Pesan dari China
A
A
A
TIRTA N MURSITAMA, PHD
Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara
Visiting Scholar pada College of Economics and Management
Fujian Normal University,China
Saat ini sedang berlangsung perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 10-11 November 2014 di Beijing, China. Semua mata dunia tertuju pada acara ini yang akan turut menentukan 45% perdagangan dunia dan mempertaruhkan nama besar China pada dunia.
KTT ini layak mendapat perhatian karena dinamika hubungan internasional di regional dan global belakangan ini terutama yang melibatkan peran strategis China. Pertama, langkah China memprakarsai berdirinya Bank Investasi Infrastruktur Asia dan siap menggelontorkan dana USD50 triliun.
Langkah ini bertujuan untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur di negara-negara Asia. Kedua, komitmen China untuk menghidupkan kembali ”Jalan Sutera Abad 21” dengan menyediakan Silk Road Fund sebesar USD40 triliun. Dana ini tidak hanya untuk mengembangkan infrastruktur dalam arti fisik, tetapi juga dalam membangun sumber daya manusia.
Hal lain yang digagas dalam komitmen ini adalah perlunya memperbaiki kerja sama industri dan finansial dengan negara-negara Asia. Ketiga, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesepakatan antara China dan Jepang untukmengembalikan hubungan baik secara politik dan keamanan setelah sempat mengalami tensi yang memanas beberapa waktu belakangan ini. Kedua negara menyepakati empat poin untuk meningkatkan ikatan bilateral mereka.
Keempat poin kesepakatan China dan Jepang tersebut meliputi kesepakatan untuk berpijak pada empat dokumen kesepakatan penting yang pernah ditandatangani kedua negara sejak tahun 1972, 1978, 1998, dan 2008. Mereka sepakat menghormati persoalan sejarah yang dimiliki dan melihat ke depan untuk maju bersamasama mengatasi hambatanhambatan praktis di lapangan.
China dan Jepang juga menyadari sepenuhnya bahwa terdapat perbedaan dalam menyikapi sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku secara lebih bijak. Mereka akan saling menahan diri agar persoalan tidak semakin keruh dan membangun komunikasi serta mekanisme penyelesaian sengketa.
Akhirnya, kedua negara sepakat untuk mengembalikan hubungan politik, diplomasi, dan keamanan secara bertahap. Muaranya adalah membangun rasa saling percaya yang sempat terkikis hingga titik kritis. Kesepakatan empat poin antara China dan Jepang ini memberikan angin segar bagi stabilitas kawasan Asia.
Terlihat bahwa kedua negara tidak menginginkan hubungan keduanya semakin memburuk yang dapat berakibat pada kerugian jangka panjang. Tidak hanya kerugian bagi kedua negara, tetapi juga hubungan kerja sama di antara mereka dengan negara-negara di Asia maupun dengan negara dari benua lain, khususnya Eropa dan Amerika.
People to People
Ketiga hal yang dilakukan oleh China di atas membuktikan bahwa negeri ini telah bersiap berperan lebih aktif dan substantif di kawasan Asia. Secara sistematis inisiatif mengatasi persoalan infrastruktur melalui ”Jalan Sutera Abad 21” yang di dalamnya meliputi pula pengembangan sumber daya manusia.
China telah menyiapkan pelatihan dan pendidikan bagi dua puluh ribu orang dari negara tetangga selama lima tahun ke depan. SepertidisampaikanPresiden China Xi Jinping, bahwa pembangunan infrastruktur juga meliputi upaya untuk memenuhi kekurangan sumber daya manusia.
Potensi pengembangan sumber daya manusia yang menentukan berbagai kebijakan baik di bidang perdagangan maupun keuangan sangatlah penting. Ia juga menegaskan arti pentingnya membangun ikatan hubungan antarindividu atau dikenal dengan people to people interaction melalui pendidikan dan penelitian.
Pemerintah China baik di tingkat pusat maupun provinsi memiliki skema beasiswa bagi mahasiswa asing untuk belajar berbagai disiplin ilmu di perguruan tinggi di China. Belum lagi upaya yang dilakukan masingmasing universitas memberikan kesempatan belajar bagi para mahasiswa maupun penelitian bagi para dosen/peneliti dari negara lain.
Dengan pendanaan penelitian yang sangat besar dan berbagai program yang diterapkan, universitas-universitas di China mengundang berbagai peneliti yang bereputasi dan memiliki karya yang baik di bidangnya untuk menjadi visiting scholar. Para peneliti tersebut melakukan penelitian bersama, memberikan perkuliahan kepada para mahasiswa hingga melakukan aktivitas pengenalan budaya setempat.
