Kebijakan ala Susi
A
A
A
Selama ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) salah satu kementerian yang jarang tersentuh pemberitaan. Di bawah nakhoda Susi Pudjiastuti kementerian tersebut begitu laris di kalangan para pemburu berita.
Boleh dikata semenjak Susi diperkenalkan sebagai salah seorang pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), tiada hari tanpa penampakan dia di media massa. Berbagai sisinya disorot, mulai latar belakang pendidikan, perilaku sehari-hari sebagai menteri yang merokok dan berhias tato di kaki hingga sebagai pengusaha sukses.
Semakin disorot semakin merangsang para pemburu berita untuk “mengulitinya” terkait dengan gebrakan kebijakan yang sedang digagas. Bahkan ide liarnya merambah jauh termasuk mempertanyakan pentingnya keanggotaan Indonesia dalam negara yang tergabung dalam kelompok G-20.
Ada masalah apa G-20 dengan KKP yang terus dibenahi oleh Menteri Susi itu? Semenjak Susi menginjakkan kaki di KKP seperti membangunkan bangsa ini dari tidur, betapa kekayaan alam di sektor kelautan dan perikanan tidak terkelola secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan data versi badan pangan dunia (FAO), potensi perikanan mencapai 65 juta ton per tahun, tetapi yang mampu dikelola hanya berkisar 18 juta-19 juta ton per tahun. Sementara pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor perikanan hanya tercatat Rp 250 miliar hingga 300 miliar per tahun.
Jadi, tidak gegabah kalau disimpulkan bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Susi Pudjiastuti yang selama ini bergelut dalam industri perikanan tahu betul celah-celah kebijakan yang harus ditambal dan diperbaiki.
Memang sungguh ironis, coba bandingkan luas laut Indonesia jauh di bawah Malaysia dan Thailand, tetapi nilai ekspor sektor perikanan negara sekawasan itu jauh lebih besar. Karena itu, pihak KKP merevisi aturan dan menghadirkan regulasi baru untuk mencegah kerugian negara.
Kebijakan terbaru yang segera ditelurkan adalah pelarangan penangkapan dan penjualan kepiting dan lobster yang sedang bertelur. Menteri Susi beralasan bahwa populasi kedua hewan laut itu semakin memprihatinkan. Beragam kebijakan telah disiapkan untuk mendongkrak performa KKP.
Salah satu kebijakan yang mengundang pro-kontra adalah kebijakan penghentian sementara (moratorium) izin kapal tangkap ikan berkapasitas di atas 30 gross ton (GT) selama enam bulan. Bagi yang kontra dengan kebijakan moratorium, itu dinilai sebagai bentuk antiinvestasi. Namun pihak KKP menyanggah bahwa kebijakan itu bermaksud membenahi sistem yang amburadul.
Terbuka luas bagi investor terutama dari luar yang bersedia melakukan integrated industry fishing di Indonesia. Selain itu KKP akan menata zona penangkapan ikan di laut Indonesia. Gebrakan Susi semakin luas. Di depan para pelaku usaha perikanan yang diwakili sekitar 50 asosiasi belum lama ini, pemilik usaha aviasi itu mempertanyakan keuntungan keanggotaan Indonesia dalam kelompok negara G-20.
Di mata Susi, Indonesia malah dirugikan atas impor sektor perikanan. Dicontohkan, tuna impor—the Origin East Timor — masuk keIndonesia dengan 0%. Akibatnya negara kehilangan potensi pendapatan bea masuk sekitar 14% dari nilai tuna dunia yang mencapai sekitar USD 700 juta.
Hal serupa juga menimpa impor udang yang juga tanpa bea masuk. Bea masuk dibebaskan, menurut Susi, karena Indonesia telah dimasukkan sebagai bangsa kaya. Sebegitu pentingkah Indonesia harus menanggalkan keanggotaan G-20 hanya karena bea-masuk impor perikanan terabaikan? Dalam konteks ini, Menteri Susi kurang elok mengobral gagasan tersebut yang terlalu melampaui wilayah wewenangnya.
Latar belakang terbentuknya G-20 berawal dari krisis keuangan 1998, terdiri atas 19 negara dengan perekonomian besar ditambah Uni Eropa. Kelompok ini menghimpun hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan hampir 2/3 penduduk dunia. Forum ini menjadi ajang konsultasi dan kerja sama yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Juga sejumlah kajian yang mempertemukan kepentingan negara maju dan berkembang, yang tidak bisa dipecahkan sendiri oleh satu negara.
