surat izin usaha, perdagangan (SIUP), surat domisili, dan sebagainya. Itu belum termasuk surat izin tempat usaha, Kadin, SIUJK, API, dan paten merek. Tak hanya izin yang banyak, perizinan ini juga semakin kompleks dan tumpang tindih seiring menumpuknya bidang yang bergabung dalam industri ini.
Terakhir, tantangan manajerial. Di industri kreatif, pendiri usaha biasanya mereka yang memiliki keahlian produksi. Pelaku industri ini biasanya mampu melakukan produksi dan inovasi. Namun, pendirinya kadang punya sisi lemah dalam manajerial. Sebab itu, pelaku industri membutuhkan pembinaan dan pendampingan agar mampu mengintegrasikan sisi produksi dengan manajemen keuangan, pemasaran, dan pengembangan SDM.
Ketua Umum Hipmi Jaya
Pengusaha muda mengapresiasi penunjukan beberapa menteri baru di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Terutama untuk menterimenteri ekonomi yang bersentuhan langsung dengan sektor riil seperti menteri per-dagangan, menteri perindustrian, dan menteri koperasi dan usaha kecil menengah.
Namun, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) juga ikut memberi catatan yakni sektor ekonomi kreatif yang dulu satu payung dengan sektor pariwisata kini tidak jelas di bawah binaan siapa meski industri ini jadi ”jualan” terdepan pasangan Jokowi-JK pada pemilihan presiden (pipres) lalu.
Sebagaimana kebiasaan pengusaha yang tidak suka berlama- lama melihat masalah, Hipmi pun punya pikiran atau solusi yakni bagaimana bila sektor ekonomi kreatif ini dikelola oleh badan atau lembaga sendiri. Sebelum penyusunan struktur kabinet, kami bahkan sempat melempar ide agar ekonomi kreatif ini punya menteri atau badan sendiri biar lebih fokus dan tajam pengelolaannya. Informasi terakhir, ekonomi kreatif akan ”dilindungi” oleh suatu badan.
Kontribusi
Apa pun lembaga pelindung industri ini, pada Era Informasi ekonomi kreatif tidak bisa lagi dipandang sebelah mata kontribusinya atas perekonomian nasional. Data menunjukkan bahwa ekonomi kreatif tidak kalah dibandingkan sektor ekonomi lain dalam berkontribusi terhadap perekonomian di republik ini.
Sektorsektor yang sebelumnya menjadi andalan kini bahkan berangsur- angsur menurun peranannya bagi perekonomian seperti minyak dan gas (migas) dan pertambangan. Mari kita lihat seksinya sektor ini. Saking seksinya, pemerintah menargetkan pertumbuhan di sektor ini mencapai 10% pada 2014.
Terhadap PDB, industri ini ditargetkan menjadi tiga besar kontributor untuk product domestic bruto (PDB). Sebelumnya, ekonomi kreatif menempati posisi ketujuh dari 10 sektor ekonomi nasional dengan menyumbang PDB sebesar 6,9% atau senilai Rp573,89 triliun dari total kontribusi ekonomi nasional.
Tak hanya itu, peranannya dalam penciptaan lapangan kerja juga kian strategis. Ekonomi kreatif menempati posisi keempat dari 10 sektor ekonomi dalam kategori jumlah tenaga kerja pada 2012. Ekonomi kreatif menyumbang 11.799.568 orang atau 10,65% pada total angkatan kerja nasional yang sebesar 110.808.154 orang.
Perkiraan kami menunjukkan usaha di industri ini terdiri atas sekitar 10% dari total jumlah usaha di Indonesia saat ini. Periode 2010-2013 industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari total angkatan kerja nasional. Itu didorong oleh pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri kreatif pada periode tersebut sebesar 1%.