Sebagai contoh di bidang ilmu sosial, pemerintah China menyediakan dana hingga lebih dari Rp40 miliar per tahun untuk proyek penelitian bagi para talenta peneliti hebat berbakat. Dalam program penelitian tersebut, mereka diharapkan menghasilkan penelitian inovatif, bersifat breakthrough dan memiliki relevansi yang tinggi bagi kemajuan China.
Untuk itu, mereka dapat melibatkan para peneliti dari negara lain untuk berkontribusi, membuka kesempatan mahasiswa doktoral maupun peneliti post doctoral untuk bergabung. Hasilnya, publikasi internasional baik berupa buku maupun artikel ilmiah dari penerbit bereputasi dunia.
Bila dibandingkan dengan Indonesia yang maksimal menyediakan hibah penelitian 1 miliar rupiah per tahun, pendanaan penelitian yang disediakan pemerintah bak bumi dan langit. Skema penelitian seperti ini dalam jumlah maupun programnya pun masih sangat terbatas.
Dengan demikian, sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT APEC ini, China tidak hanya ingin memperlihatkan kepada dunia internasional akan kemajuan ekonomi dan sosialnya. KTT APEC ini sekaligus menjadi tonggak baru kepemimpinan China di Asia yang secara pasti, cepat atau lambat, akan memimpin dunia.
Negeri Tirai Bambu ini paham betul bahwa kepemimpinan yang riil adalah dengan memberikan contoh teladan yang baik dan memberikan manfaat bagi para negara yang terlibat di dalamnya. Mengembalikan kejayaan Jalan Sutera dan memaknai kembali dalam konteks abad ke-21 merupakan tonggak strategis dalam merangkul para negara tetangga.
Gagasan tersebut berhasil menyediakan kebutuhan public goods bagi para negara di Asia yang selalu disebutnya sebagai negara tetangga. Bila ini berlanjut dengan baik dengan stabilitas keamanan yang terjamin di Asia, tidak mustahil paling lambat 20 tahun lagi China akan memimpin dunia.
Pemerintah Indonesia yang mengedepankan Poros Maritim Dunia sepertinya harus menangkap pesan China ini. Kemudian secara lebih cerdas, Indonesia mendapatkan keuntungan signifikan dalam gagasan besar tersebut dengan menjadi salah satu negara tetangga yang baik.
Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara
Visiting Scholar pada College of Economics and Management
Fujian Normal University,China
Saat ini sedang berlangsung perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 10-11 November 2014 di Beijing, China. Semua mata dunia tertuju pada acara ini yang akan turut menentukan 45% perdagangan dunia dan mempertaruhkan nama besar China pada dunia.
KTT ini layak mendapat perhatian karena dinamika hubungan internasional di regional dan global belakangan ini terutama yang melibatkan peran strategis China. Pertama, langkah China memprakarsai berdirinya Bank Investasi Infrastruktur Asia dan siap menggelontorkan dana USD50 triliun.
Langkah ini bertujuan untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur di negara-negara Asia. Kedua, komitmen China untuk menghidupkan kembali ”Jalan Sutera Abad 21” dengan menyediakan Silk Road Fund sebesar USD40 triliun. Dana ini tidak hanya untuk mengembangkan infrastruktur dalam arti fisik, tetapi juga dalam membangun sumber daya manusia.
Hal lain yang digagas dalam komitmen ini adalah perlunya memperbaiki kerja sama industri dan finansial dengan negara-negara Asia. Ketiga, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesepakatan antara China dan Jepang untukmengembalikan hubungan baik secara politik dan keamanan setelah sempat mengalami tensi yang memanas beberapa waktu belakangan ini. Kedua negara menyepakati empat poin untuk meningkatkan ikatan bilateral mereka.
Keempat poin kesepakatan China dan Jepang tersebut meliputi kesepakatan untuk berpijak pada empat dokumen kesepakatan penting yang pernah ditandatangani kedua negara sejak tahun 1972, 1978, 1998, dan 2008. Mereka sepakat menghormati persoalan sejarah yang dimiliki dan melihat ke depan untuk maju bersamasama mengatasi hambatanhambatan praktis di lapangan.
China dan Jepang juga menyadari sepenuhnya bahwa terdapat perbedaan dalam menyikapi sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku secara lebih bijak. Mereka akan saling menahan diri agar persoalan tidak semakin keruh dan membangun komunikasi serta mekanisme penyelesaian sengketa.
