Publikasi Ilmuwan Rendah, Mengapa?
A
A
A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
Publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa denyut nadi kehidupan ipteks di kalangan kaum terpelajar belum optimal.
Cita-cita meraih institusi pendidikan tinggi atau lembaga penelitian yang mendunia masih jauh panggang dari api. Jurnal ilmiah di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan menyangkut kontinuitas penerbitan dan statusnya yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang buruk disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi derajat selektivitas. Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang dikirimkan kepada tim reviewer untuk ditelaah, berbulan- bulan tidak dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan. Ketiga, rata-rata dana penelitian untuk dosen/ peneliti terlalu kecil sehingga ipteks yang dihasilkan tidak layak untuk publikasi ilmiah.
Jurnal ilmiah adalah wahana komunikasi ilmiah bagi ilmuwan-ilmuwan dalam bidang keilmuan tertentu. Karena itu, pendekatan cara pengelolaannya tidak bisa menggunakan kiat bisnis seperti media masa yang bersifat komersial. Jurnal ilmiah menuntut komitmen yang tinggi dari pengelolanya, partisipasi aktif dari dosen dan peneliti sebagai penyumbang naskah, tim reviewer untuk selalu tepat waktu, dan subsidi pengganti ongkos cetak dari pelanggan dan institusi pengelola jurnal ilmiah.
Kemenristekdikti kini berkesempatan untuk memperbaiki kinerja riset dan publikasi ilmiah di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Bantuan dana untuk penerbitan jurnal ilmiah nasional dan grants bagi dosen yang akan menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal ilmiah internasional harus diperbesar. Saat ini tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak menulis.
Pepatah publish or perish (menulis atau binasa) hendaknya menjadi pegangan setiap ilmuwan untuk lebih produktif dalam memublikasikan karya-karyanya. Hampir semua dosen atau ilmuwan di Tanah Air menyadari tentang lemahnya publikasi internasional di kalangan mereka. Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak mampu.
Buktibukti menunjukkan bahwa dosen yang pernah tugas belajar di luar negeri umumnya telah memublikasikan 1-2 karya ilmiahnya di jurnal ilmiah internasional bersama dosen pembimbingnya. Apakah setelah berada di Tanah Air, mereka bisa bertambah produktif menghasilkan karya-karya ipteks yang layak publikasi? Jawabannya sebagian besar tidak. Iklim akademik di perguruan tinggi Tanah Airkurangmenunjangdosenuntuk bergairah menghasilkan publikasi bertaraf internasional.
Harus diakui bahwa rendahnya penghargaan bagi ilmuwan menyebabkan kehidupan ipteks tidak bergairah. Almarhum Prof Mochtar Buchori pernah menyindir bahwa honor peneliti masih lebih rendah dibandingkan honor kuda sewaan di tempat rekreasi. Akhirnya, melakukan kegiatan penelitian selain untuk menghasilkan temuan ilmiah yang baik, juga merupakan strategi untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Bila sebaran dana riset masih sekadar untuk pemerataan penelitian agar lebih banyak dosen meneliti, yang lahir hanyalah ipteksipteks dangkal. Riset yang baik memerlukan dana besar. Ilmuwan (baca: peneliti) akan malas memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Publication fee di jurnal internasional (sekitar Rp5 juta) dan ini harusnya bisa dimintakan gantinya ke Kemenristekdikti.
Partisipasi ilmuwan dalam forum seminar internasional juga rendah karena ilmuwan Indonesia tidak mampu membiayai kegiatan seminar di luar negeri. Untuk itu, hibah untuk berseminar di luar negeri harus ditingkatkan. Pengajuan promosi jabatan guru besar kini harus disertai olehbukti-bukti publikasi ilmiah di jurnal prestisius. Tanpa publikasi, karier dosen atau peneliti suit untuk menggapai jenjang profesor atau profesor riset.
Di suatu PTN scopus citation index lebih dari tiga hanya dicapai oleh beberapa orang guru besar, padahal jumlah guru besar di PTN tersebut hampir 150 orang. Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya menjadi tradisi di kalangan ilmuwan. Di Universitas Wageningen Belanda disertasi mahasiswa S- 3 dibuat dalam format manuskrip berupa artikel-artikel ilmiah baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun yang sedang dalam tahap dikirimkan untuk dimuat.
Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di Indonesia. Dosen pembimbing bersama mahasiswa S-3 menjadi terpacu untuk memublikasikan hasil-hasil risetnya. IPB telah mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk menulis hasil tesis/disertasinya di jurnal ilmiah sebelum mahasiswa menempuh ujian/sidang karya ilmiah. Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ataupun IPB di tingkat dunia masih bisa ditingkatkan meski kini telah menjadi bagian dari 500 universitas top di dunia.
Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat di jurnal internasional. Potret buram publikasi ilmiah dosen Indonesia dapat menggagalkan cita-cita untuk meraih predikat research university. Keinginan untuk menempatkan riset sebagai pilar membangun perguruan tinggi yang bermutu terkendala oleh kegiatan penelitian yang belum optimal.
Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui sertifikasi, para dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing. Jangan sampai dosen lebih banyak ngasong (bekerja di luar) daripada berkomitmen mengajar, membimbing mahasiswa, dan meneliti di kampusnya sendiri. Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu dikritik.
Pernah muncul istilah ilmuwan empat halaman karena untuk menulis di media masa hanya diperlukan pemikiran sepanjang empat halaman kuarto. Sebenarnya tidak perlu membandingkan karya tulis ilmuwan yang dimuat di koran dengan yang dimuat di jurnal ilmiah. Tidak semua dosen bisa menulis di koran, tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah.