Dengan begitu, jumlah industri kreatif pada 2013 tercatat sebanyak 5,4 juta usaha yang menyerap angkatan kerja sebanyak 12 juta jiwa serta memberikan kontribusi terhadap devisa negara sebesar Rp19 triliun atau sebesar 5,72% dari total ekspor nasional. Di pertengahan tahun ekspor karya kreatif Indonesia sudah mencapai Rp63,1 triliun atau tumbuh sebesar 7,27% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Tantangannya
Terlepas dari ”hilangnya” payung lembaga industri kreatif ini, sejumlah tantangan sudah menanti pemerintah dan dunia usaha di antaranya, pertama, minimnya akses finansial atau pembiayaan terhadap industri ini. Seperti usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lainnya, industri ini belum menjadi primadona bagi lembaga-lembaga keuangan formal untuk dibiayai.
Kerap tidak punya aset dan potensi yang tangible, perbankan takut menyalurkan kredit bagi industri kreatif, apalagi di bidang seni dan perfilman. Ini berbeda dengan pemilik usaha kerajinan tangan yang relatif lebih mudah mendapatkan bantuan pembiayaan dari perbankan ketimbang pelaku usaha kreatif di bidang seni.
Sebab itu, kami mendorong agar Otoritas Jasa Keuangan dan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) lekas-lekas berembuk mencari formula atau skema khusus pembiayaan agar industri kreatif masuk sebagai sektor yang bankable (memenuhi syarat perbankan). Jangan sampai hanya sebab mandeknya pembiayaan, banyak potensi ekonomi dari sektor ini yang menguap atau bahkan ditangkap oleh negara tetangga seperti Singapura.
Kedua, teknologi yang masih mahal dan susah diakses. Teknologi memang mahal. Namun, teknologi akan semakin mahal lagi dengan minimnya pasokan pembiayaan di atas. Ketiga, akses pasar. Akses pasar industri kreatif dikuasai oleh negara-negara tertentu sehingga produsennya di Indonesia tidak langsung dapat menjual ke negaranegara end user.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi dalam pengembangan industri kreatif terbaik di kawasan ASEAN maupun pasar dunia. Ini tidak terlepas dari potensi bahan baku di Indonesia yang melimpah. Kendati demikian, kemampuan SDM Indonesia dalam alih teknologi dan kreativitas masih relatif rendah. Ini berdampak pada perkembangan industri kreatif yang cenderung lamban.
Keempat, kendala kelembagaan. Kementrian dan lembaga yang berkepentingan dengan industri kreatif sangat banyak. Akibat itu, birokrasi dan pembinaan industri makin panjang dan meluas serta tidak fokus. Sebab itu, Hipmi pernah mengusulkan agar urusan perizinan dan pembinaan industri ini cukup satu pintu dan ditangani satu badan atau kementrian saja.
Lebih mutakhir lagi, kami mengusulkan agar perizinan sudah mencakup semua jenis izin dengan satu lembar perizinan. Penyederhanaan perizinan ini sangat penting untuk membantu pelaku industri melakukan efisiensi waktu dan biaya. Bayangkan, sebagian besar pelaku usaha industri kreatif merupakan pelaku UKM yang modalnya sangat minim.
Mereka inilah yang harus mengurus seabrek perizinan sebagai berikut: Tanda daftar perusahaan, surat izin usaha, perdagangan (SIUP), surat domisili, dan sebagainya. Itu belum termasuk surat izin tempat usaha, Kadin, SIUJK, API, dan paten merek. Tak hanya izin yang banyak, perizinan ini juga semakin kompleks dan tumpang tindih seiring menumpuknya bidang yang bergabung dalam industri ini.
Terakhir, tantangan manajerial. Di industri kreatif, pendiri usaha biasanya mereka yang memiliki keahlian produksi. Pelaku industri ini biasanya mampu melakukan produksi dan inovasi. Namun, pendirinya kadang punya sisi lemah dalam manajerial. Sebab itu, pelaku industri membutuhkan pembinaan dan pendampingan agar mampu mengintegrasikan sisi produksi dengan manajemen keuangan, pemasaran, dan pengembangan SDM.
(bbg)