Perppu Itu Diuji ke MK
A
A
A
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Setelah reda karena ditenggelamkan oleh berita-berita tentang tarung politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR, kini isu UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), apakah akan secara langsung atau melalui DPRD, muncul kembali sebagai berita.
Aktivis Didik Supriyanto dan kawan-kawannya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian formal atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 18 hari sebelum mengakhiri masa pengabdiannya.
Seperti diketahui, suhu politik panas membara pada minggu terakhir bulan September lalu ketika DPR membahas dan memutuskan RUU Pilkada yang akhirnya, setelah diwarnai walk out, menetapkan mekanisme pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Presiden SBY menjadi sangat galau dan menyatakan ketidak setujuannya.
Semula ada wacana Presiden SBY tidak akan menandatangani RUU tersebut. Tetapi kemudian Kepala Negara memilih menandatanganinya pada 2 Oktober 2014 menjadi UU No 22 Tahun 2014. Kemudian, pada hari yang sama, mengeluarkan pencabutan atasnya melalui Perppu No 1 Tahun 2014. Masyarakat pun ribut dengan berbagai kritik panas, liar, dan kadang melempar bully secara kasar.
Kalau tak setuju, mengapa tak dinyatakan dalam sidang saat DPR mengambil keputusan bersama pemerintah? Kalau tak setuju, mengapa dulu mengajukan RUU Pilkada tak langsung yang disertai surat resmi presiden kepada DPR? Kalau tak setuju, mengapa tidak menginstruksikan Fraksi Partai Demokrat di DPR agar bergabung dengan PDIP menolak pilkada melalui DPRD?
Sebenarnya lebih dari sekadar banyaknya kritik pedas dan bully liar pada Pak SBY itu, saat ini, ada fakta yang harus diantisipasi secara arif yaitu kemungkinan terjadinya kekosongan hukum. Meski ada yang berpendapat lain tetapi pada umumnya pakar hukum tata negara berpendapat, jika kelak DPR menolak Perppu tersebut maka akan terjadi kekosongan hukum.
Alasannya, Perppu itu sah saat dikeluarkan sehingga sah pula saat mencabut berlakunya UU Pilkada. Oleh sebab itu, jika DPR kelak menolak Perppu itu maka UU Pilkada No 22 Tahun 2014 sudah tidak bisa hidup lagi. Ada contoh tentang ini, yakni, pengangkatan Tumpak Hatorangan sebagai Plt. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didasarkan atas Perppu No 4 Tahun 2009.
Untuk menggantikan kekosongan ketua KPK setelah Antasari Azhar dihukum dan mengantisipasi tidak kuorumnya pimpinan KPK jika Bibit Samad dan Chandra Hamzah dijadikan tersangka (dalam kasus Cicak Buaya) Presiden SBY mengeluarkan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Plt. Pimpinan KPK. Berdasarkan Perppu tersebut, Tumpak Hatorangan kemudian terpilih menjadi Plt.
Ketua KPK. Tetapi ketika ternyata Perppu itu ditolak oleh DPR maka kedudukan Tumpak tak diusik, tetap dalam jabatannya sampai terpilihnya Busyro Muqoddas di DPR. Tumpak terus menjadi Plt Ketua KPK meskipun Perppu yang menjadi dasar pengangkatannya ditolak oleh DPR. Alasannya, pengangkatan Tumpak dilakukan oleh Perppu yang masih sah berlaku karena belum ditolak DPR.
Akan muncul masalah serius, jika Perppu Pilkada kelak ditolak oleh DPR, sebab UU Pilkada yang ada sudah dicabut oleh Perppu ketika Perppu itu masih sah. Maka menjadi menarik ketika Didik Supriyanto dkk mengajukan pengujian formal ke MK agar Perppu tersebut dinyatakan inkonstitusional. Alasannya, Perppu itu tidak memenuhi syarat-syarat keadaan genting dan memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan MK No. 138/PUU/VII/2009.
Sungguh berbahaya jika kelak ada Presiden yang sembarangan mengeluarkan Perppu saat tidak ada alasan-alasan genting yang memaksa. Jika kelak MK membatalkan Perppu tersebut karena inkonstitusional, bisa saja MK menghidupkan kembali UU Pilkada yang sudah dibatalkan oleh Perppu tersebut. Alasannya sederhana. Keputusan DPR ketika menolak Perppu adalah keputusan politik yang hanya bisa menyatakan menolak atau menerima Perppu tanpa bisa menghidupkan kembali UU yang telah dicabut oleh Perppu itu.