Boleh dikata semenjak Susi diperkenalkan sebagai salah seorang pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), tiada hari tanpa penampakan dia di media massa. Berbagai sisinya disorot, mulai latar belakang pendidikan, perilaku sehari-hari sebagai menteri yang merokok dan berhias tato di kaki hingga sebagai pengusaha sukses.
Semakin disorot semakin merangsang para pemburu berita untuk “mengulitinya” terkait dengan gebrakan kebijakan yang sedang digagas. Bahkan ide liarnya merambah jauh termasuk mempertanyakan pentingnya keanggotaan Indonesia dalam negara yang tergabung dalam kelompok G-20.
Ada masalah apa G-20 dengan KKP yang terus dibenahi oleh Menteri Susi itu? Semenjak Susi menginjakkan kaki di KKP seperti membangunkan bangsa ini dari tidur, betapa kekayaan alam di sektor kelautan dan perikanan tidak terkelola secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan data versi badan pangan dunia (FAO), potensi perikanan mencapai 65 juta ton per tahun, tetapi yang mampu dikelola hanya berkisar 18 juta-19 juta ton per tahun. Sementara pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor perikanan hanya tercatat Rp 250 miliar hingga 300 miliar per tahun.
Jadi, tidak gegabah kalau disimpulkan bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Susi Pudjiastuti yang selama ini bergelut dalam industri perikanan tahu betul celah-celah kebijakan yang harus ditambal dan diperbaiki.
Memang sungguh ironis, coba bandingkan luas laut Indonesia jauh di bawah Malaysia dan Thailand, tetapi nilai ekspor sektor perikanan negara sekawasan itu jauh lebih besar. Karena itu, pihak KKP merevisi aturan dan menghadirkan regulasi baru untuk mencegah kerugian negara.
Kebijakan terbaru yang segera ditelurkan adalah pelarangan penangkapan dan penjualan kepiting dan lobster yang sedang bertelur. Menteri Susi beralasan bahwa populasi kedua hewan laut itu semakin memprihatinkan. Beragam kebijakan telah disiapkan untuk mendongkrak performa KKP.
Salah satu kebijakan yang mengundang pro-kontra adalah kebijakan penghentian sementara (moratorium) izin kapal tangkap ikan berkapasitas di atas 30 gross ton (GT) selama enam bulan. Bagi yang kontra dengan kebijakan moratorium, itu dinilai sebagai bentuk antiinvestasi. Namun pihak KKP menyanggah bahwa kebijakan itu bermaksud membenahi sistem yang amburadul.
Terbuka luas bagi investor terutama dari luar yang bersedia melakukan integrated industry fishing di Indonesia. Selain itu KKP akan menata zona penangkapan ikan di laut Indonesia. Gebrakan Susi semakin luas. Di depan para pelaku usaha perikanan yang diwakili sekitar 50 asosiasi belum lama ini, pemilik usaha aviasi itu mempertanyakan keuntungan keanggotaan Indonesia dalam kelompok negara G-20.
Di mata Susi, Indonesia malah dirugikan atas impor sektor perikanan. Dicontohkan, tuna impor—the Origin East Timor — masuk keIndonesia dengan 0%. Akibatnya negara kehilangan potensi pendapatan bea masuk sekitar 14% dari nilai tuna dunia yang mencapai sekitar USD 700 juta.
Hal serupa juga menimpa impor udang yang juga tanpa bea masuk. Bea masuk dibebaskan, menurut Susi, karena Indonesia telah dimasukkan sebagai bangsa kaya. Sebegitu pentingkah Indonesia harus menanggalkan keanggotaan G-20 hanya karena bea-masuk impor perikanan terabaikan? Dalam konteks ini, Menteri Susi kurang elok mengobral gagasan tersebut yang terlalu melampaui wilayah wewenangnya.
Latar belakang terbentuknya G-20 berawal dari krisis keuangan 1998, terdiri atas 19 negara dengan perekonomian besar ditambah Uni Eropa. Kelompok ini menghimpun hampir 90% GNP dunia, 80% total perdagangan dunia dan hampir 2/3 penduduk dunia. Forum ini menjadi ajang konsultasi dan kerja sama yang berkaitan dengan sistem moneter internasional. Juga sejumlah kajian yang mempertemukan kepentingan negara maju dan berkembang, yang tidak bisa dipecahkan sendiri oleh satu negara.
(bbg)