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
Publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa denyut nadi kehidupan ipteks di kalangan kaum terpelajar belum optimal.
Cita-cita meraih institusi pendidikan tinggi atau lembaga penelitian yang mendunia masih jauh panggang dari api. Jurnal ilmiah di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan menyangkut kontinuitas penerbitan dan statusnya yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang buruk disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi derajat selektivitas. Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang dikirimkan kepada tim reviewer untuk ditelaah, berbulan- bulan tidak dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan. Ketiga, rata-rata dana penelitian untuk dosen/ peneliti terlalu kecil sehingga ipteks yang dihasilkan tidak layak untuk publikasi ilmiah.
Jurnal ilmiah adalah wahana komunikasi ilmiah bagi ilmuwan-ilmuwan dalam bidang keilmuan tertentu. Karena itu, pendekatan cara pengelolaannya tidak bisa menggunakan kiat bisnis seperti media masa yang bersifat komersial. Jurnal ilmiah menuntut komitmen yang tinggi dari pengelolanya, partisipasi aktif dari dosen dan peneliti sebagai penyumbang naskah, tim reviewer untuk selalu tepat waktu, dan subsidi pengganti ongkos cetak dari pelanggan dan institusi pengelola jurnal ilmiah.
Kemenristekdikti kini berkesempatan untuk memperbaiki kinerja riset dan publikasi ilmiah di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Bantuan dana untuk penerbitan jurnal ilmiah nasional dan grants bagi dosen yang akan menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal ilmiah internasional harus diperbesar. Saat ini tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak menulis.
Pepatah publish or perish (menulis atau binasa) hendaknya menjadi pegangan setiap ilmuwan untuk lebih produktif dalam memublikasikan karya-karyanya. Hampir semua dosen atau ilmuwan di Tanah Air menyadari tentang lemahnya publikasi internasional di kalangan mereka. Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak mampu.
Buktibukti menunjukkan bahwa dosen yang pernah tugas belajar di luar negeri umumnya telah memublikasikan 1-2 karya ilmiahnya di jurnal ilmiah internasional bersama dosen pembimbingnya. Apakah setelah berada di Tanah Air, mereka bisa bertambah produktif menghasilkan karya-karya ipteks yang layak publikasi? Jawabannya sebagian besar tidak. Iklim akademik di perguruan tinggi Tanah Airkurangmenunjangdosenuntuk bergairah menghasilkan publikasi bertaraf internasional.
Harus diakui bahwa rendahnya penghargaan bagi ilmuwan menyebabkan kehidupan ipteks tidak bergairah. Almarhum Prof Mochtar Buchori pernah menyindir bahwa honor peneliti masih lebih rendah dibandingkan honor kuda sewaan di tempat rekreasi. Akhirnya, melakukan kegiatan penelitian selain untuk menghasilkan temuan ilmiah yang baik, juga merupakan strategi untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Bila sebaran dana riset masih sekadar untuk pemerataan penelitian agar lebih banyak dosen meneliti, yang lahir hanyalah ipteksipteks dangkal. Riset yang baik memerlukan dana besar. Ilmuwan (baca: peneliti) akan malas memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Publication fee di jurnal internasional (sekitar Rp5 juta) dan ini harusnya bisa dimintakan gantinya ke Kemenristekdikti.
Partisipasi ilmuwan dalam forum seminar internasional juga rendah karena ilmuwan Indonesia tidak mampu membiayai kegiatan seminar di luar negeri. Untuk itu, hibah untuk berseminar di luar negeri harus ditingkatkan. Pengajuan promosi jabatan guru besar kini harus disertai olehbukti-bukti publikasi ilmiah di jurnal prestisius. Tanpa publikasi, karier dosen atau peneliti suit untuk menggapai jenjang profesor atau profesor riset.
Di suatu PTN scopus citation index lebih dari tiga hanya dicapai oleh beberapa orang guru besar, padahal jumlah guru besar di PTN tersebut hampir 150 orang. Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya menjadi tradisi di kalangan ilmuwan. Di Universitas Wageningen Belanda disertasi mahasiswa S- 3 dibuat dalam format manuskrip berupa artikel-artikel ilmiah baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun yang sedang dalam tahap dikirimkan untuk dimuat.
Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di Indonesia. Dosen pembimbing bersama mahasiswa S-3 menjadi terpacu untuk memublikasikan hasil-hasil risetnya. IPB telah mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk menulis hasil tesis/disertasinya di jurnal ilmiah sebelum mahasiswa menempuh ujian/sidang karya ilmiah. Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ataupun IPB di tingkat dunia masih bisa ditingkatkan meski kini telah menjadi bagian dari 500 universitas top di dunia.
Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat di jurnal internasional. Potret buram publikasi ilmiah dosen Indonesia dapat menggagalkan cita-cita untuk meraih predikat research university. Keinginan untuk menempatkan riset sebagai pilar membangun perguruan tinggi yang bermutu terkendala oleh kegiatan penelitian yang belum optimal.
Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui sertifikasi, para dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing. Jangan sampai dosen lebih banyak ngasong (bekerja di luar) daripada berkomitmen mengajar, membimbing mahasiswa, dan meneliti di kampusnya sendiri. Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu dikritik.
Pernah muncul istilah ilmuwan empat halaman karena untuk menulis di media masa hanya diperlukan pemikiran sepanjang empat halaman kuarto. Sebenarnya tidak perlu membandingkan karya tulis ilmuwan yang dimuat di koran dengan yang dimuat di jurnal ilmiah. Tidak semua dosen bisa menulis di koran, tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah.
(ars)