Sedangkan putusan MK adalah putusan hukum. Jika satu UU/Perppu dinyatakan inkonstitusional oleh MK, bisa saja UU/Perppu itu dianggap tidak pernah ada. Yang penting, pilihan vonisnya harus jelas, apakah menyatakan ”batal” atau menyatakan ”membatalkan”.
Jika vonis MK menyatakan batal (ex-tunc) maka putusannya berlaku surut sehingga UU/Perppu tersebut dianggap tidak pernah ada dan akibatakibat hukum yang pernah ditimbulkannya, seperti pencabutan sebuah UU, bisa dihidupkan kembali. Dalam menyatakan batal itu MK, minimal dalam konklusinya, harus menyatakan bahwa UU/Perppu batal dan UU yang dicabutnya berlaku kembali.
Tetapi jika vonis itu menyatakan membatalkan (ex-nunc ) maka vonis itu bersifat prospektif, berlaku ke depan, sehingga akibat-akibat yang sudah terjadi dianggap sah dan diteruskan sampai selesai atau sampai ada UU baru. Ada contoh jelas tentang ini. Melalui putusan No. 01-021-022/PUU/I/2013 tanggal 15 Desember 2004 MK menyatakan batal UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan memberlakukan kembali UU yang sebelumnya telah dicabut oleh UU tersebut.
Harus diingat, pengujian yang dilakukan oleh Didik Supriyanto bukanlah uji materiil, melainkan uji formal. Ia tak mempersoalkan pilkada langsung atau tak langsung. Yang dipersoalkan adalah prosedur dan syarat-syarat keluarnya Perppu yang dinilainya inkonstitusional dan lebih merupakan selera politik presiden.
Didik sebenarnya dikenal sebagai pendukung fanatik Pilkada Langsung. Maka itu, MK harus menutup mata seperti dewi keadilan, tak boleh terseret arus politik. Pikiran MK harus sepenuhnya yuridis-konstitusional yang salah satu pijakannya adalah kemanfaatan hukum bagi bangsa dan negara.
Guru Besar Hukum Konstitusi
Setelah reda karena ditenggelamkan oleh berita-berita tentang tarung politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR, kini isu UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), apakah akan secara langsung atau melalui DPRD, muncul kembali sebagai berita.
Aktivis Didik Supriyanto dan kawan-kawannya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian formal atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 18 hari sebelum mengakhiri masa pengabdiannya.
Seperti diketahui, suhu politik panas membara pada minggu terakhir bulan September lalu ketika DPR membahas dan memutuskan RUU Pilkada yang akhirnya, setelah diwarnai walk out, menetapkan mekanisme pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Presiden SBY menjadi sangat galau dan menyatakan ketidak setujuannya.
Semula ada wacana Presiden SBY tidak akan menandatangani RUU tersebut. Tetapi kemudian Kepala Negara memilih menandatanganinya pada 2 Oktober 2014 menjadi UU No 22 Tahun 2014. Kemudian, pada hari yang sama, mengeluarkan pencabutan atasnya melalui Perppu No 1 Tahun 2014. Masyarakat pun ribut dengan berbagai kritik panas, liar, dan kadang melempar bully secara kasar.
Kalau tak setuju, mengapa tak dinyatakan dalam sidang saat DPR mengambil keputusan bersama pemerintah? Kalau tak setuju, mengapa dulu mengajukan RUU Pilkada tak langsung yang disertai surat resmi presiden kepada DPR? Kalau tak setuju, mengapa tidak menginstruksikan Fraksi Partai Demokrat di DPR agar bergabung dengan PDIP menolak pilkada melalui DPRD?
Sebenarnya lebih dari sekadar banyaknya kritik pedas dan bully liar pada Pak SBY itu, saat ini, ada fakta yang harus diantisipasi secara arif yaitu kemungkinan terjadinya kekosongan hukum. Meski ada yang berpendapat lain tetapi pada umumnya pakar hukum tata negara berpendapat, jika kelak DPR menolak Perppu tersebut maka akan terjadi kekosongan hukum.
