Elite Kritik Jokowi, Karakter Berpolitik PDIP Perlu Diubah
A
A
A
JAKARTA - Kritik keras elite partai terhadap rencana Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, mengesankan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum siap sebagai partai pemerintah.
Saat ini PDIP seharusnya sudah bertransformasi, bukan lagi sebagai partai penyeimbang di luar pemerintah, tapi sudah menjadi pemerintah itu sendiri alias menjadi the ruling party.
"Dalam posisi sebagai the ruling party, elite PDIP perlu mengubah karakter berpolitik dari logika penyeimbang dalam prinsip check and balances pemerintah yang berkuasa menjadi partai pemerintah yang harus membuat keputusan atau kebijakan untuk wujudkan platform ideologisnya," kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana, Kamis (6/10/2014).
Wacana subsidi BBM, lanjut Ari, harusnya jangan dilihat sempit pada persoalan harga. Tetapi harus dilihat lebih luas pada politik energi nasional. Ini artinya wacana BBM harusnya dilihat dalam perspektf kedaulatan energi yang juga menjadi platform perjuangan PDIP.
"Siapa yang paling diuntungkan dari politik impor BBM? Bagaimana memutuskan ketergantungan pada BBM impor? Dan apakah sudah ada upaya untuk menyediakan sumber energi alternatif yang lebih murah bagi rakyat?" tukasnya.
Jadi, yang perlu dipastikan adalah politik energi nasional yang berpihak pada rakyat, bukan pada mafia-mafia impor BBM.
Di sisi lain, lanjut Ari, kritik berbagai kalangan terhadap model kompensasi atas kenaikan BBM juga harus benar-benar didengar oleh Penerintahan Jokowi-JK dan kabinetnya. Jangan sampai model kompensasi ini hanya "kaset lama". Perlu perbaikan atas sistem perlindungan sosial pada kelompok rentan dengan lebih akurat, terintegrasi dan efektif.
"Oleh karena itu, kesiapan sistem perlindungan sosial menjadi prasyarat penting yang harus diperhatikan serius," jelasnya.
Berikutnya, pemerintahan Jokowi-JK harus berani menjalankan agenda Nawa Cita terutama dalam mewujudkan kedaulatan energi nasional. Dalam mewujudkan agenda itu, pasti dihadapkan pada keharusan pengambilan keputusan yang tidak populer.
"Tapi harapan yang muncul dari kepemimpinan baru adalah keberanian mengambil keputusan yang tidak populer tapi konsisten di keberpihakan pada kepentingan strategis nasional yang kebih besar," ungkapnya.
Salah satu harapan pada Pemerintah Jokowi-JK selain kepemimpinan baru yang berani dan tidak peragu dalam mengambil keputusan, lanjut Ari, juga penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Untuk itu, Pemerintah Jokowi harus terbuka menyampaikan ke publik terkait urgensi pengurangan subsidi BBM, dan kemana pengalihan subsidi itu dilakukan.
"Transparansi ini bagian dari edukasi publik untuk bisa memahami keputusan pemerintah," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, beberapa elite PDIP seperti Effendi Simbolon dan Rieke Diah Pitaloka mengkritik keras rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Effendi bahkan menuding rencana tersebut terlalu bernafsu karena baru dilantik satu pekan sudah membuat wacana yang menghebohkan.
Sementara Rieke berpendapat Jokowi masih bisa mencari alternatif untuk menjalankan program prioritas selain dengan mencabut subsidi BBM.
Saat ini PDIP seharusnya sudah bertransformasi, bukan lagi sebagai partai penyeimbang di luar pemerintah, tapi sudah menjadi pemerintah itu sendiri alias menjadi the ruling party.
"Dalam posisi sebagai the ruling party, elite PDIP perlu mengubah karakter berpolitik dari logika penyeimbang dalam prinsip check and balances pemerintah yang berkuasa menjadi partai pemerintah yang harus membuat keputusan atau kebijakan untuk wujudkan platform ideologisnya," kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana, Kamis (6/10/2014).
Wacana subsidi BBM, lanjut Ari, harusnya jangan dilihat sempit pada persoalan harga. Tetapi harus dilihat lebih luas pada politik energi nasional. Ini artinya wacana BBM harusnya dilihat dalam perspektf kedaulatan energi yang juga menjadi platform perjuangan PDIP.
"Siapa yang paling diuntungkan dari politik impor BBM? Bagaimana memutuskan ketergantungan pada BBM impor? Dan apakah sudah ada upaya untuk menyediakan sumber energi alternatif yang lebih murah bagi rakyat?" tukasnya.
Jadi, yang perlu dipastikan adalah politik energi nasional yang berpihak pada rakyat, bukan pada mafia-mafia impor BBM.
Di sisi lain, lanjut Ari, kritik berbagai kalangan terhadap model kompensasi atas kenaikan BBM juga harus benar-benar didengar oleh Penerintahan Jokowi-JK dan kabinetnya. Jangan sampai model kompensasi ini hanya "kaset lama". Perlu perbaikan atas sistem perlindungan sosial pada kelompok rentan dengan lebih akurat, terintegrasi dan efektif.
"Oleh karena itu, kesiapan sistem perlindungan sosial menjadi prasyarat penting yang harus diperhatikan serius," jelasnya.
Berikutnya, pemerintahan Jokowi-JK harus berani menjalankan agenda Nawa Cita terutama dalam mewujudkan kedaulatan energi nasional. Dalam mewujudkan agenda itu, pasti dihadapkan pada keharusan pengambilan keputusan yang tidak populer.
"Tapi harapan yang muncul dari kepemimpinan baru adalah keberanian mengambil keputusan yang tidak populer tapi konsisten di keberpihakan pada kepentingan strategis nasional yang kebih besar," ungkapnya.
Salah satu harapan pada Pemerintah Jokowi-JK selain kepemimpinan baru yang berani dan tidak peragu dalam mengambil keputusan, lanjut Ari, juga penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Untuk itu, Pemerintah Jokowi harus terbuka menyampaikan ke publik terkait urgensi pengurangan subsidi BBM, dan kemana pengalihan subsidi itu dilakukan.
"Transparansi ini bagian dari edukasi publik untuk bisa memahami keputusan pemerintah," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, beberapa elite PDIP seperti Effendi Simbolon dan Rieke Diah Pitaloka mengkritik keras rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Effendi bahkan menuding rencana tersebut terlalu bernafsu karena baru dilantik satu pekan sudah membuat wacana yang menghebohkan.
Sementara Rieke berpendapat Jokowi masih bisa mencari alternatif untuk menjalankan program prioritas selain dengan mencabut subsidi BBM.
(hyk)