Akhirnya, kedua negara sepakat untuk mengembalikan hubungan politik, diplomasi, dan keamanan secara bertahap. Muaranya adalah membangun rasa saling percaya yang sempat terkikis hingga titik kritis. Kesepakatan empat poin antara China dan Jepang ini memberikan angin segar bagi stabilitas kawasan Asia.
Terlihat bahwa kedua negara tidak menginginkan hubungan keduanya semakin memburuk yang dapat berakibat pada kerugian jangka panjang. Tidak hanya kerugian bagi kedua negara, tetapi juga hubungan kerja sama di antara mereka dengan negara-negara di Asia maupun dengan negara dari benua lain, khususnya Eropa dan Amerika.
People to People
Ketiga hal yang dilakukan oleh China di atas membuktikan bahwa negeri ini telah bersiap berperan lebih aktif dan substantif di kawasan Asia. Secara sistematis inisiatif mengatasi persoalan infrastruktur melalui ”Jalan Sutera Abad 21” yang di dalamnya meliputi pula pengembangan sumber daya manusia.
China telah menyiapkan pelatihan dan pendidikan bagi dua puluh ribu orang dari negara tetangga selama lima tahun ke depan. SepertidisampaikanPresiden China Xi Jinping, bahwa pembangunan infrastruktur juga meliputi upaya untuk memenuhi kekurangan sumber daya manusia.
Potensi pengembangan sumber daya manusia yang menentukan berbagai kebijakan baik di bidang perdagangan maupun keuangan sangatlah penting. Ia juga menegaskan arti pentingnya membangun ikatan hubungan antarindividu atau dikenal dengan people to people interaction melalui pendidikan dan penelitian.
Pemerintah China baik di tingkat pusat maupun provinsi memiliki skema beasiswa bagi mahasiswa asing untuk belajar berbagai disiplin ilmu di perguruan tinggi di China. Belum lagi upaya yang dilakukan masingmasing universitas memberikan kesempatan belajar bagi para mahasiswa maupun penelitian bagi para dosen/peneliti dari negara lain.
Dengan pendanaan penelitian yang sangat besar dan berbagai program yang diterapkan, universitas-universitas di China mengundang berbagai peneliti yang bereputasi dan memiliki karya yang baik di bidangnya untuk menjadi visiting scholar. Para peneliti tersebut melakukan penelitian bersama, memberikan perkuliahan kepada para mahasiswa hingga melakukan aktivitas pengenalan budaya setempat.
Sebagai contoh di bidang ilmu sosial, pemerintah China menyediakan dana hingga lebih dari Rp40 miliar per tahun untuk proyek penelitian bagi para talenta peneliti hebat berbakat. Dalam program penelitian tersebut, mereka diharapkan menghasilkan penelitian inovatif, bersifat breakthrough dan memiliki relevansi yang tinggi bagi kemajuan China.
Untuk itu, mereka dapat melibatkan para peneliti dari negara lain untuk berkontribusi, membuka kesempatan mahasiswa doktoral maupun peneliti post doctoral untuk bergabung. Hasilnya, publikasi internasional baik berupa buku maupun artikel ilmiah dari penerbit bereputasi dunia.
Bila dibandingkan dengan Indonesia yang maksimal menyediakan hibah penelitian 1 miliar rupiah per tahun, pendanaan penelitian yang disediakan pemerintah bak bumi dan langit. Skema penelitian seperti ini dalam jumlah maupun programnya pun masih sangat terbatas.
Dengan demikian, sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT APEC ini, China tidak hanya ingin memperlihatkan kepada dunia internasional akan kemajuan ekonomi dan sosialnya. KTT APEC ini sekaligus menjadi tonggak baru kepemimpinan China di Asia yang secara pasti, cepat atau lambat, akan memimpin dunia.
Negeri Tirai Bambu ini paham betul bahwa kepemimpinan yang riil adalah dengan memberikan contoh teladan yang baik dan memberikan manfaat bagi para negara yang terlibat di dalamnya. Mengembalikan kejayaan Jalan Sutera dan memaknai kembali dalam konteks abad ke-21 merupakan tonggak strategis dalam merangkul para negara tetangga.
Gagasan tersebut berhasil menyediakan kebutuhan public goods bagi para negara di Asia yang selalu disebutnya sebagai negara tetangga. Bila ini berlanjut dengan baik dengan stabilitas keamanan yang terjamin di Asia, tidak mustahil paling lambat 20 tahun lagi China akan memimpin dunia.
Pemerintah Indonesia yang mengedepankan Poros Maritim Dunia sepertinya harus menangkap pesan China ini. Kemudian secara lebih cerdas, Indonesia mendapatkan keuntungan signifikan dalam gagasan besar tersebut dengan menjadi salah satu negara tetangga yang baik.
(bbg)