Alasannya, Perppu itu sah saat dikeluarkan sehingga sah pula saat mencabut berlakunya UU Pilkada. Oleh sebab itu, jika DPR kelak menolak Perppu itu maka UU Pilkada No 22 Tahun 2014 sudah tidak bisa hidup lagi. Ada contoh tentang ini, yakni, pengangkatan Tumpak Hatorangan sebagai Plt. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didasarkan atas Perppu No 4 Tahun 2009.
Untuk menggantikan kekosongan ketua KPK setelah Antasari Azhar dihukum dan mengantisipasi tidak kuorumnya pimpinan KPK jika Bibit Samad dan Chandra Hamzah dijadikan tersangka (dalam kasus Cicak Buaya) Presiden SBY mengeluarkan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Plt. Pimpinan KPK. Berdasarkan Perppu tersebut, Tumpak Hatorangan kemudian terpilih menjadi Plt.
Ketua KPK. Tetapi ketika ternyata Perppu itu ditolak oleh DPR maka kedudukan Tumpak tak diusik, tetap dalam jabatannya sampai terpilihnya Busyro Muqoddas di DPR. Tumpak terus menjadi Plt Ketua KPK meskipun Perppu yang menjadi dasar pengangkatannya ditolak oleh DPR. Alasannya, pengangkatan Tumpak dilakukan oleh Perppu yang masih sah berlaku karena belum ditolak DPR.
Akan muncul masalah serius, jika Perppu Pilkada kelak ditolak oleh DPR, sebab UU Pilkada yang ada sudah dicabut oleh Perppu ketika Perppu itu masih sah. Maka menjadi menarik ketika Didik Supriyanto dkk mengajukan pengujian formal ke MK agar Perppu tersebut dinyatakan inkonstitusional. Alasannya, Perppu itu tidak memenuhi syarat-syarat keadaan genting dan memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan MK No. 138/PUU/VII/2009.
Sungguh berbahaya jika kelak ada Presiden yang sembarangan mengeluarkan Perppu saat tidak ada alasan-alasan genting yang memaksa. Jika kelak MK membatalkan Perppu tersebut karena inkonstitusional, bisa saja MK menghidupkan kembali UU Pilkada yang sudah dibatalkan oleh Perppu tersebut. Alasannya sederhana. Keputusan DPR ketika menolak Perppu adalah keputusan politik yang hanya bisa menyatakan menolak atau menerima Perppu tanpa bisa menghidupkan kembali UU yang telah dicabut oleh Perppu itu.
Sedangkan putusan MK adalah putusan hukum. Jika satu UU/Perppu dinyatakan inkonstitusional oleh MK, bisa saja UU/Perppu itu dianggap tidak pernah ada. Yang penting, pilihan vonisnya harus jelas, apakah menyatakan ”batal” atau menyatakan ”membatalkan”.
Jika vonis MK menyatakan batal (ex-tunc) maka putusannya berlaku surut sehingga UU/Perppu tersebut dianggap tidak pernah ada dan akibatakibat hukum yang pernah ditimbulkannya, seperti pencabutan sebuah UU, bisa dihidupkan kembali. Dalam menyatakan batal itu MK, minimal dalam konklusinya, harus menyatakan bahwa UU/Perppu batal dan UU yang dicabutnya berlaku kembali.
Tetapi jika vonis itu menyatakan membatalkan (ex-nunc ) maka vonis itu bersifat prospektif, berlaku ke depan, sehingga akibat-akibat yang sudah terjadi dianggap sah dan diteruskan sampai selesai atau sampai ada UU baru. Ada contoh jelas tentang ini. Melalui putusan No. 01-021-022/PUU/I/2013 tanggal 15 Desember 2004 MK menyatakan batal UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan memberlakukan kembali UU yang sebelumnya telah dicabut oleh UU tersebut.
Harus diingat, pengujian yang dilakukan oleh Didik Supriyanto bukanlah uji materiil, melainkan uji formal. Ia tak mempersoalkan pilkada langsung atau tak langsung. Yang dipersoalkan adalah prosedur dan syarat-syarat keluarnya Perppu yang dinilainya inkonstitusional dan lebih merupakan selera politik presiden.
Didik sebenarnya dikenal sebagai pendukung fanatik Pilkada Langsung. Maka itu, MK harus menutup mata seperti dewi keadilan, tak boleh terseret arus politik. Pikiran MK harus sepenuhnya yuridis-konstitusional yang salah satu pijakannya adalah kemanfaatan hukum bagi bangsa dan negara.
(bbg)