BANI Masih Tetap Proses Perkara TPI
A
A
A
JAKARTA - Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menyatakan masih tetap memproses perkara perselisihan kepemilikan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut.
“Kalau ada klausul terdaftar di sini, ya kita laksanakan (lanjutkan),” ucap Sekretaris Majelis BANI Eko Dwi Prasetyo di Jakarta kemarin. Sayangnya, Eko belum bersedia menjelaskan sejauh mana proses arbitrase perkara TPI tersebut. Menurut dia, Undang–Undang Arbitrase mengatur soal kerahasiaan beperkara arbitrase dari awal proses hingga terakhir.
“Kecuali ada pihak beperkara ingin tahu atau minta dokumen, kami akan berikan,” katanya. Sementara itu, Wakil Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan menilai kasus perkara sengketa kepemilikan saham TPI merupakan ranah BANI.
Karena itu, seharusnya Mahkamah Agung (MA) menghormati proses yang sedang berlangsung di BANI. “Para pihak-pihak yang mendaftar di arbitrase jika ada perubahan dalam klausul maka pastinya diselesaikan di arbitrase,” ungkap Ridwan. Menurut Ridwan, memang tidak serta-merta MA bisa dianggap mengambil alih perkara yang ada di BANI dengan mengeluarkan sebuah putusan sengketa perkara tersebut.
Proses persidangan baik di tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), sampai kasasi pun telah dilakukan kedua kubu yang beperkara. Namun, seharusnya MA tetap menunggu proses penanganan perkara yang ada di badan arbitrase. “Makanya sampai mana prosesnya di arbitrase? rupanya sudah lama. Sejauh ini kan ada di arbitrase. Badan arbitraselah yang seharusnya ditunggu putusannya,” ucapnya.
Menurut dia, tugas MA adalah menjelaskan soal putusan menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Berkah Karya Bersama. “Ini kan kasus yang lama tidak selesai-selesai. Tidak salah juga Andi Simangunsong (kuasa hukum PT Berkah) mengajukan PK,” katanya.
Sedangkan pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan, untuk membatalkan putusan PK kasus TPI ini hanya bisa dilakukan dengan putusan pengadilan juga. Karena itu, harus ada terobosan hukum agar dapat mengajukan PK lagi. “Terpenting harus ditemukan cara untuk membatalkan. Karena itu, saya berpendapat mungkin bisa diajukan PK lagi sebagai sebuah terobosan,” kata Margarito.
Dia pun menilai putusan MA tersebut mengandung ketidakcukupan hukum atau tidak sesuai prosedur lantaran masih ditangani oleh BANI. “Dalam suatu soal yang sedang diselisihkan di BANI, pengadilan tidak bisa memutus,” ungkapnya.
Menurut dia, putusan MA itu sudah mencerminkan ketidakadilan sistem hukum. Karena itu, perlu terobosan hukum untuk meninjau putusan PK tersebut. “Diperlukan terobosan, caranya ajukan saja. Sebab (putusan PK) salah secara fatal, harus dimungkinkan dilakukan terobosan,” tuturnya.
Dita angga/Okezone/Sindonews
“Kalau ada klausul terdaftar di sini, ya kita laksanakan (lanjutkan),” ucap Sekretaris Majelis BANI Eko Dwi Prasetyo di Jakarta kemarin. Sayangnya, Eko belum bersedia menjelaskan sejauh mana proses arbitrase perkara TPI tersebut. Menurut dia, Undang–Undang Arbitrase mengatur soal kerahasiaan beperkara arbitrase dari awal proses hingga terakhir.
“Kecuali ada pihak beperkara ingin tahu atau minta dokumen, kami akan berikan,” katanya. Sementara itu, Wakil Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan menilai kasus perkara sengketa kepemilikan saham TPI merupakan ranah BANI.
Karena itu, seharusnya Mahkamah Agung (MA) menghormati proses yang sedang berlangsung di BANI. “Para pihak-pihak yang mendaftar di arbitrase jika ada perubahan dalam klausul maka pastinya diselesaikan di arbitrase,” ungkap Ridwan. Menurut Ridwan, memang tidak serta-merta MA bisa dianggap mengambil alih perkara yang ada di BANI dengan mengeluarkan sebuah putusan sengketa perkara tersebut.
Proses persidangan baik di tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), sampai kasasi pun telah dilakukan kedua kubu yang beperkara. Namun, seharusnya MA tetap menunggu proses penanganan perkara yang ada di badan arbitrase. “Makanya sampai mana prosesnya di arbitrase? rupanya sudah lama. Sejauh ini kan ada di arbitrase. Badan arbitraselah yang seharusnya ditunggu putusannya,” ucapnya.
Menurut dia, tugas MA adalah menjelaskan soal putusan menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Berkah Karya Bersama. “Ini kan kasus yang lama tidak selesai-selesai. Tidak salah juga Andi Simangunsong (kuasa hukum PT Berkah) mengajukan PK,” katanya.
Sedangkan pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan, untuk membatalkan putusan PK kasus TPI ini hanya bisa dilakukan dengan putusan pengadilan juga. Karena itu, harus ada terobosan hukum agar dapat mengajukan PK lagi. “Terpenting harus ditemukan cara untuk membatalkan. Karena itu, saya berpendapat mungkin bisa diajukan PK lagi sebagai sebuah terobosan,” kata Margarito.
Dia pun menilai putusan MA tersebut mengandung ketidakcukupan hukum atau tidak sesuai prosedur lantaran masih ditangani oleh BANI. “Dalam suatu soal yang sedang diselisihkan di BANI, pengadilan tidak bisa memutus,” ungkapnya.
Menurut dia, putusan MA itu sudah mencerminkan ketidakadilan sistem hukum. Karena itu, perlu terobosan hukum untuk meninjau putusan PK tersebut. “Diperlukan terobosan, caranya ajukan saja. Sebab (putusan PK) salah secara fatal, harus dimungkinkan dilakukan terobosan,” tuturnya.
Dita angga/Okezone/Sindonews
(bbg)