Kerja Menata Ruang Indonesia
A
A
A
LUTFY MAIRIZAL PUTRA
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Administrasi,
Universitas Negeri Jakarta
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sedari dulu selalu menjadi tameng pemerintah dalam menunjukkan keberhasilannya. Ironisnya, suatu kausal tidaklah memiliki akibat yang tunggal.
Tempat perbelanjaan yang dibangun untuk mengerek angka konsumsi atau kendaraan yang akan mengalahkan jumlah penduduk tak berakibat hanya hitam putih seperti warna laporan angka ketika dicetak. Maka, jangan heran bila kita agak pusing memilih ruang menghabiskan waktu luang.
Terlalu banyak pilihan ruang yang tak lagi menyehatkan pikiran. Cukup berkeliling sehari di kota yang kita tempati, maka hampir selalu muncul kata mengecewakan untuk ruang publik kita. Mungkin rumusnya seperti ini, daripada dibiarkan sepetak tanah strategis tak digarap akan lebih baik dibangun sesuatu, minimal akan mendatangkan pajak kepada pemerintah.
Saya tak bermaksud untuk mencurigai pembangunan yang selalu bergerak, konsisten dalam satu lokus tertentu. Namun, benarkah kita memiliki ruang publik? Ariel Heryanto menduga kita tak memiliki tradisi kuat untuk mengakui dan menghormati pergaulan komunal secara beradab dengan orang yang saling tak mengenal di muka umum tanpa peduli dengan latar belakang (Kompas , 11/2/2007).
Sederhananya, seseorang hanya bisa peduli dengan lingkungan sekitar sebatas rumah sendiri. Pun ketika terpaut kepentingan keluarga sendiri, rekan seagama, sesuku, atau teman sepermainan. Karena ruang itu diikuti kata ”publik”, tak sedikit orang untuk mengutuk diri sendiri karena telah ikut merusak ruang tersebut.
Rasanya lebih baik memikirkan apa isi dapur esok hari. Organisasi besar bernama ”negara” dijadikan sasaran tembak yang mengasyikkan daripada menunjuk batang hidung sendiri. Ruang publik kembali terkotak- kotak menjadi kumpulan ruang pribadi. Jalan menjadi sarana ruang pribadi mengejar waktu. Hingga akhirnya negara menjadi ruang khusus para pejabat untuk bertindak semaunya tanpa peduli obrolan tentang mereka di warung kopi.
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Administrasi,
Universitas Negeri Jakarta
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sedari dulu selalu menjadi tameng pemerintah dalam menunjukkan keberhasilannya. Ironisnya, suatu kausal tidaklah memiliki akibat yang tunggal.
Tempat perbelanjaan yang dibangun untuk mengerek angka konsumsi atau kendaraan yang akan mengalahkan jumlah penduduk tak berakibat hanya hitam putih seperti warna laporan angka ketika dicetak. Maka, jangan heran bila kita agak pusing memilih ruang menghabiskan waktu luang.
Terlalu banyak pilihan ruang yang tak lagi menyehatkan pikiran. Cukup berkeliling sehari di kota yang kita tempati, maka hampir selalu muncul kata mengecewakan untuk ruang publik kita. Mungkin rumusnya seperti ini, daripada dibiarkan sepetak tanah strategis tak digarap akan lebih baik dibangun sesuatu, minimal akan mendatangkan pajak kepada pemerintah.
Saya tak bermaksud untuk mencurigai pembangunan yang selalu bergerak, konsisten dalam satu lokus tertentu. Namun, benarkah kita memiliki ruang publik? Ariel Heryanto menduga kita tak memiliki tradisi kuat untuk mengakui dan menghormati pergaulan komunal secara beradab dengan orang yang saling tak mengenal di muka umum tanpa peduli dengan latar belakang (Kompas , 11/2/2007).
Sederhananya, seseorang hanya bisa peduli dengan lingkungan sekitar sebatas rumah sendiri. Pun ketika terpaut kepentingan keluarga sendiri, rekan seagama, sesuku, atau teman sepermainan. Karena ruang itu diikuti kata ”publik”, tak sedikit orang untuk mengutuk diri sendiri karena telah ikut merusak ruang tersebut.
Rasanya lebih baik memikirkan apa isi dapur esok hari. Organisasi besar bernama ”negara” dijadikan sasaran tembak yang mengasyikkan daripada menunjuk batang hidung sendiri. Ruang publik kembali terkotak- kotak menjadi kumpulan ruang pribadi. Jalan menjadi sarana ruang pribadi mengejar waktu. Hingga akhirnya negara menjadi ruang khusus para pejabat untuk bertindak semaunya tanpa peduli obrolan tentang mereka di warung kopi.
(bbg)